Sunday, August 27, 2017

Ekspektasi Sekolah Katolik

Kolom, Mingguan Hidup Katolik (27/8/17)

oleh FX Triyas Hadi Prihantoro


Tahun ajaran 2017/2018 sudah mulai, saatnya merefleksi nasib sekolah katolik. Problematika yang menghantui setiap tahun ajaran baru, secara signifikan muncul berita menyedihkan. Sekolah Katolik tutup dan guru Katolik harus berusaha mencari sekolah baru. Saatnya merefleksi nasib Sekolah Katolik.

Catatan Keuskupan Agung Semarang (KAS) secara kuantitatif perkembangan sekolah dan siswa. Dari semua sekolah Kanisius yang masih ada hampir semuanya kekurangan siswa. Disebutkan, pada 1975-1980, Yayasan Kanisius mengelola sekitar 250 unit sekolah dengan 12 cabang. Dalam kurun waktu 30 tahun, jumlah unit sekolah Kanisius berkurang sekitar 50 unit. Pada 1975, peserta didik mencapai 56.035. Tapi, pada 2012/2013, jumlah murid hanya 23.305. Pun begitu dengan sekolah lainnya.

Kemerosotan jumlah siswa sebagai bentuk keprihatinan stakeholder. Seolah terjadi pembiaran sehingga pemilik dan pengelola harus bekerja keras sendirian guna tetap hidup. Berbagai kebijakan yang berbeban ditempuh meski menyakitkan, demi tetap hidupnya sekolah katolik.

Realita dan ekspektasi, butuh gerakan penyelamatan. Sebab kader militansi katolik 100% dan Indonesia 100 % seperti di kampanyekan Mgr. Soegijopranoto SJ, secara optimal lahir dari pendidikan sekolah Katolik. Bertumbuh kembangnya siswa di tempat yang tepat, maka tidak akan menghilangkan iman dan nasionalismenya. Sekolah katolik menjadi tempat bersemainya karakter katoliksitas dan nasionalisme.

Berbeda saat jaman keemasan, era setelah kemerdekaan, orde lama dan orde baru. Tanpa promosi intens siswa dan orang tua berebut dan berusaha mendapatkan tempat meski harus membayar mahal. Namun jaman telah berubah sejak era reformasi dengan terbukanya transparansi dan tuntutan sekolah murah dan berkualitas. Terjadi perubahan paradigma dan nasib sekolah katolik diujung tanduk.

Berarti dibutuhkan gerakan untuk melakukan penyelamatan sekolah katolik yang masih tersisa. Bagaimana menyiasati dengan munculnya program dan propaganda sekolah gratis dengan bantuan operasional sekolah (BOS) bagi sekolah negeri. Meski setiap menjelang tahun baru, berbagai spanduk, baliho, pamflet dan brosur banyak tersebar. Strategi pemasangan di gereja maupun peziarahan menjelang Natal. Menginformasikan penerimaan pendaftaran siswa baru. Gerakan itu belum mampu menghipnotis secara massif masyarakat khususnya umat katolik.

Bila umat Katolik sendiri secara sadar masih mempercayai sekolah katolik. Iming-iming pendidikan gratis di sekolah negeri tidak akan mampu membiusnya. Sebab bila dihitung-hitung biaya yang dibutuhkan/ dikeluarkan selama mengenyam pendidikan tidak jauh berbeda. Bahkan selalu diyakini bila pendidikan di sekolah katolik dalam pendampingan jauh lebih intensif karena didasari cinta kasih dan disiplin yang tinggi.

Ada apakah dengan umat Katolik sendiri yang sudah tidak lagi mengidolakan sekolah pembentukan karakter sejati ini? Memudarnya rasa militansi merupakan bentuk kegagalan gereja dalam melakukan kaderisasi umat. Membuat ketidakpercayaan muncul, sehingga beribadah dianggap sebagai rutinitas belaka tanpa memaknai kesakralan.Menyedihkan saat antar pemimpin gereja, pemilik (yayasan) sekolah Katolik yang juga biarawan/i justru saling bersiteru. Saling memperebutkan gengsi, martabat dan citra dengan menganggap sekolah seiman sebagai pesaing berat.

Duduk bersama membahas persoalan makro yang menjadi penyebab dari sisi stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, perubahan perilaku dan strata sosial masyarakat, dan regulasi kebijakan Pemerintah. Mana yang menjadi penyebab utama dari daya tarik sekolah katolik memudar.

Analisa berbagai persoalan dirinci secara skala prioritas. Dilihat dari pemasok apakah berkurang dengan keberhasilan program Keluarga Berancana (KB). Tidak lagi mempunyai jaringan sekolah feeder (pengumpan) yang kuat. Ketidak adilan kebijakan Pemerintah atau mungkin juga menurunnya kepercayaan umat Katolik sendiri.

Pemilahan permasalahan, mensharingkan kemudian mencari alternatif solusi. Sebab penulis amati “perang spanduk” dan sejenisnya menjadi kurang efektif. Aplikasi, prestasi nyata dibutuhkan masyarakat pelanggan, juga biaya yang terjangkau secara umum.

Komprehensif pelaksanaan kurikulum 2013 (kurtilas) tahun 2018 yang menekankan karakter, kebangsaan dan akhlak mulia sebagai peluang emas. Untuk membuktikan bahwa sekolah katolik sudah menjadi habitus dalam pengelolaan pendidikan menekankan religiusitas, kedisiplinan, etika, budi pekerti, kesalehan dan kejujuran. Tidak kalah penting, persamaan ide dan gagasan antara gereja (Pastur), sekolah katolik (pemilik, pengelola) dan umat demi ekspektasi.

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta.

Tuesday, August 08, 2017

Implementasi MGMP sebagai organisasi Profesi

Opini, Kedaulatan Rakyat (7/8/2017)

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang gencar mendorong optimalisasi kompetensi guru melalui lembaga profesi. Meski demikian organisasi profesi yang sudah ada diharapkan tidak berpolitik praktis.

Guru dalam melaksanakan tugas profesional selalu mengacu pada rambu-rambu yang telah ditetapkan pemerintah. Hal itu tidak lepas dari tugas dan tanggung jawabnya dalam melakukan pengajaran, pembimbingan dan pendampingan sesuai UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Aktif

Dorongan agar guru berinisiatif dan lebih aktif dalam organisasi profesi yang berbasis mata pelajaran sudah beraplikasi dalam bentuk musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). Organisasi profesional guru ini sudah tumbuh subur bersamaan dengan lahirnya UU Sisdiknas. Tidaklah mengherankan saat imbauan membentuk organisasi guru mata pelajaran, secara masif dikampanyekan agar semakin profesional kinerjanya demi meningkatnya kualitas mutu pendidikan.

T Raka Joni (1980) mengatakan, guru profesional sebagai orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan. Sehingga ia akan dapat dan mampu melakukan tugas dengan memiliki kemampuan yang maksimal. Guru profesional ialah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya. Maka implementasi MGMP menjadi penting dan bernilai strategis demi terjaganya profesionalisme.

MGMP, dalam sejarahnya diawali dengan pembentukan KKG (kelompok kerja guru) mata pelajaran. Aktivitas KKG didasarkan SK Dirjen Dikdasmen No 070/ C/ Kep/ 1/93 tanggal 7 April 1993 . KKG sebagai wadah dalam pembinaan kemampuan profesional guru, pelatihan dan tukar menukar informasi, dalam suatu mata pelajaran tertentu sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Hasibuan Botung. 2009).

Tidaklah gegabah saat organisasi profesi guru harus lebih berfokus dalam memajukan pendidikan. Dengan peran dan fungsinya yang strategis dapat mengangkat mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. Karena berdasarkan Programme for International Student Assesment (PISA), studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun, ternyata Indonesia menduduki posisi peringkat 65 dari 72 negara yang dinilai pada tahun 2015. Upaya menyiapkan dan meningkatkan kualitas mutu pendidikan, menjadi bentuk tanggung jawab guru profesional. Guna meningkatkan peringkat saat dilakukan penilaian tahun 2018 nanti.

Dengan optimalisasi perannya, organisasi profesi ini akan menjadi mitra pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Organisasi profesi ini diharapkan selalu berkonsep dan berpikir mengenai pengembangan profesi mata pelajaran. Maka guru harus memiliki cara berpikir kritis, mempunyai kemampuan komunikasi yang baik dan mampu berkolaborasi dalam segala bidang. Konsolidasi intens dengan pertemuan dan evaluasi dalam rutinitas pertemuan semakin nyata hasilnya.

Sebagai bentuk implementasi, MGMP adalah embrio dari organisasi profesi guru. Secara formal sudah diatur dalam UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 41 (2). Bahwa organisasi profesi berfungsi memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan dan pengabdian kepada masyarakat.

Melakukan Komunikasi

Dengan organisasi, guru lebih mudah melakukan komunikasi bila mengalami kendala/ permasalahan saat kegiatan belajar mengajar (KBM). Karena keberadaan organisasi guru mata pelajaran dan guru kelas bertujuan meningkatkan kapasitas guru. Maka dibutuhkan kerja sama dan rencana yang sistematik, matang dalam organisasi yang dilakukan oleh pengurus dari tingkat pusat sampai daerah (kabupaten/kota). Disinilah sistem penguatan profesionalisme melalui berbagai pelatihan dirancang lebih fokus dan terukur. Bukan sebuah kegiatan seremonial belaka, karena dilakukan evaluasi secara teratur, kontinyu dan komprehensif.

Maka kompetensi guru yang diharapkan dapat teraktualisasi. Karena guru dapat mengaplikasikan kemampuan kognitif (intelektual), sikap (attitude), berbagai ketrampilan. Implementasi MGMP dalam peningkatan profesional guru mata pelajaran semakin nyata dan membuahkan hasil.

Tinggal bagaimana kesadaran dan kemauan guru untuk mau belajar dengan meningkatkan kualitas pribadi, profesional, sosial dan pedagogis dengan terus mengaplikasikan ilmunya. Dengan saling bertukar pikiran, diskusi, studi pustaka, praktik pembelajaran, monitoring dan pembuatan evaluasi bersama. Karena aktif komuniasi dan memahami konsep belajar sepanjang hayat.

(FX Triyas Hadi Prihantoro. Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 7 Agustus 2017)