Sunday, May 12, 2013

Menggugat UN

Suara Guru SUARA MERDEKA (18 April 2013) LAPORAN kecurangan pelaksanaan UN 2013 tidak banyak didengar, namun justru kekecewaan stakeholder pendidikan dalam UN sangat gencar dan semakin keras. Kekacauan dan karut-marut yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) seolah tidak bisa diampuni. Bahkan, tuntutan mundur terhadap Mendikbud semakin gencar terdengar dari pemerhati pendidikan dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ini adalah pelaksanaan UN terburuk sejak digulirkan tahun 2004 lalu. Penundaan 11 provinsi disebabkan soal belum terdistribusi dengan baik, memang sangat fatal. Belum lagi kasus paket soal yang rusak di kargo bandara, soal yang tertukar, tidak ada, rusaknya lembar jawaban komputer (LJK), dan kurangnya soal. Semua kasus yang massif terjadi semakin melengkapi kegagalan UN 2013. Padahal, banyak hal/sistem baru yang dicoba dilakukan. Mulai dari 20 macam paket soal dengan LJK sistem barcode, peningkatan kesulitan soal, dan penerapan tipe sanksi bagi peserta dan pengawas. Ini menunjukkan keseriusan Kemdikbud dalam melaksanakan UN dengan jujur, bersih, dan adil. Teledor Sayang, usaha untuk memperbaiki sistem dan mengeliminasi kecurangan (mencontek, tersebarnya kunci jawaban) yang biasa terjadi, gagal. Justru kelenaan, keteledoran mendera, seolah konsentrasi terbelah. Persoalan yang paling penting dan hakiki, yaitu soal UN yang harus tepat waktu justru terlewatkan. Ironis sekali, bahwa UN yang sudah terprogram dan terjadwal tidak diimbangi dengan penjadwalan yang akurat. Perencanaan, pembuatan, pencetakan, dan pendistribusian soal yang tidak tepat waktu berakibat fatal. UN MA sederajat gagal dilaksanakan dengan baik. Kekhawatiran bocor terbuka lebar dan pemicunya justru dari pembuat regulasi itu sendiri. Belum lagi pelaksanaan penjadwalan ulang UN SMA di 11 provinsi yang tertunda bersamaan dengan pelaksanaan UN SMP. Banyak area sekolah yang sama antara SMP dan SMA di beberapa sekolah. Semakin amburadul dan membuat kacau, karena harus mendesain ulang ruang ujian. Karena itu, pelaksanaan UN yang gagal layak digugat. Permintaan maaf dari penanggung jawab utama mungkin belum cukup. Karena efek psikologis (mental, spiritual, material) peserta, pengawas, dan pelaksana UN sudah dipermainkan oleh kekacauan teknis. Sebaiknya Kemdikbud segera melakukan investigasi dan laporan secara transparan. Jangan membuat kesimpulan dan mencari kambing hitam pembuat kesalahan ini sebelum fakta dan bukti akurat ditemukan. Berikan sanksi setegas-tegasnya kepada yang salah, sebab banyak pihak mengindikasikan adanya korupsi dalam pemenangan tender penggandaan soal UN yang menjadi sumber masalah. (37) — FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Sekolah Gratis (tanpa) Pungutan

OPINI, Koran SIndo (3 Mei 2013) oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro Menjelang tahun ajaran baru persoalan biaya pendidikan menjadi masalah krusial. Pengamat pendidikan, anggota legislatif, aktivis Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) yang membidangi pendidikan akan memasang “teropong” untuk melakukan pengamatan saat proses penerimaan siswa baru dan pungutan sekolah. Mungkinkah sekolah berkualitas dapat melaksanakan kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa biaya (pungutan)? Ironi saat kebutuhan peningkatan kualitas dan tanggung jawab pendidikan tanpa diimbangi kewajiban ”membayar” biaya pendidikan. Seperti polemik yang terjadi di tahun ajaran 2012 di Kota Solo tentang penghapusan pungutan pendidikan. Diuraikan bahwa orang tua siswa dari berbagai sekolah di Klaten dan aktivis LSM Peduli Pendidikan yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Pendidikan Klaten (Formas Pepak) menuntut penghapusan segala bentuk pungutan dana pendidikan dari orang tua siswa. Ibaratnya sekolah gratis yang diprogramkan dan selalu diwacanakan pemerintah harus mulai dilaksanakan. Alasan itu dipertegas dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan pada Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Waktu sekolah rintisan atau berstandar internasional (RSBI) dimanjakan oleh kebijakan pengelolaan mandiri termasuk menarik pungutan pendidikan. Akhirnya di bubarkan berkenaan banyaknya penyalahgunaan ”pungutan” yang menjadi monopolinya. Pasalnya selalu terjadi konfrontasi aturan dengan pelarangan pungutan pendidikan dalam program sekolah wajib belajar (SD dan SMP) negeri dan swasta reguler. Padahal mengacu kemajuan pendidikan, akan sebanding lurus dengan biaya yang disesuaikan ke-butuhan. Semakin mengejar kebutuhan demi menyeimbangkan kemajuan teknologi dan Informasi (TIK) termasuk peningkatan kualitas pendidik. Maka biaya untuk melakukan studi banding, studi lanjut, workshop, penelitian semakin besar. Padahal selama ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam membagi kue anggaran pendidikan sering kurang adil. Faktanya masih banyak sekolah yang rusak parah termasuk sarana pembelajaran dan kualitas guru tanpa perbaikan sebagaimana mestinya. Namun kadang banyak sekolah yang masih kokoh bahkan dibongkar untuk renovasi/perbaikan karena mendapat bantuan pendidikan melalui dana pendidikan, dana alokasi Khusus (DAK) atau hibah. Ketidakadilan dalam pembagian ”rezeki” pendidikan selain dana BOS yang penuh masalah, beasiswa, dana hibah dan dana alokasi khusus (DAK). Membuktikan pengelola sekolah yang kurang dekat dengan Penguasa, nasibnya terpuruk. Semakin ketertinggalan dan kelihatan katrok, termasuk sekolah swasta yang semakin merana nasibnya. Oleh karena itu, melihat kenyataan tanpa larangan pungutan pendidikan sekolah swasta sudah mulai menjerit. Apalagi bila aturan dan sanksi diberlakukan sedikitnya bisa menjadi parameter mengajukan anggaran. Walau harus mendapat persetujuan dari orang tua atau wali, persetujuan tertulis dari Komite Sekolah dan kepala Dinas Pendidikan Kabupaten dan Provinsi. Seperti tertulis dalam Pasal 4 “sekolah swasta penerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dilarang melakukan pungutan”. Pasal 5 ayat 2 “mensyaratkan jika dalam keadaan tertentu sekolah swasta memungut biaya harus mendapat izin terlebih dulu dari orang tua siswa, komite sekolah, dan kepala Dinas Pendidikan.” IronisbilahanyakarenaBOS, menjadikan pungutan lain dilarang. Padahal bantuan BOS jelas sekali tidak mampu memback up secara keseluruhan kebutuhan sekolah. Dari kebutuhan gaji pendidik dan tenaga kependidikan, biaya investasi sarana dan prasarana, hingga biaya operasional kegiatan belajar-mengajar (KBM), kegiatan ekstra, pendampingan lomba dan lain-lain. Di tengah kerelaan dan kesungguhan pengelola sekolah swasta untuk membantu dalam pendidikan namun disatu sisi mulai dipasung hak-haknya. Sebuah ironi saat pengelola sekolah swasta sering diminta selalu mendirikan sekolah baru di daerah terpencil, tertinggal dan terpinggirkan. Namun kemampuan negara mendirikan sekolah negeri, seolah sekolah swasta dicampakkan tanpa arti. Di tengah keterpurukan sekolah swasta dalam membiayai kehidupannya, namun sanksi membayangi saat ketahuan melakukan pungutan. Ancaman pelanggaran dalam Pasal 9 “ sekolah swasta yang tetap melakukan pungutan akan dicabut izin penyelenggaraan pendidikan,” gambaran nasib sekolah swasta diujung tanduk. Tidak sepadan saat awal mula dibangun, didirikan, dikelola dengan semangat ketulusan, kekeluargaan, gotong royong dan sukarela karena permohonan Pemerintah. Subsidi Silang Harusnya, pemerintah belajar dari pengelolaan yayasan sekolah swasta. Mengapa pungutan diberlakukan dan diharuskan. Selain memupuk tanggung jawab siswa dan orang tua wali. Karena membayar berarti melahirkan tanggung jawab rasa memiliki. Berapa pun besarnya, pungutan pendidikan sangat dibutuhkan demi mengikat tanggung jawab dan kesadaran membangun kepedulian kemajuan pendidikan. Di sekolah swasta penerapan pungutan yang dilakukan tidak hanya penarikan dana semata. Tetapi ada usaha lain demi membantu orang yang miskin, terlantar, terpinggirkan, lemah dan difabel. Penerapan subsidi silang selalu menjadi bagian kebijakan dari pungutan yang terjadi di sekolah swasta. Budaya saling membantu, menolong terhadap orang yang tidak mampu sudah menjadi habitus bagi sekolah swasta. Banyak orang kaya yang ingin berbagi rezeki namun kadang tidak tahu bagaimana cara untuk menyedekahkan/ memberikan bantuan. Maka jangan hanya memandang keberadaan segelintir sekolah swasta di kota besar yang kelihatan megah. Sebab banyak pengelola sekolah swasta yang menerapkan subsidi silang. Ibaratnya yayasan sekolah swasta banyak menopang pembiayaan siswa miskin. Oleh karena itu, demi asas keadilan dan pemerataan kualitas pendidikan perlu konsistensi kebijakan. Pemerintah jangan terlalu jauh mengintervensi kewenangan pendidikan sekolah swasta. Pungutan di sekolah swasta tidak sama rata, harus melihat dari sisi kemampuan dan keadilan. (penulis guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)