Wednesday, March 31, 2021

Pendidikan Akulturasi

Majalah Pendidikan Nasional EDUPOS, edisi Maret 2021

Keberagaman dalam kebhinnekaan bagi bangsa sudah menjadi harga mati. Seperti yang tertuang dalam lambang Negara Burung Garuda “Bhinneka Tunggal Ika” dan sila ke tiga Pancasila. Bangsa yang integralistik, dalam mengakomodasi suku, bangsa, agama dan golongan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Kebhinnekaan melahirkan berbagai budaya yang masih relevan dan dibutuhkan bangsa dan negara. Sehingga terintegrasi dalam adat istiadat yang berpadu dalam kolaborasi. Menjadi sebuah akulturasi (perpaduan) yang masuk dalam pendidikan sejalan harapan implementasi kurikulum 2013 yang lebih komprehensif dalam menyasar berbagai bidang kehidupan.

Maka saat sentimen keberbedaan (multikultural), memicu dan melahirkan aksi radikal yang cenderung anarkisme perlu diupayakan pencegahan sejak dini. Menjadi penting pembelajaran akulturasi dalam pendidikan dibumikan kepada peserta didik dalam mendukung kurikulum baru. Tidak ada lagi penolakan dan pembenaran bahwa hidup bersama tidak terjamin. Tinggal bagaimana kita sebagai warga negara menyikapi makin masifnya berita bohong (hoax) yang cenderung destruktif dan anti kemapanan.

Butuh akulturasi budaya dalam pendidikan demi mencegah sejak dini perpecahan karena keberagaman. Akulturasi sendiri merupakan suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.

Kesadaran kolektif

Dengan kesadaran kolektif keberagaman yang ada menumbuhkan rasa nyaman, aman dan damai. Oleh karena itu akulturasi budaya akan menjadi bagian kehidupan pendidikan Indonesia, jika para pendidikan melakukan yang sama sepenuh hati. Sehingga melahirkan penghormatan dari perpaduan sosial, ekonomi, keadilan sebagai kekayaan budaya yang hidup di tanah air.

Lalu bagaimana usaha nguri-uri, mempertahankan dan mengoptimalkan keharmonisan bangsa dalam akulturasi pendidikan itu sendiri demi nilai jual? Pendidikan akulturasi yang berintegrasi dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan serta pendidikan agama (religiusitas). Upaya semakin menancapkan identitas guna memberikan nilai tambah bagi peserta didik agar terbentuk akar karakter dengan saling menghargai, mengormati dan cinta kerukunan, memghormati, tepa slira dan tenggang rasa.

Implementasi pendidikan akulturasi bisa juga dimasukkan dalam sisipan pelajaran sejarah, IPS (untuk SMP), ditambah sosiologi dan antropologi bagi jenjang SMA. Akulturasi sebagai representasi pengakuan pemerintah terhadap keberadaan dan perlindungan identitas imajinasi realita keberagaman. Akulturasi sendiri merupakan sebuah percampuran dua kebudayan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi (KBBI .2003 edisi 3 hal 24)

Konstitusi Negara Indonesia (UUD 1945) secara tegas mengamanatkan, kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayannya itu (Pasal 29 ayat 2). Begitu juga negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (pasal 32 ayat 1).


Bila sudah terbiasa, terprogram, tersemai dan menjadi life style (gaya hidup) di sekolah. Pengakuan, penghormatan dan saling menghargai akan menjadi habitus. Maka upaya eliminasi kekerasan disekolah, egoisme, fanatisme , individualis berlebihan termentahkan dengan sendirinya (seperti kasus kota Padang Sumbar). Pendidikan akulturasi sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari di sekolah. Menjadi bagian kehidupan warga sekolah, orang tua dan masyarakat. Karena etika, moral, budaya secara lahiriah bisa dijaga. Yang menjadi persoalan bagaimana dalam upaya meredam virus radikal di dunia maya (sosial media).

Nguri-nguri budaya lokal sebagai transfer etika, moral dan sikap perilaku harus gencar dikampanyekan dan diaktualisasikan lebih holistik. Deklarasi kebangsaan (nasionalisme) dan cinta tanah air (patriotisme) sebagai bukti kokohnya semangat persatuan dan kesatuan. Butuh bukti kepatuhan dan kesetiaan kepada Pancasila dan negara kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI) dengan pernyataan sikap sebagai upaya preventif radikalisasi.

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru PPKn SMP Pangudi Luhur Domenico Savio Semarang)

No comments: