Tuesday, March 29, 2016

Generasi Y, Narkoba dan Terorisme

Opini, Kedaulatan Rakyat, Selasa 29 Maret 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Era sekarang memasuki generasi Y ( milenial), yang mulai memasuki gerbang kepemimpinan secara massif. Banyak diperebutkan dalam kepemimpinan dalam ranah birokrasi maupun dunia kerja yang lain. Namun sudah siapkan generasi muda menyikapi dalam sikap, etika dan moral dalam dunia yang berbasis digital?

Menyiapkan kultur kepemimpinan dan benturan permasalahan dalam era yang serba cepat. Dibutuhkan kearifan, keluhuran budi dan “melawan” berbagai budaya informasi komunikasi negatif yang cepat berubah. Generasi Y menurut sejumlah ahli, seperti Labcaster dan Stillman merupakan generasi yang ditandai keunggulan dalam penguasaan teknologi, informasi dan komunikasi.

Peta kehidupan yang berubah, dibutuhkan kepemimpinan yang tahan banting berani menjauhi dari godaan. Sayangnya generasi Y, sangat asyik dalam dunia gadget (gawai) memudahkan berinteraksi dan berkomunikasi secara cepat dengan banyak liyan (manusia) di dunia yang jauh darinya. Pengaruh negatif dari liyan yang kadang tidak ada hubungan keluarga, suku,bangsa, golongan, hirarkhis lain sangat mudah merubah pikiran dan sikap.

Pemimpin generasi Y kadang mudah terjebak dalam pengaruh habitus dalam lingkaran korporasi, kelompok komunitas. Generasi Y yang mengelompokkan pada generasi kelahiran 1982 – 2002 menjadi generasi yang peduli pada masalah-masalah sosial. Generasi Y mulai memberi kontribusi dan memperkuat lembaga-lembaga sipil, Negara dan aktifis.

Anomali

Sayangnya saat generasi Y mulai mengambil alih kepemimpinan, mereka kadang belum siap. Terjadilah anomali idealisme dengan sikap dan perilakunya yang tidak sejalan dengan sumpah jabatan. Banyak pemimpin legislatif, eksekutif, yudikatif yang bermasalah dengan etika, moral, kekerasan dan narkoba.Generasi Y yang mumpuni mengoperasikan gawai juga mudah tepengaruh dan terlibat dalam aksi terorisme.

Peristiwa penangkapan Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan Ahmad Wazir Noviadi Mawardi (27 tahun) saat pesta Narkoba. Membuktikan ketidak siapan generasi Y dalam memimpin. Memberikan contoh pemimpin Generasi Y yang tidak bisa menjadi teladan/contoh. Padahal generasi Y dikenal sebagai generasi yang berpikir strategis, kritis, inspiratif, antusias, energik,inovatif, antusias, egaliter, digital native, interpersonal.

Namun bagaimana kita bersama sebagai rakyat mampu mengawasi dan memberikan motivasi untuk menjadi pemimpin yang dapat menjadi contoh. Generasi Y menjadi harapan publik untuk membangun dengan menularkan karakter yang linguid (canggih), dan menjadi kultur sesuai entitasnya. Diharapkan mampu mengatasi segala masalah. Namun sayang bila gagal sebagai sebuah anomali, karena energi kekuatan hilang sia-sia. Sebagai generasi “perusak,” setaraf, yang sulit tertib, tidak taat aturan, tidak loyal dan indispliner.

Peristiwa Terorisme di Thamrin, Jakarta. Memunculkan tokoh muda, Bahrim Naim (32 tahun) yang di duga mengkoordinasikan dan memerintahkan aksi ini melalui jaringannya yang berbasis Internet. Orang muda lain yang mau terlibat menjadi “pengantin,” dengan aksi bom bunuh diri antara lain Dian Joni Kurniadi (25 tahun), Afif alias Sunakin dan Ahmad Muhazan Bin Saron (25 tahun) merupakan generasi Y juga.

harapan

Generasi Y, narkoba dan terorisme merupakan SDM yang sedang menempatkan dirinya dalam konteks yang berbeda. Padahah generasi Y yang menjadi dambaan adalah mereka yang mampu menjadi “nahkoda” dalam merngubah dunia melalui berbagai pemikiran kritisnya.

Pengambilan Sumpah Jabatan baru Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjend. Tito Karnavian menjadi momentum pengawasan, pencegahan dan rehabilitasi pada generasi Y untuk menjadi sosok yang sejati. Begitu pula sepak terjang Badan Narkotika Nasional (BNN) dibawah komando Komjend. Budi Waseso yang dengan berani dan massif melakukan penggrebekan, penangkapan pelaku, pecandu, pengedar dan gembong narkoba menjadikan nilai positif guna menyelamatkan bangsa dan generasi Y yang sudah mulai memimpin negeri.

Maka selayaknya kita tidak boleh menjerumuskan generasi Y ini kedalam dunia narkoba dan terorisme dengan membiarkan. Karena kejahatan Narkoba dan terorisme sangat mengandalkan generasi Y sebagai operator kepemimpinanya. Namun bersama kita bisa mengendalikannya dengan mengembalikan dan mengkolaborasikan kepiawiannya kepada habitus (budaya) loka yang sudah ada sejak bangsa dan Negara ini ada.

Oleh karena itu agar generasi Y tidak salah arah, kita wajib membantu memberikan pengawasan dan pengarahan. Menjadikan mereka kembali ke kultur dan habitusnya menjadi generasi yang dapat diteladani.

Fx Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)

Sunday, March 13, 2016

Pendidikan Antinarkoba

OPINI, HARIAN JOGLOSEMAR, Sabtu 12 Maret 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Wacana yang disampaikan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Budi Waseso, hendak menyerbu dan membersihan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dari Narkoba. Sebuah gerakan melawan Narkoba karena di Indonesia, sekitar 5,9 juta jiwa masyarakat diperkirakan positif menjadi pengguna narkoba.

Gerakan anti narkoba harus dikelorakan dan disosialisasikan secara massif. Karena Indonesia sudah merupakan tempat dan ladang subur peredaran narkoba. Indonesia sudah merupakan pasar terbesar narkoba di Asean. Bahkan di Lapas, pecandu Narkoba malah dengan leluasa menggunakan dan memasarkannya. Seperti yang dilakukan Mata Najwa dalam acaranya, (metro TV 2/3/16) dengan background(latar belakang) kondisi Lapas di Medan, Sumatera Utara.

Upaya gerakan preventif dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan Narkoba disebabkan banyak ditemui pecandu narkoba di kalangan generasi muda. Penyalahgunaan narkoba pada dasarnya adalah pemakaian obat-obatan terlarang di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, di mana korban memakai sendiri narkoba secara relatif teratur dan berkala hingga pada titik pemakaian itu kemudian menimbulkan ketagihan (addiction) yang pada gilirannya sampai pada ketergantungan (dependence).

Hasil penelitian BNN, dari empat juta pengguna narkoba di Indonesia. Sebanyak 1,6 juta orang mencoba-coba, 1,4 juta orang teratur memakai dan 943.000 orang sudah kecanduan. Dari jumlah tersebut 74 persen pria dan selebihnya wanita.

Berdasar pasal 1 ayat1, UU No. 35 tahun 1999 tentang Narkoba. Narkotika itu sendiri meruakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Rasa ketergantungan inilah yang berakibat pecandu tidak mampu menghindar dan keluar dari narkoba. Penyembuhan dengan rehabilitasi medis maupun sosial membutuhkan waktu yang lama sesuai kadar/ dosisnya. Seperti dikutip Nadia Egalita dari Newcomb, Maddahian, dan Bentler (1986) bahwa, faktor penyebab seseorang hingga terlibat dalam praktik penyalahgunaan narkoba adalah kombinasi faktor biologi, perilaku, sosial, psikiatrik, dan kultural. Artinya, seseorang sampai terjerumus sebagai pecandu narkoba, ia bukan hanya secara psikologis rapuh dan mudah terpengaruh lingkungan sosialnya atau karena pernah mencoba-coba lalu ketagihan, tetapi juga karena secara sosial, mereka "termakan" tawaran gaya hidup masyarakat modern dan perkembangan nilai-nilai budaya baru yang menggodang pernah dipakai.

Dengan Pendidikan

Oleh karena itu eksistensi pendidikan Antinarkoba perlu diberikan segera kepada siswa/remaja mulai dari Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Harapannya penyalahgunaan narkoba dapat dicegah sejak dini, dengan pendidikan.

Bila melihat dari faktor kepribadian anak, remaja, atau kondisi internal psikologis orang yang rapuh, rendah diri, mengalami depresi, dan antisosial sering kali menyebabkan kemungkinan seseorang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba menjadi lebih besar. menyatakan, faktor kepribadian yang ditandai dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri dan kurang percaya diri merupakan kepribadian yang rawan terhadap penyalahgunaan narkoba. ( Shield. 1976)

Maka sangat tepat bila penyalahgunaan narkoba bukan hanya upaya sanksi hukuman, kuratif (rehabilitasi). Namun gerakan preventif pembelajaran ekskul Anti narkoba di sekolah secara massif dan dilaksanakan secara intensif. Ketegasan pecandu narkoba tidak dihukum dan dipenjara. Maka diharapkan ikut membantu untuk melaporkan diri sebagai upaya mendukung gerakan anti narkoba secara nasional. Pendekatan, pendampingan dan pembimbingan dari guru kepada mereka yang bermasalah dengan narkoba menjadi antisipasi dini.

Pasalnya Narkoba merupakan sebuah kejahatan yang luar biasa yang mampu mengancam masa depan bangsa. Apalagi sasaran utama narkoba juga kalangan pelajar yang masih membutuhkan energi dan otak yang jernih dan bersih untuk berpikir.

Merupakan kewajiban dan tanggung jawab Negara dalam upaya pemberantasan Narkoba. Apalagi BNN sudah mencanangkan tahun 2015 Indonesia bebas Narkoba. Harus dibuktikan sejalan dengan tujuan Negara “melindungin segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,” yang tertuang dalam pembukaan UUD 45. Dengan terjun langsung ke kantong-kantong “ narkoba” dan “penyerbuan” ke lapas sebuah bentuk keseriusan.

Rencana pendidikan anti narkoba disisipkan dlam kurikulum dengan menggandeng BNN sangat tepat dan terarah. Sebab penguatan kelembagaan BNN lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Didasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden

Eksistensi pendidikan antinarkoba paling tidak dapat memberikan rasa tenang, aman, nyaman, dan damai bagi orang tua sebagai tuntutan hak sebagai warga negara. Maka sudah kewajiban dan tanggung jawab Negara untuk mengusahakan dan memberi perlindungan dari segala ancaman narkoba. Pendidikan anti narkoba menjadi penting diberikan dan dilaksanakan dalam kurikulum 2013. Mengingat sudah lebih dari 44 tahun sejak tahun 1968 saat penyelundupan candu dari Singapura melalui Cirebon, sebagai bentuk penyalahgunaan narkoba secara intens terjadi di bumi pertiwi ini. Oleh karena itu pencanangan bebas narkoba BNN di tahun 2015 jangan hanya sebuah janji, cita-cita dengan slogan belaka tanpa perencanaan, gerakan dan tindakan nyata. Keberadaan dalam pencegahan dan pemberantasannya sangat ditunggu. Karena jangan sampai negeri ini seperti Columbia, yang mana mafia Narkoba mampu memasung kinerja birokrat.

Pendidikan anti narkoba harus di intensifkan. Membentuk kesadaran bagi pengelola sekolah dalam upaya menyelamatkan generasi muda. Karena berdasarkan hasil penelitian UI dan BNN pada tahun 2009, prevalensi penyalahgunaan Narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa cukup tinggi, sekitar 920.695 orang. Sementara itu, persentase mahasiswa penyalahguna Narkoba mencapai angka 30,9% dari jumlah di atas.

Maka melalui pendidikan sekolah dipupuk kesadaran mentaati aturan, disiplin menumbuhkan semangat untuk mencegah dan menolak (Anti) Narkoba. Gerakan proaktif memberikan pendidikan dengan pembelajaran, sosialisasi dari berbagai bentuk tanaman, obat-obatan dan zat terlarang dan dampak akibatnya.

Efek negatif penyalahgunaan narkoba harus dipahami, diketahui, diamalkan dan dijalankan. Begitupula dampak yang tiada putus bila sudah terikat dalam mafia jaringan narkoba. Dengan ekstrakurikuler anti narkoba dan gerakan penempelan stiker, poster, pemutaran film serta bila mungkin rasia secara periodik, tes narkoba dengan uji laboratorim sebagai pembuktian.

Demikian pula dibutuhkan ikrar (Pakta Integritas) pernyataan bersama “perang” kepada narkoba bagi pelajar. Konsensus dan kesepakatan yang memiliki ikatan kuat lahir dan batin, moril dan material dalam upaya preventif narkoba sebagai bentuk eksistensi. Semoga.

FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Tuesday, March 01, 2016

UN CBT dan profesionalitas

OPINI, Kedaulatan Rakyat 1 Maret 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) secara masif menyelenggarakan Ujian Nasional (UN), 2016 computer bassed test (CBT). Berbagai pelatihan bagi protor (tenaga tekhnis CBT) intensif dilakukan. Bagaimana kesiapan secara komprehensif UN CBT ini?

UN CBT secara online itu sendiri pelaksananya adalah BNSP, Pusat Teknologi dan Komunkasi Pendidikan serta Pusat Penilaian Pendidikan. UN ini diharapkan seperti pelaksanaan ujian CPNS berbasis Computer Assisted Test (CAT) dan Uji Kompetensi Guru (UKG). CBT sebagai sebuah langkah baru untuk menyikapi pesatnya perkembangan teknologi, supaya siswa tidak gagap teknologi.

Banyak aspek yang dapat menjadi pertimbangan sebelum di eksekusi/ dilaksanakan. Terutama masalah kesiapan dari perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), kesiapan sumber daya manusia (SDM) dari peserta ujian dan lokasi tempat ujian yang tidak merata sejalan kondisi geografis wilayah Indonesia.

Lebih fleksibel

Meski dalam UN CBT tidak dibutukan waktu bersamaan dalam pelaksanaan. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Bawesdan, lebih fleksibel atau dinamis karena tidak harus terjadwal secara nasional pada jam yang sama. Sistem CBT hanya dilakukan transfer aplikasi dan data dari perangkat penghubung ke kumputer, soal ujian dapat dikerjakan melalui aplikasi yang terpasang.

Namun perlu dipikirkan, untuk perangkat TIK dengan kesiapan jaringan internet yang ada. Belajar dari UKG, yang mana tidak siapnya sever pusat di kemendikbud sehingga sulit diakses. Over load (kelebihan) akses menjadikan koneksi tidak dapat berjalan dengan baik. Dan masih ada kejadian, padamnya aliran listrik.

Belum lagi bandwidth yang dibutuhkan yaitu nilai hitung atau perhitungan konsumsi transfer data telekomunikasi yang dihitung dalam satuan bit per detik atau yang biasa disingkat bps yang terjadi antara komputer server dan komputer client dalam waktu tertentu dalam sebuah jaringan komputer. Idealnya jaringan internet dibutuhkan dengan bandwith minimal 1 Mbps. Ketidakberdayaan ini, akses sering macet dan kurang dapat berjalan dengan baik.

kendala

Sebagai kendala utama pelaksanaan ini ialah karena lokasi daerah yang tidak merata. Jangankan di wilayah terpencil, terpelosok dan tertinggal di luar jawa. Kota kabupaten di Jawa Tengah dan Semarang yang menjadi ibu kota provinsi saja dipastikan hampir banyak menemukan kendala di lapangan. Sebanyak 35 kabupaten/kota di Jateng dimungkinkan belum siap secara holistik.

Persyaratan ikut UN CBT yang sudah kedua kali dilaksanakan, diatur berdasarkan surat nomor 0059/HU/TU/2015 antara lain tersedianya komputer server dan komputer klien di sekolah yang jumlahnya sebanding dengan peserta ujian. Dengan rasio satu komputer untuk tiga peserta. Komputer server harus dengan spesifikasi minimal berupa desktop atau tower atau PC, bukan laptop. Komputer server menggunakan processor Xeon atau i5, RAM 4 GB, hardisk 250 GB, serta memakai sistem operasi Windows Server atau Wondows 7 (64 bit). Sekolah juga harus memiliki UPS.

Dalam waktu yang singkat apakah sekolah mampu mengadakan mengadakaan computer sesuai spesifkasi? Dimungkinkan sekolah sudah tidak sanggup. Selain kendala waktu yang terbatas penambahan daya listrik, semuanya memerlukan anggaran yang tidak sedikit dan harus ditanggung oleh sekolah. Bagaimana dengan sekolah yang minim siswa/ miskin?

Surakarta

Pertengahan Februari 2016, beberapa sekolah di Surakarta, dilaksanakan simulasi CBT secara nasional. Beberapa kendala terjadi mulai kesalahan dari soal mata pelajaran yang tidak sesuai diajarkan dan server di Kemendikbud tidak bisa diakses. Akhirnya simulasi hari Sabtu (20/2/16) dibatalkan secara nasional. Dalam hal ini Kemendikbud belum bisa mengantisipasi peserta CBT 2016 yang mencapai ribuan sekolah dibanding tahun 2015 yang diikuti 400 sekolah. Padahal akan diunduh dalam waktu yang bersamaan.

Sisi lain yang menjadi pertimbangan. Belum semua elemen masyarakat (orang tua dan pemerhati pendidikan) memiliki pemahaman tentang UN CBT. Padahal berdasarkan pernyataan dari Mendikbud, kemajuan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab penuh Kemendikbud dikdasmen dan sekolah tetapi menjadi tanggung jawab bersama.

Pelaksanaan UN CBT tidak harus dipaksakan kepada seluruh sekolah. Butuh mempersiapkan sarana prasarananya demi kualitas UN itu sebagai pemetaan kualitas mutu pendidikan.

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)