Friday, April 29, 2016

Euforia, Bullying dan Depresi

OPINI, Tribun Jateng, 29 April 2016

oleh: FX Triyas Hadi Prihantoro

Sebuah peristiwa yang dilakukan sekelompok siswa, Sonya Ekarina Depari (SED) di Medan tak patut dicontoh. Usai melaksanakan Ujian Nasional (UN) hari terakhir melakukan konvoi, aksi corat coret dan mengganggu lalu lintas (Tribun. 6/4/16).

Ironisnya saat diberhentikan oleh Perwira Unit Patwal Satuan Lalulintas Polresta Medan, Inspektur Dua (Ipda) Perida Panjaitan. SED marah marah dan mengaku anak dari Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Irjend Pol Arman Depari. Karena merasa melaksanakan tugas dan mengarahkan secara persuasif, Polwan tersebut tidak takut sebab menjalankan tugas sesuai Undang-Undang (UU).

Yang menjadi bahan permenungan, usai kejadian tersebut SED mendapat serangan dari para haters. SED di bullying lewat sosial media secara habis-habisan. Dampak yang paling fatal, Ayah SED, Makmur Depari jatuh sakit dan meninggal dunia karena tidak tahan mendengarkan perilaku anaknya yang tidak mengenakkan. (Tribun Jateng, 7/4/16)

“Quidquid agis discis, tibi discis”, apapun yang kau katakan, kau mengatakannya pada dirimu sendiri. Ungkapan kegembiraan berlebihan sebagai bentuk personifikasi diri. Sehingga kadang lupa akan budaya lokal dan UU.

Kata bijak latin sebuah gambaran perilaku remaja yang egosentrisme dalam menghadapi sesuatu. Bak pepatah masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Semau gue! Yang penting saat ini gue happy dan orang lain harus menyadari, mengikuti dan mendukung ungkapan perasaan ini. Keprihatinan selebrasi hadir saat kaum remaja meluapkan kegembiraan. Padahal belum tentu lulus UN aksi kegembiraan berlebihan (eforia) dilakukan secara massif tanpa memperhitungkan kepentingan yang lebih besar (masyarakat).

Pembelajaran

Kasus SED, seharusnya menjadi pembelajaran siswa/i dan orang tua. Sebab korban eforia berefek pada bullyingdan depresi. Saat remaja yang bereforia “keluar “berbagai pelanggaran, penodaan makna sampai kejahatan terjadi. Berbagai penyimpangan, pelanggaran dilakukan oleh kaum remaja dalam mengeksploitasi, mengeksplorasi diri dalam selebrasi kegembiraan dengan berbagai aktifitas tanpa melihat hak publik dan dampaknya.

Fatalisme berakibat menggayut dalam keprihatinan semu. Aksi corat coret, konvoi, vandalisme dan tindakan destruktif anarkis muncul secara masif. Pandora kesemrawutan, keributan, pelanggaran lalu lintas, arogansi sebagai aktualisasi bentuk egosentrisme yang membuai kaum remaja yang gembira dalam pesta pora.

Egosentrisme merupakan “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fable. Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia & Olds, 2001).

Karena kesalahan fatal, corat corat, konvoi, pelanggaran lalu lintas, teguran dan menjadi peristiwa terheboh ( pusat perhatian publik). Akhirnya terjadi cyber bullying ( kekerasan dunia maya). Gencar dan massifnya bully, menjadikan depresi bagi yang menjadi sasaran.

Menurut Wikipedia depresi, suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu gangguan Depresi. (perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur).

Menurut Irna Minauli Psikolog dari Minauli Consulting., korban bullying biasanya adalah seseorang yang memiliki karakter "ter", terbodoh atau terpintar, terjelek atau tercantik, termiskin atau terkaya. ketika ditemukan perilaku yang tidak baik pada seseorang, maka hal itu menjadi jalan pembenaran untuk dilakukan bullying.

Berdampak

Berbeda dengan model bullying konvensional yang hanya menyangkut aspek fisik (seperti dipukuli, ditampar), verbal (dihina, diejek, difitnah) serta bullying yang sifatnya relasional (mengisolasi dan mengajak orang lain untuk memusuhi korban). Bentuk cyber bullying bisa mencakup kesemuanya dan menjadi lebih berbahaya, karena pelaku tidak tampak dan seringkali tidak dikenal dan serba cepat, efektif massif.

Oleh karena itu eforia berlebihan yang mendapatkan sorotan masyarakat (ter) berefek pada cyber Bullying dan depresi. Sebuah mata rantai peristiwa yang dapat menjadikan parameter kepada manusia. Itu sebabnya orangtua harus mengajarkan kepada para remaja untuk lebih berhati-hati menyatakan pendapatnya di depan publik di jaman digital saat ini.

Multiplier effect berdampak luar biasa saat ada korban, sebagai akibat bullying, depresi dan meninggal dunia. Beyth-Marom, dkk (1993) kemudian membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun orang dewasa memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang berisiko merusak diri (self-destructive)

Maka di era milenial ini budayakan gerakan penyadaran sebagai dorongan bentuk simpati dan empati. Bila gerakan taat, patuh, tertib, disiplin kepada pembentukan jati diri. Semuanya dapat dilaksanakan bila asas kepatutan, ketaatan, kepatuhan dan kedisplinan dijalankan secara bertanggung jawab. Sehingga tidak melahirkan korban korban baru dari eforia, bullying dan depresi. Semoga.

FX Triyas Hadi Prihantoro

(Praktisi Pendidikan)

Thursday, April 21, 2016

Generasi Z dan Degradasi Moral

OPINI, Kedaulatan Rakyat 20 April 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Berita menghebohkan jagat maya, saat seorang anak Sekolah Dasar (SD) mengugah foto syurrnya (diatas Ranjang) bersama seorang remaja pria beredar di dunia maya. Kasat mata dan terang-terangan foto itu diunggah secara sadar oleh anak. Berita/ gambar/ film penyimpangan anak-anak SD mudah ditemukan di dunia maya. Merek merupakan generasi Z ( I Generation). Generasi yang melek iptek dan mudah terpengaruh dan berafiliasi secara cepat, reaktif, instan dan aplikatif.

Generasi Z mempunyai ciri, fasih teknologi (generasi digital), mahir dan gandrung kepada teknomogi informasi dan berbagai aplikasi computer . Berjiwa sosial, sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya dengan teman sebaya melalui berbagai situs jejaring (face book, twitter, WA,instagram dan aplikasi lain). Multitasking yang terbiasa dengan berbagai aktifitas bersamaan (membaca, berbicara menonton, mendengarkan musik bersamaan).

Generasi Z (kelahiran tahun 1995-2010) merupakan masa remaja masa peralihan dari kanak kanak ke dewasa. Pada masa individu (jati diri) banyak mengalami perubahan fisik maupun psikis (Hurlock. 1991). Masa banyak menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian terhadap diri di lingkungan sosialnya. Apabila kurang pendampingan atau kelengahan orang tua berakibat degradasi moral dan masuk kepada free seks.

nakal

Kenakalan generasi Z, seolah mengaplikasikan yang diperoleh, sebagai peristiwa permisif. Masa remaja adalah masa sukar, peranan pendidikan pada masa ini sangat besar dalam penentuan pandangan hidup remaja, maka kenalilah dan beri bimbingan (Sumadi Suryabrata. 1975) Dr. Boy Abidin SpOG melansir angka seks remaja Indonesia mencapai 22,6 %. Data tersebut tidak berbeda jauh dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana nasional (BKKBN) yang menyatakan sekitar 23 % remaja usia sekolah SMP/SMA se Indonesia mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks 21 % diantaranya melakukan aborsi.

Pengaruh dunia maya sudah semakin massif menyasar anak-anak (SD/SMP) sebagai generasi Z, yang belum mampu memfilter berbagai informasi. Kesibukan orang tua sehari hari membuat lupa dalam mengawasi anak-anaknya. Polesan kehidupan anak bukan karena harapan dan keinginan orang tua, namun karena didikan asisten rumah tangga (pembantu) maupun benda elektronik TI yang semakin sulit dikendalikan. Sayangnya anak-anak biasa terpikat secara halusinasi dunia maya sebagai dunia yang riil itu sendiri. Akses internet didapat, dengan tulisan sticker “ free wi-fi “ bertebaran dimana mana baik ruang publik maupun prifat. Tulisan tersebut seolah sebagai gimmick atau alat pemikat untuk berkumpul dan bertemu komunitas.

Benang merah kenakalan remaja dan penyimpangan generasi Z perlu direntas akar permasalahan. Mulai hulu (pendidikan dalam keluarga), sekolah dan masyarakat sebagai mata rantai dari fase fase kehidupan anak. Lingkungan yang baik akan menghasilkan anak bermoral. Menurut Kartini (2002), ada beberapa teori yang melingkari kenakalan remaja Teori biologis, psikogenesis, sosiologis dan subkultural. Pendidikan keluarga sebagai faktor psikogenesis (hulu) bernilai strategis. Maka saat orang tua tidak dapat diteladani (bertengkar / bercerai) menjadikan anak brokenhome.

Degradasi Moral

Dalam keluarga dengan ketidak hadiran orang tua, kurangnya komunikasi, ketidak mampuan sosial ekonomi menjadikan agresifitas, keras kepala, membangkang, pendendam, berubah karakter menjadi habitus (budaya). Lingkungan masyarakat yang tidak kondusif membuat pintu kenakalan generasi Z semakin terlegalisasi dan membabi buta.

Kenakalan anak dipengaruhi banyak faktor penyebab demi mendukung teori. Baik bersifat psikis, genetic (keturunan), keluarga, lingkungan, sekolah dan tuntutan masyarakat setempat. Dan pengaruh yang sangat signifikan dengan marak dan kemudahan mengakses Teknologi Informasi (TI) dengan kepemilikan gadget serta pendukung akses. Pasalnya ketika tontonan menjadi tuntunan dan hiburan menjadi panutan atau sebaliknya, pada saat tuntunan menjadi tontonan dan panutan berubah menjadi tepukan (Toto Asmara: 1997)

Demi mengantisipasi baik preventif ( pencegahan), kuratif (memperbaiki/ menyembuhkan) dan rehabilitatif (memperbaiki kembali) mental, moral dan etika. Berbagai upaya wajib dilakukan baik secara mandiri, kolektif maupun mondial. Karena kenakalan generasi Z sudah massif bagai virus penyakit masyarakat yang mudah menular. Selamatkan degradasi moral generasi Z sekarang juga.

Monday, April 18, 2016

Revitalisasi Museum Radya Pustaka

Opini, Harian JOGLOSEMAR 19 April 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Berita ditutupnya Museum Radya Pustaka (MRP) karena tidak ada biaya, menjadikan mitra museum Surakarta meradang. (Joglosemar 13/4/16) Kesedihan melanda para sejarawan, pegiat budaya dan pemerhati benda cagar budaya (BCB).

Sebenarnya harian inipun sudah beberapa kali memberitakan tentang ditutupnya Radya Pustaka dengan berbagai alasan. “ Radya Pustaka bisa tutup bila dana hibah tidak cair,” (Joglosemar 8/12/2015). “Radya Pustaka tutup, pengunjung kecele,” karena yang membawa kunci tidak datang ( Joglosemar 1/2/16). Berita kempang kempis kehidupan MRP membawa keprihatinan bersama.

Padahal kita tahu bahwa MRP merupakan museum tertua (lebih dari seabad) yang didirikan pada masa Pemerintahan Pakubuwono IX oleh Kanjeng Raden Adipati Sosroningrat IV, tanggal 28 Oktober 1880. Awal mulanya berdiri di dalem kepatihan kemudin pindah di Jalan Slamet Riyadi. Di rumah bekas kediaman seorang Belanda, Johannes Busselaar, satu komplek dengan Taman Sriwedari (Bon Rojo). Setelah ada jaminan Pemerintahan Kota (Pemkot) Surakarta dan tutup tiga hari akhirnya dibuka kembali. Pemkot siap mencairkan dana hibah operasional. Dan memastikan jika tak lama lagi dana bisa cair. Seperti diketahui, sejak ditetapkannya UU nomor 23/2014 yang mengatur Dana Hibah, penerima harus berbadan hukum. (Joglosemar 16/4/16).

Pengelolaan Museum Raya Pustaka berstatus milik Yayasan Paheman Radyapustaka Surakarta yang dibentuk tahun 1951. Kemungkinan belum berbadan hukum dan tidak berada di bawah naungan Dinas Purbakala maupun Dinas Disbudpar Kebudayaan dan Pariwisata (Dispudbar). Disposisi diberikan kepada berdasarakan UU 11/2010 tentang Cagar Budaya, di mana pemerintah wajib mengamankan, melestarikan dan menjaga cagar budaya. Sebuah kehendak bersama dan amanat UU untuk tetap melestarikan dan menghidupkan MRP.

Melestarikan Radya Pustaka butuh kerelaan dan dana yang tidak sedikit. Dalam pandangan publik, memelihara bangunan bersejarah berat di ongkos. Karena BCB butuh sebuah perawatan yang prima dengan berbagai resiko yang ada. Bangunan tua identik dengan kumuh, berlumut. cat mengelupas, tembok yang rentan, kayu lapuk, banyak semak belukar dan tidak terawat.

Di kota Solo sendiri sedikitnya ada 175 bangunan yang resmi dilindungi UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya. Sebanyak 100 benda cagar budaya (BCB) ditetapkan surat keputusan dinas terkait, Dinas Tata Ruang Kota (DTRK). 70 cagar budaya telah ditetapkan melalui SK Wali Kota dan lima BCB lain ditetapkan oleh Kemendikbud.

Revitalisasi

Museum Radya Pustaka sebagai bagian BCB menyisakan sebuah keagungan, keindahan akan maha dahsyatnya berbagai peninggalan kuno serta isinya. MRP sendiri mengkoleksi berbagai macam arca, pusaka, buku-buku kuno, pakaian adat, foto lawas yang bernilai sejarah sangat tinggi dan sumber literasi (perpustakaan kecil).

Di dalam MRP juga mengkoleksi keris kuno dan berbagai senjata tradisional (tosan aji) di pasang dalam almari, seperangkat gamelan, wayang kulit & wayang beber, kuluk songkok, koleksi, koleksi menarik “canthik” (hiasan pada haluan perahu pesiar) Rajamala dan berbagai barang seni lainnya.

Radya Pustaka juga berhasil menterjemahkan lebih dari 50 judul buku kuno berhuruf jawa. Buku tersebut disalin dalam bahawa jawa latin dan bahasa Indonesia. Beberapa buku yang disalin antara lain Babad Tanah Jawa, Serat Tjentini, Kalatida (karya Ronggowarsito), Kunjorokarto dan Serat Wirowiyoto tulisan Mangkunegoro IV. (Kompas 18/4/1972).

Mengutip sebuah kata bijak “ The object of art is to crystallies emotion into thoughts and then fix it in form”, hasil karya seni merupakan pengukuhan emosi kedalam pikiran dan kemudian mewujudkannya sebagai suatu bentuk

Seperti sekolah penulis, dalam Mata Pelajaran Sejarah mengagendakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), bagi siswa kelas XI outing class (belajar diluar), Museum Radya Pustaka. Ini merupakan pembelajaran riil bagi pelajar. Pun pula agenda wisata lokal dan mancanegara seyogyanya di atur kunjungan ke Museum. Disini sebagaian dana untuk “hidup” bersinergi dengan wisata Kereta Uap Jaladara.

Butuh revitalisasi MRP dan kepedulian dari Pemerintah dan penyelamat bangunan tua dan koleksinya. Selain mengembalikan pamor bangunan tersebut, mengembalikan budaya adiluhung yang membanggakan warga Kota Surakarta.

Oleh karena MRP butuh sentuhan dan dukungan nyata warga Kota, dengan nyengkuyung merevitalisasi BCB tersebut. Dengan rehabilitasi, konservasi, preservasi restorasi dan pemeliharaan secara holistik, mengajak segala element bangsa mulai dari pengusaha, budayawan, pemerhati bangunan tua, akademisi dan seluruh lapisan masyarakat Solo.

Merevitalisasi MRP sebagai bentuk kesungguhan niat dengan dukungan stakeholder kota. Museum Raya Pustaka sebaga benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagian atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) atau mewakili masa gaya yang khas dan dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (pasal 1 ayat 1, UU RI no, 5 tahun 1992, jo UU No 11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya. Begitu!

FX Triyas Hadi Prihantoro (SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)

Thursday, April 07, 2016

Budi Pekerti dan Generasi Z

OPINI, harian Joglosemar, 8 April 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Zaskia Gotik “ terpeleset,” kata atau sengaja melakukan pelecehan lambang negara dalam sebuah acara hiburan di Televisi Swasta (22/3/2016). Sebuah kegagalan pendidikan budi pekerti, etika dan kewarganegaraan. Anomali budi pekerti dalam mewujudkan pelaku pendidikan dan kebudayaan kuat.

Ironis, seorang public figure yang tidak tahu tanggal proklamasi kemerdekaan RI dan gambar lambang Negara Republik Indonesia, sila ke lima. Serendah-rendahnya tingkat pendidikan yang di enyamnya (katanya hanya lulus Sekolah Dasar). Namun pembelajaran lambang Negara, lagu kebangsaan, hari besar nasional merupakan makanan sehari hari dalam pembelajaran di SD.

Penyebutan tanggal 32 agustus sebagai tanggal kemerdekaan RI dan gambar bebek nungging (sila kelima) merupakan kesalahan fatal yang dilakukan Zaskia. Namun pihak kepolisian menemukan fakta baru bila Zaskia mencoret jawaban 17 Agustus ketika ditanya hari kemerdekaan Indonesia menjadi 32 Agustus. (merdeka.com) Membuktikan Zaskia tidak bodoh atau tidak tahu, bisa jadi sengaja di lakukan demi komersialisasi bisnis hiburan.

Kejadian diatas sebagai salah satu contoh kecil. Ketidak tahuan juga pernah di tayangkan metro tv, seorang siswa di Sumatera utara tidak hafal lagu Garuda Pancasila. Bagaikan gunung es, bila siswa generasi Z (I generation) tidak memiliki rasa nasionalisme yang kuat.

Kita mengenal ada 5 generasi, yaitu: (1) generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964), (2) generasi X lahir 1965 -1980), (3) generasi Y (lahir 1981-1994, (4) generasi Z, lahir 1995-2010 dan (5) generasi Alpha, lahir 2011 – 2025. Generasi Z disebut juga ( iGeneration, Generasi Net, generasi Internet) terlahir dari generasi X dan generasi Y.

Peristiwa yang menghebohkan dunia pendidikan, karena dianggap lalai dan tidak mampu mentransfer ilmu pengetahuan kepada generasi Net. Pasalnya salah satu visi dan misi pendidikan adalah mewujudkan pelaku pendidikan dan kebudayaan kuat. Ketidak mampuan dalam pikiran seorang anak bangsa menyebutkan lambang Negara (gambar) dan menyebutkan hari kemerdekaan, menjadi bahan intropeksi.

Melihat terdegradasinya rasa nasionalime dan patriotisme maka mulai tahun ajaran 2015-2016 dilaksanakan program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) di sekolah. Orang tua juga diwajibkan menghantar sekolah bagi anaknya (SD), saat tahun ajaran baru dan bertemu dengan guru kelasnya.

Program PBP berdasarkan surat edaran Mendikbud agar menjadi budaya sekolah, berdasar Permendikbud No. 21 tahun 2015. Tujuannya untuk mengoptimalkan pendidikan karakter dari sektor non kurikuler. Sebuah keresahan dari Negara atau Pemerintah terhadap degradasi moral dan etika anak bangsa, sehingga menjadi keharusan dan menjadi habitus (budaya) sekolah. Upaya mewujudkan pelaku pendidikan dan budaya kuat untuk generasi Z dan generasi Alpha.

Habitus kuat

Pelajar generasi (Z) mengalami degradasi moral, etika, tingkah laku, turunya semangat belajar, ngegeng, vandalisme, dan tindakan anarkis lainnya serta berfokus pada gadget (gawai). Masalahnya semakin jauh dari harapan dan jati diri bangsa Indonesia. Hedonisme, materialisme, egoistik semakin menjulang ditengah keterpurukan moral dan etika.

Beberapa point yang menjadi habitus kuat, PBP sekolah, dengan membaca buku non pelajaran selama kurang lebih 15 menit tiap hari. Pelajaran diawali doa, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan atau lagu wajib sebagai upaya menggambarkan nasionalisme patriotisme Kegiatan wajib mingguan, upacara bendera setiap hari Senin danolah raga bersama. Kebijakan Pemerintah guna menumbuhkan budi pekerti karena sekolah selayaknya menjadi “taman” budaya kuat. Di dalamnya anak-anak Indonesia akan mendapatkan suasana belajar penuh tantangan tapi menyenangkan sebagai pelaku pendidikan.

Budi Pekerti guna menumbuh kembangkan nilai-nilai dan karakter positif. Karena secara kasat mata, degradasi moral, degradasi nasionalisme pelajar sudah mendekati titik nadir. Wujud nyata mewajibkan menyanyi lagu kebangsaan, lagu wajib setiap hari secara eksplisit, gencar, dan dapat membumi serta mengakar di tengah gencarnya informasi dan komunikasi yang sulit di filter karena masifnya gawai.

Konsisten dan kesungguhan menyanyikan Lagu kebangsaan, membaca dan kegiatan wajib lain di sekolah sebagai bentuk entitas kebanggaan akan bangsa dan negara demi menujukkan semangat heroisme, patriotisme, mempunyai nilai kesakralan (keagungan). Maka, pelajar juga wajib mengerti, memahami, menghayati, dan melaksanakannya.

Lagu kebangsaan, lambang negara menumbuhkan semangat. Menunjukkan identitas, nilai, ruh, jiwa dan budaya bangsa. Kegiatan lain akan membuka mata jendela diri dari membaca dan menumbuhkan semangat menghargai, menghormati, membantu, gotong royong, tepa slira dan tenggang rasa kepada liyan (manusia).

Kegiatan dan penumbuhan budi pekerti dapat diajarkan, dibiasakan, dilatih konsisten, menjadi kebiasaan. menjadikan karakter akhirnya menjadi habitus di sekolah demi mewujudkan pelaku pendidikan dan budaya yang kuat.

Janganlah terdengar generasi muda enggan mendarmabaktikan keunggulannya, inloyalitas kepada tanah air, bahkan sampai lupa lagu kebangsaan, hari kemerdekaan dan lambang Negara. Sekolah merupakan habitus dengan kebudayaan yang kuat kepada warganya.

Mereka (generasi Z dan alpha) akan menerima dengan tulus seberapa besar negara mampu memberi imbalan karena rasa nasionalisme yang sudah terpupuk sejak usia sekolah. Ungkapan right or wrong is my country (baik buruk adalah negaraku) harus mengakar dan membumi di hati pada generasi Z dan generasi alpha nantinya.

FX TRIYAS HADI PRIHANTORO Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta