Tuesday, December 20, 2016

Ditolaknya Moratorium UN ke USBN

OPINI, Tribun Jateng, 20 Desember 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Pasca penolakan usulan moratorium (penghapusan) Ujian Nasional (UN) oleh wakil Presiden Yusuf Kalla. Dan sebagai pengganti akan dilaksanakan Ujian Sekolah berstandar Nasional (USBN). Sebagai bentuk landasan kebijakan moratorium UN karena adanya Putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 2596 K/PDT/2008 tanggal 14 September 2009 yang mengamanatkan pemerintah agar dapat meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional.

Perlunya moratorium menurut menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy berdasarkan perbedaan, pertama, dalam USBN akan ditambahkan materi soal berupa esai. Kedua, materi pembuatan soal akan diserahkan kepada pemerintah provinsi untuk jenjang SMA/SMK, dan pemerintah kota/kabupaten untuk jenjang SMP. Sedangkan Pemerintah Pusat akan menyisipkan beberapa pertanyaan, baik berupa pilihan ganda atau essai yang berfungsi sebagai indikator standar nasional.

Melihat kebijakan moratorium UN, rencananya efektif di tahun 2017, namun akhirnya ditolak. Penolakan bisa menjadi kabar baik, begitu juga sebaliknya. Namun hal ini menurut penulis sebuah dinamikan yang “hidup” dalam dunia pendidikan itu sendiri. Karena demi meningkatkan kualitas pendidikan secara holistik berbagai bentuk evaluasi dan progress pendidikan layak dikritisi. Sebelum di laksanakan, collettive memory (kilas balik pemikiran) dari adanya UN dan perkembangannya layak sebagai buah pemikiran bersama.

UN sendiri dalam sejarah perkembangan mengalami berbagai perubahan kebijakan. Dari sebagai syarat kelulusan siswa (tahun 2012-2013) dengan nilai rata-rata paling rendah 5,5 dan nilai rata-rata tiap mata pelajaran paling rendah 4,0. Tahun 2014 UN dihapus, kelulusan siswa didasakan nilai kelulusan ujian sekolah dan raport. Dasar hukumnya PP No. 23 tahun 2013 tentang perubahan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Dan sejak tahun 2015 ( dua tahun terakhir) UN tidak untuk kelulusan (ditentukan sekolah). Karena fungsi UN untuk dasar pertimbangan pemetaan mutu program dan atau satuan pendidikan. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan untuk meningkatkan mutu. Bahkan secara bijak, Pemerintah juga memberi kesempatan UN susulan dan UN perbaikan.

Pada waktu yang sama juga dilaksanakan UN Computer Based Test (UN CBT). Diberlakukan untuk menghindari persoalan distribusi soal-soal ujian kertas yang sering kali bermasalah. Juga karena masalah percetakan atau pendistribusian soal-soal yang mengakibatkan pelakanaan UN harus tertunda. UN CBT dianggap mampu mengurangi kecurangan yang dilakukan oleh siswa dan guru. Asumsi ini rencana moratorium UN minta dipertimbangkan.

Sedangkan kalangan pro (setuju). Seperti ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait menilai bahwa UN melanggar hak-hak anak. Sejak lama sudah menyatakan tidak setuju dengan pelaksanaan UN yang diberlakukan kepada siswa-siswi. Penolakan terhadap UN tertuju baik sekolah dasar maupun tingkat SMA dan sederajat. bagaiman tindak lanjut dari ditolaknya moratorium UN dan kewsiapan USBN?

USBN

USBN sendiri sebagai bentu upaya membangun sebuah sistem dan instrumen sertifikasi capaian pembelajaran yang kredibel dan reliabel. Namun dari penghapusan UN muncul kekhawatiran yang timbul di masyarakat terhadap perubahan mental dan karakter siswa. Juga berkenaan dengan parameter standar mutu pendidikan nasional. Sebab dengan dikembalikan kebijakan USBN ke dinas Propinsi (SMP/SMA) dan Dinas Kota/Kabupaten (SD), disparitas (kesenjangan) akan semakin nyata terlihat secara nasional.

Meski dalam USBN, ada “titipan” soal Esai dari Kemendikbud . Dalam kewenangannya didesentralisasikan ke daerah sesuai dengan amanat undang-undang. Namun demikian, sudah menjadi rahasia umum, saat penilaian dikembalikan kepada (guru) sekolah penyelenggara UN, menjadi keyakinan akan lulus.

Dibutuhkan kesadaran bersama, ditolaknya moratorium UN dan disiapkannya USBN. Harapanya tidak ditemukan lagi kecenderungan sekolah mengesampingkan atau mereduksi hakekat pendidikan, yaitu membangun karakter, perilaku dan kompetensi siswa. UN diharapkan juga tidak lagi menjadi ajang prestise sehingga menjadi habitus sekolah, yang berfokus pada mata pelajaran (mapel) UN dan mengabaikan mapel lainnya.

Gagalnya moratorium UN dan usulan USBN bisa menjawab dari kegelisahan tersebut, dengan menyamakan standar dari mapel yang ada di jenjang sekolah. Dengan mengkolaborasikanya dan berharap dalam proses pembelajaran tetap mendorong siswa berpikir kritis, dinamis, analitis dan konstruktif.

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)

Friday, December 16, 2016

Eksistensi UN

OPINI, Kedaulatan Rakyat 15 Desember 2016

oleh: FX Triyas Hadi Prihantoro

Ujian nasional (UN) akhirnya tidak jadi di moratorium. Pelaksanaan UN sendiri diatur dalam PP Nomor 13 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagai pemetaan mutu pendidikan. Gamangnya kepastian UN 2017 terjawab sudah, karena tetap dilaksanakan dan pemerintah akan tetap mengevaluasi penyelenggaraannya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy sendiri menyatakan bahwa ada 3(tiga) opsi yang disaiapkan berkaitan dengan UN. Yaitu penghapusan UN, moratorium UN tahun 2017 dan penyerahan pelaksanaan UN kepada Pemerintah Daerah. Dan UN tidak lagi menentukan kelulusan tetapi lebih berfungsi meematakan kondisi pendidikan.

Lalu, bagaimana parameter baku yang menjadi ukuran kualitas secara komprehensif ? Meski tidak untuk menentukan kelulusan, ada kebijakan ujian ulang bagi yang belum puas akan hasil nilai UN? Maka dibutuhkan komitmen bersama antar daerah dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui UN. Dan pemerintah daerah wajib bekerja keras guna memperbaiki kualitas pendidikan di wilayahnya. Sehingga eksistensi UN dapat dirasakan secara holistic, sehingga tidak terjadi disparitas pendidikan itu sendiri.

Pertimbangan

Pada pasal 68 PP No. 13 tahun 2015, bahwa hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk tiga hal, yaitu pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Di sinilah telah terjadi distorsi penafsiran makna kata ujian yang seharusnya examination Ujian, bukan bentuk evaluation (menilai akhir) apa yang sudah dilakukan oleh sekolah.

Sebagai sebuah examination, parameternya jelas, yakni ketercapaian standar kompetensi yang dipatok dalam kurikulum tiap mata pelajaran. Kalau memang tidak hendak mengukur capaian hasil belajar, akan lebih baik bila labelnya bukan ujian nasional, tetapi ujian pemetaan atau yang lain. Dan, itu dapat dilakukan kapan pun, tidak harus pada akhir termin jenjang pendidikan (wiyaka.2016).

Sudah dua tahun penentu kelulusan siswa sepenuhnya ditentukan oleh sekolah. UN sebagai pemetaan tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), seperti dalam Pasal 58 UU Sisdiknas yang menjelaskan, penilaian peserta didik menjadi kewenangan pendidik (guru) dan satuan pendidikan (sekolah).

Meski perubahan kebijakan namun eksistensi UN ternyata masih penting. UN sebagai evaluasi meski secara implisit sebagai pemetaan kualitas pendidikan. Sebagai dasar legalitas yang tertulis dalam UU Sisdiknas. Tes UN merupakan achievement yang mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran sedang tes PTN merupakan predictive test, mengukur kemampuan calon menjalani proses pendidikan.

Meski sekolah diberi tanggung jawab berkenaan dengan kelulusan. Namun sekolah diharapkan tidak melakukan segala “rekayasa” nilai guna mengatrol ambang batas minimal nilai dalam menentukan kelulusan. Bila sekolah melakukan rekayasa nilai sedemikian rupa. Sekolah bisa merasa dipermalukan oleh data yang ada. Pasalnya sangat jelas dan gamblang berdasarkan data, bahwa unsur rekayasa nilai sangat jelas dalam menentukan nilai mata pelajaran yang diUNkan. UN menjadi satu kesatuan baik sebagai pemetaan, seleksi kelulusan, maupun pembinaan untuk meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana tercantum dalam pasal 58 UU Sisdiknas.

Evaluasi

Sistem evaluasi dan kelulusan ditentukan oleh sekolah terjabarkan dalam Pasal 58 ayat 1 bahwa Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Ayat 2, Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Oleh karena itu pola pikir yang sudah menjadi paradigma UN yang pragmatis bercampur aduk dengan evaluasi pendidikan itu sendiri dapat menjadi pembuka pemikiran baru pascaditolaknya moratorium. Maka UN sebagai evaluasi secara holistik dalam konteks standarisasi kurikulum bisa menjadi parameter evaluasi pendidikan.

penulis: Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Wednesday, December 14, 2016

Reformasi (Mental) UN

OPINI, Harian Joglosemar 14 Desember 2016

oleh : FX Triyas Hadi prihantoro

Pasca ditolaknya usulan dari Menteri Pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mengenai moratorium Ujian Nasional (UN) 2017. Moratorium sebagai tindak lanjut memenuhi persyaratan berdasar dari putusan Mahkamah Agung (MA) tahun 2009 agar memenuhi standar pelayanan, kualitas guru, serta infrastruktur sekolah.

Dengan demikian dalam menyiapkan UN 2017 dibutuhkan reformasi mental UN itu sendiri. Sebagai bentuk evaluasi dan pembaruan sistem, cara, metode dari UN. Pasalnya pemerintah masih menganggap UN tetap di butuhkan untuk mengevaluasi standar disasi mutu pendidikan nasional dan memastikan kesungguhan siswa belajar. Kemungkinan penolakan moratorium juga karena belum ditemukannya cara assessment (penilaian) mutu selain UN. Seolah hanya pengalihan wewenang dan pengalihan tanggung jawab dan mutu pendidikan itu sendiri. Padahal selama ini UN sudah mengalami evaluasi. Namun kenyataanya kebijakan proses dan hasil UN belum mampu merubah mental peserta, orang tua dan pendidik. Mental kurang percaya diri, sehingga UN yang tidak lagi menjadi penentu kelulusan sejak tahun 2015, tetap tidak bersih dari kejujuran. Inilah salah satu alasan Mendikbud untuk melakukan moratorium, selain tingkat keberhasilan UN secara nasional hanya 30 persen saja.

UN sebagai alat mengukur mutu pendidikan secara kognitif, hasilnya masih juga mengecewakan. Selama 15 tahun sejak UN digulirkan pada tahun 2005, mutu pendidikan kita masih rendah dibandingkan negara lain. Terbukti dari hasil studi Program for International Student Assessment (PISA) yang menguji kemampuan siswa usia 15 tahun di bidang bahasa, matematika, dan IPA, Indonesia berada di peringkat 39 dari 41 negara pada 2000 dan di posisi 69 dari 76 negara pada 2015.

mental

Dibutuhkan reformasi mental UN , yang masih belum mampu membuka mata hati pelaku pendidikan. Dapat diartikan, sepanjang UN masih dipakai sebagai parameter selain pemetaan, potensi kecurangan akan tetap terjadi. Karena siswa dan orang tua tetap menginginkan bisa masuk ke PTN favorit. Mengubah maindside (pola pikir), butuh semangat dan kesadaran kolektif.

Mahatma Gandi mengatakan, “Segala sesuatunya tergantung pada mental atau karakter”. Mau maju atau mundur, mau berhasil atau gagal, dan sejenisnya “lose or win” tergantung pada mental. John P. Kotter dan Dan S. Cohen (2014) dalam bukunya “The Heart of Change” menyatakan hal yang sama bahwa jantung perubahan bukan berada dalam pikiran, melainkan pada mental, yakni: “Sikap atau Perasaan”, seperti dikutip Aswandi (2015).

Demi sebuah prestise, label “sekolah bermutu”, kepercayaan (trust) dari masyarakat tumbuh. Merupakan simulakra (pencitraan yang mengaburkan kenyataan) dari sebuah sekolah. Berbagai kecurangan yang masih terjadi, dibutuhkan reformasi mental. Karena sekolah tidak lagi menjadi tempat proses pembentukan pribadi namun hanya sebagai “proyek”.

Anomali dunia pendidikan sudah terang-terangan. Kompetensi sehat mutu pendidikan tidak berjalan semestinya. Apa gunanya proses pembelajaran di kelas selama tiga tahun dengan segala bentuk pesan dan keteladanan dari guru, bila akhirnya saat UN masih tidak jujur. Namun reformasi mental dapat dilakukan dengan format baru.

Hakikat pendidikan sebagai proses terabaikan. Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diiri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara tidak ada artinya.

Mantan Mendikbud, Anies Bawesdan, pada pengantar buku “Kilas Kinerja Pendidikan dan Kebudayaan” (2015) mengemukakan 7 (tujuh) upaya revolusi mental bidang pendidikan; yakni: (1) mengubah paradigma pendidikan “berdaya saing” menjadi pendidikan “mandiri dan berkepribadian”; (2) merancang kurikulum berbasis karakter dari kearifan lokal serta vokasi yang beragam berdasakan kebutuhan geografis daerah dan bakat anak; (3) menciptakan proses belajar yang menumbuhkan kemauan belajar dari dalam diri anak; (4) memberi kepercayaan penuh pada guru untuk mengelola suasana dan proses belajar pada anak; (5) memberdayakan orang tua untuk terlibat pada proses tumbuh kembang anak; (6) membantu kepala sekolah untuk menjadi pemimpin yang melayani warga sekolah, dan; (7) menyederhanakan birokrasi dan regulasi pendidikan ketimbang pendampingan dan pengawasan.

Reformasi

Penulis berpendapat upaya moratorium UN perlu diapresiasi oleh Kemendikbud dan ditindak lanjuti melalui reformasi UN. Perubahan kurikulum harus diikuti oleh reformasi pengembangan guru dan mental peserta didik. Pengembangan guru saat ini menggunakan pendekatan top down. Guru dievaluasi melalui ujian daring atau sertifikasi saja yang hasilnya tidak berpengaruh bagi pembelajaran di kelas. Peserta didik tidak melulu menerima (top down) apa yang di berikan guru, namun butuh reformasi dan revolusi mental. Pendekatan menggunakan pembelajaran praktis dan dipraktikkan di tingkat kelas ataupun sekolah akan lebih bermakna bagi guru dan peserta didik di kelas .

Kepala Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten melalui monitoring pengawasnya perlu memberikan tindakan/sanksi tegas. Pembinaan dan pengawasan secara kontinue perlu dilakukan. Karena sekolah bukan tempat untuk memperoleh angka namun sebuah proses pembelajaran menuju hasil yang berkualitas secara intelektual, kecerdasan maupun manusia berakhlak. Asas keadilan perlu ditegakkan.

Pasca ditolaknya moratorium UN. Stakeholders sekolah perlu menyadari bahwa mutu sekolah tidak hanya diukur dengan kelulusan UN seratus prosen. Harapannya kompetensi mutu pendidikan benar-benar menunjukkan kualitas dan UN bukan alat ukur satu-satunya. Reformasi mental UN haruslah utuh agar berdampak pada proses pembelajaran yang menyenangkan dan penciptaan iklim belajar atau ekosistem sekolah yang kondusif dan berkualitas. Semoga.



FX Triyas Hadi Prihantoro (Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)