Saturday, December 26, 2015

Menyemangati Ibu

OPINI, harian Joglosemar, 22 Desember 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

KASIH Ibu, kepada Beta Tak terhingga sepanjang masa, Hanya memberi, tak harap kembali Bagai sang surya menyinari dunia

Dua bait lagu dari SM Moechtar itu sungguh sangat menyentuh hati dan bermakna bagi perjalanan kehidupan setiap manusia. Sejak lahir sampai mandiri (dewasa) peran ibu sangat penting demi sebuah harmoni kehidupan yang membahagiakan bagi perkembangan anaknya.

Siapa yang tidak takut dan hormat kepada Ibu? Yakinlah mereka akan disebut anak durhaka. Ingat cerita kisah Malin Kundang yang kesohor. Menjadi penanda bahwa ibu merupakan sosok yang sakral. Ibarat “Surga di telapak kaki Ibu. ” Sangat luar biasa, penuh mistis dan misteri.

Maka setiap peringatan hari Ibu (22 Desember), manusia muda selalu diingatkan kembali. Bagaimana harus menghormati dan memberi semangat pada Ibu masing-masing. Bagaimana seorang ibu yang telah berjuang sampai mati saat melahirkan, mengasuh, membimbing dan membina menjadi orang dewasa yang berkarakter. Ibu wajib dihargai dan dihormati tanpa bisa ditawar.

Sebaliknya, mereka yang durhaka kepada kedua orang tua, terkhusus ibu, akan mendapatkan ganjaran setimpal. Sanksi yang akan ia terima bukan hanya di akhirat. Juga ia akan menerima akibat ulahnya itu di dunia. (Nashih Nashrullah.2013)

Sangat ironis saat kita mendengar, ada berita seorang anak yang berani kepada Ibunya. Bahkan ibu kandungnya sampai dinodai atau dibunuh. Melihat fenomena ini, bagaimana dengan pendidikan kita selama ini yang diajarkan oleh guru?

Padahal ibu merupakan sosok yang rendah hati, penyayang dan penyabar. Tidak pernah menuntut upah, apalagi ganti rugi. Cinta kasihnya tulus dan murni. Lalu bagaimana balasan kita?

Semangat

Begitu pula saat ini, ibu Pertiwi pasti menangis saat Negara ini penuh gonjang-ganjing, dan belum mampu keluar dari kemelut. Belum selesai berbagai bencana dari erupsi gunung berapi, banjir, tanah longsor. Budaya korupsi belum juga bisa berkurang, bahkan semakin transparan kelihatan semakin masif.

Malah muncul peristiwa “papa minta saham,” yang dilakukan oleh mantan Ketua DPR (Setya Novanto) yang mencatut nama Presiden dan wakil Presiden. Terang-terangan pula, kroni politik melakukan sandiwara tingkat tinggi dengan mengatas namakan Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Sandiwara dagelan tingkat tinggi yang mengatas namakan rakyat namun dalam membuat keputusan masih mengutamakan kepentingan kelompoknya, layaknya sistem oligarkhi.

Ibu Pertiwi juga butuh suntikan semangat dari seluruh “anaknya,” masyarakat Indonesia. Ibu Pertiwi harus bangkit demi mengembalikan harkat dan martabatnya sebagai bangsa yang beradab. Singkirkan semangat oligarkhi, Pemerintahan yang dipegang oleh kelompok demi kepentingan kelompoknya.

Berikan semangat Ibu Pertiwi dengan mengembalikan hakikat Negara demokrasi. Negara yang diperintah oleh rakyat, yang memiliki tanah air.

Demi penghormatan dan kecintaan pada ibu, dibutuhkan gerakan menyemangati, memotivasi dan mengayomi ibu kita masing-masing dengan tulus ikhlas. Pengorbanannya yang tak terperi sampai berdarah-darah demi memberi perlindungan kepada anaknya dari segala hambatan, tantangan dan ancaman. Begitu juga ibu Pertiwi yang menyemangati Negara Integralistik.

Seperti dilakukan oleh The Asian Parent menyusuri jalan dan bicara kepada anak-anak yang menyampaikan rasa hormat mereka kepada ibu dengan cara mereka sendiri.

Pada Hari Ibu, kita menyanyikan lagu, membuat kartu, dan memotong kue ulang tahun. Aku mencintai ibu karena dia mengajakku berenang dan bermain denganku. Ibuku mencintaiku dan aku mencintainya. Dia memelukku setiap kali aku merasa sedih. Aku akan membuatkan kartu untuknya di Hari Ibu. (Lynette Alsop, 4 tahun)

Ibu mencintaiku. Dia membelikanku mainan, mengajakku ke luar. Aku akan membuatkan kartu untuk ibu di sekolah. (Benjamin Koh, 4 tahun). Di Hari Ibu aku akan membelikan ibu hadiah… topi. Aku juga akan membuatkan gambar untuknya. (Sohail Khan, 4 tahun). Aku mencintai ibuku karena dia koki terbaik di dunia. Orang-orang di hotel pun tak bisa memasak lebih enak darinya. Di Hari Ibu mungkin aku dan ayah akan memasakkan sesuatu untuknya. (Nicholas Tan, 6 tahun)

Maka sebagai manusia yang berakhlak mulia sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Seyogyanya memberikan semangat kepada ibu tanpa harus diminta atau dipaksa,seperti yang dilaku oleh anak-anak yang masih polos dari The Asian Parents.

Gerakan untuk tumbuh, berkembang dengan segala niat dalam memberikan kasih abadi kepada Ibu, tanpa harus memikirkan “ongkos” yang harus dikeluarkan. Ibu adalah segalanya bagi kita

Menjelang dan pada peringatan hari ibu yang bersamaan dengan penerimaan raport hasil belajar semester I (gasal). Sumbangan terbesar dan membanggakan saat nilai (angka) yang diperoleh tidak mengecewakan. Begitu juga berbagai catatan uraian attitude (sikap)baik dalam Raport kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) maupun kurikulum 2013.

Ibu pasti bahagia bila putra dan putrinya menghadiahkan kado nilai dan prestasi yang terbaik. Begitu juga saat mengisi liburan semester. Kegiatan positif, kreatif dan inovatif dibutuhkan guna semakin menyenangkan dan menyemangati hati ibu. Dan ibu pun pasti memberi kado terindah pada anaknya yang berprestasi dalam bersekolah dan mendampingi selalu selama liburan semester.

Sebuah padanan korelasi angka, uraian, sikap dan perilaku yang menggembirakan dan menyenangkan. Semakin membahagiakan Ibu kita menyongsong hari Ibu. Sebuah gerakan menyemangati sehingga ibu kita selalu diberi kesehatan dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Jangan sia siakan ibu kita juga Ibu Pertiwi, yang telah melahirkan dan membesarkan kita sehingga menjadi mandiri. Sebab penyesalan datangnya selalu terlambat saat kita tidak menghormati ibu. Termasuk “menjual” freeport demi kepentingan sendiri/kelompok. ***

Thursday, December 10, 2015

Pilkada dan Pemimpin "Tengil"

OPINI, harian Joglosemar, Kamis 10 Desember 2015

RABU, 9 Desember 2015 sebanyak 269 daerah melaksanakan pilkada. Pilkada serentak merupakan budaya politik baru. Oleh karena itu pelaksanaannya diharapkan berjalan dengan baik dan sukses sebagai bagian ruh Negara demokrasi.

Perubahan sistem Pilkada mengingatkan pada harapan sosok pemimpin daerah bukanlah pemimpin yang “tengil”. Kata tengil ini penulis ambil dari ceramah Kiai Abdullah Gymnastiar (AA Gym) saat menjadi penceramah dalam program MQ (Manajemen Qolbu) yang disiarkan salah satu stasiun TV Swasta (10/5/2005).

Hal itu menggelitik penulis ikut menyosialisasikan kepada masyarakat. Harapannya Pilkada serentak berjalan dengan baik dan masyarakat tidak salah pilih pemimpinnya. Karena di dalamnya ada nilai-nilai positif dan patut menjadi literasi bagi calon kepala daerah dan proses Pilkada itu sendiri.

Seorang pemimpin yang dipilih rakyat pada hakikatnya akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan baik itu bidang ekonomi, kedamaian beragama, penegakan hukum, lingkungan hidup, pemerataan pendidikan, kemiskinan, pengangguran dan masalah lain. Karena sosok tersebut lahir langsung dari rakyat.

Seperti dilansir oleh harian Nasional bahwa sepanjang 2004-2011, Kementrian Dalam Negeri mencatat sebanyak 158 Kepala daerah yang terdiri dari Gubernur, Walikota dan Bupati tersangkut korupsi. (Kompas 20/6/11).

Berdasarkan penelitian ICW dalam semester I tahun 2015 ada 308 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun dan nilai suap sebesar Rp 475,3 miliar. Di samping itu, dari 308 kasus tersebut ICW juga mencatat tak kurang 590 orang dijerat aparat penegak hukum sebagai tersangka (14/9/2015).

Karena berdasar hasil jajak pendapat harian Kompas (9/5/015), bahwa kualitas calon pemimpin daerah meragukan. Di mana kepala daerah masih berjuang untuk kepentingan pribadi/kelompok (60.8%) serta belum mampu untuk segera menyelesaikan masalah hukum dan keadilan di daerahnya (49,1%) serta belum mampu memperbaiki perekonomian dan kesejahteraan rakyat (48,6%).

Kepemimpinan Tengil

Seperti yang penulis adopsi dari pernyataan AA Gym berkenaan dengan kepemimpinan tengil yang harus dijauhi dan jangan dipilih. Kata “TENGIL” dapat diuraikan sebagai berikut. T berarti pemimpin tidak boleh takabur baik itu meremehkan agama maupun merendahkan orang lain. Karena pemimpin yang takabur hanya baik di depan (saat mau pemilihan) namun sesudahnya akan lupa janjinya. Hal ini sudah banyak terbukti oleh anggota legislatif dak Kepala Daerah yang lupa akan janji pada konstituennya. Tahun 2008-2011 saja ada 42 anggota DPR terseret kasus korupsi (Kompas 20/6/11).

E diartikan egois yaitu pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri. Pemimpin yang hanya butuh dukungan namun tidak mau berkorban. Seperti laporan litbang harian Kompas, membuktikan bahwa 60.8% responden mengatakan bahwa para tokoh daerah saat ini lebih banyak berjuang untuk kepentingan pribadi/kelompok. Seperti yang sedang gonjang-ganjing menerpa Partai Demokrat dengan banyaknya kasus korupsi yang membelit anggotanya.

N, berarti norak, di mana pemimpin yang “brutal” semena-mena dalam menjalankan Pemerintahan. Tidak mempunyai tata krama, sopan santun dan etika dalam memimpin. Dalam hal ini, keteladanan dan contoh riil yang bijak/santun dalam berperilaku yang membuktikan bahwa calon pemimpin ini baik.

G, diartikan galak. Pemimpin yang emosional menjadikan proses kepemimpinannya menjadi tidak tenang. Karena pemimpin yang marah lebih banyak menyakiti daripada mengayomi. Situasi kerja yang tidak kondusif menjadikan suasana kerja tidak harmonis. Sering terjadi disharmonisasi antara pemimpin dengan anak buahnya.

I, berarti iri hati. Orang yang memiliki sifat iri hati tidak akan senang bila orang lain sukses. Yang selalu dipentingkan adalah kesuksesan diri. Anak buah yang berprestasi justru dianggap musuh dan dibenci. Akhirnya sering terjadi mutasi (perpindahan) jabatan yang sewenang-wenang tanpa melihat latar belakang keahlian masing-masing. Prinsipnya pemimpin yang mempunyai sifat iri hati tidak bisa memberi pujian orang yang sukses.

Sedangkan L diartikan Licik. Pemimpin yang licik adalah yang suka mencari korban untuk kepuasan dirinya. Sering apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. Dalam hal ini apa yang dijanjikan saat kampanye, bisa dipastikan dalam perjalanan waktu pemerintahannya akan mengingkari janji yang telah diucapkan dulu.

Maka harapan Pilkada serentak sebelum dan sesudahnya, adalah mendapatkan pemimpin yang jauh dari tengil. Bagaimanapun masyarakat akan setia, taat dan patuh dengan pemimpin yang tidak jauh dari semboyan ing ngarso sung tulodha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (Ki Hajar Dewantoro).

Kepemimpinan yang menyimpang dari cita-cita mulia pendiri bangsa masyarakat adil makmur dan sejahtera. Menurut Jakob Sumardjo merupakan sikap dan tingkah orang Indonesia paradoks, kontradiksi dalam dirinya dan sulit dipahami. Orang Indonesia sering mempromosikan dirinya akan segala kelebihannya namun tiba tiba bisa berbalik arah justru menjadi brutal dan ganas. Itu tercermin dari sikap pimpin yang arogan dan tengil.

Pilkada adalah pilihan politik. Namun politik dalam arti sesungguhnya bukanlah semata-mata demi kekuasaan/ penguasaan dan mempertahankan kekuasaan serta menjalankan kekuasaan. Namun juga merupakan suatu ikhtiar/niat demi kepentingan dan kesejahteraan orang banyak (YB. Magoenwijaya)

Pilkada serentak diharapkan menghasilkan pemimpin yang peduli terhadap kepentingan rakyatnya akan merangkul semua elemen masyarakat untuk diajak kerjasama demi membangun bersama daerahnya. Bagaimanapun demi kesejahteraan dan kemuliaan bersama menjadikan model pemimpin yang utuh, penuh kapabel, kredibel dan akuntabel.

Sebagai akhir kata, menyimak perkataan Presiden Amerika Serikan, John F. Kennedy, “jangan bertanya apa yang dapat diberikan Negara kepadamu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada Negara ini.” Gunakan hak pilih secara jernih karena masa depan kita tergantung pemimpin yang kita pilih. Semoga.