Monday, November 23, 2015

Mendambakan Guru Mulia

OPINI, harian Joglosemar 24 Nopember 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

GURU merupakan garda terdepan pendidikan yang langsung berhadapan dengan peserta didik. Dari tangan gurulah masa anak didik ditentukan. Baik buruknya pendidikan formal seorang anak manusia di sekolah berada di tangan guru.

Hari guru ke 70 dengan tema “Guru Mulia Karena Karya” Membuktikan keinginan dan kebutuhan masyarakat akan hasil atau prestasi guru dari karya-karya monumental. Karya sikap dengan perilaku yang berakhlak, karya nyata dengan banyak prestasi dan hasil dari akal budinya.

Oleh karena itu karakter seorang guru yang layak diteladani merupakan dambaan stakeholder pendidikan. Prinsipnya dalam mengajar dan mendidik merupakan upaya meletakkan landasan karakter yang kuat dengan menanamkan kecerdasan Intelektual, emosional dan sosial. Guru yang mulia karena karya-karya monumentalnya demi keadilan, persamaan dan pemerataan memperoleh pendidikan.

Dengan demikian, segala sikap, tutur kata, tindak tanduk dan perbuatan guru baik dalam mengajar di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat selalu menjadi sorotan. Prof. Dr. Furqon Hidayatulah M.Pd. mengatakan, seorang guru memiliki tangung jawab menanamkan nilai kehidupan kepada peserta didik. Guru harus memperhatikan empat hal, penampilan yang menarik, komunikasi yang bagus, kinerja sepenuh hati dan pelayanan yang maksimal.

Beberapa fokus pemberitaan tindakan negatif guru, mulai tindakan asusila, kekerasan (bulying) kepada peserta didik, markup (penggelembungan) nilai, membolos selalu menjadi sorotan. Beragamnya peristiwa dilakukan oknum guru merupakan tinta hitam sikap, perbuatan guru yang belum berkarakter.

Anomali guru merupakan penyimpangan moral, etika, dedikasi dan tuntutan keprofesionalan. Pendampingan, pembinaan dan kerjasama seharusnya perlu dibangun oleh guru di sekolah. Kenyataanya guru kadang tidak mampu mengemban warisan kata bijak dari Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantoro. Bahwa guru harus bisa memosisikan di mana saja, Ing Ngarsa Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani.

Lalu bagaimanakah mendamba guru yang berkarakter di era global saat ini?

Oleh karena itu berbagai tragedi pendidikan yang dilakukan oknum guru sangat mencoreng karakter ideal. Guru yang cerdas, berkompeten, perprinsip, sederhana, tertib, rajin, maju dan progresif, terencana, akuntabel (tanggung jawab), kredibel (berkualitas), kinerja yang cepat tanggap, melakukan evaluasi dan inovasi.

Menancapkan fondasi karakter guru yang mengakar dalam pribadi. Sehingga pendidikan tidah salah arah dan tujuan. Karakter akan membentuk kepribadian bangsa yang kuat. Dari sudut psikologis kepribadian sebagai satu kesatuan utuh dan dinamis dari berbagai karakter fisik, mental, moral, sosial dalam diri seorang individu sebagai tampak di depan orang lain (J. Drever. 1976).

Maksud Pemerintah mengadakan uji sertifikasi, uji kompetensi guru (UKG) dan pendidikan profesi dibekali pendidikan karakter. Dapat diartikan secara bebas sebagai sifat-sifat dasar yang ada pada diri manusia. Karena kuatnya maka dapat menjadi ciri atau karakter yang kuat pada setiap individu. Prinsipnya karakter ini dapat dibentuk melalui pengaruh lingkungan dan proses pendewasaan diri seseorang. Makanya lingkungan kerja yang konstruktif dan kondusif sangat mempengaruhi kinerja guru dalam pembentukan karakter.

Lalu sudah siapkah guru dalam melaksanakan pendidikan Indonesia menunjukan kualitas dengan karakter yang teguh? Pasalnya pendidikan di sekolah bukan cuma memberikan pengetahuan (knowledge), tetapi melengkapi siswa dengan sikap (atitude), ketrampilan (psikomotorik), kemampuan dan karakter.

Dimulai dari keteladanan guru yang menjadi ujung tombak pendidikan. Karena para guru sampai saat ini terjebak untuk mengajarkan pancapaian nilai akademis semata dengan terpusat pada hasil Ujian Nasional (UN).

Sedang masalah non akademik, pembentukan karakter, nilai, etika, moral, sikap etos kerja, nasionalisme, patriotisme termasuk soft skill terabaikan. Maka layaklah emosi guru lekas terpancing bila tidak sejalan dengan harapan karena tekanan tuntutan dari berbagai pihak (institusi, masyarakat dan orang tua)

Berkarakter

Mendambakan guru yang berkarakter harus secara holistik (menyeluruh) yang menghubungkan antara dimensi moral, etika pendidikan dengan ranah sosial dan sipil. Sikap dan nilai dasar ini dikomunikasikan, diidentifikasikan dari masyarakat dan diteguhkan lewat pendidikan di sekolah.

Roda pendidikan dari tanggung jawab guru berkarakter kuat. Memiliki nilai tambah, meningkatkan mutu pendidikan. Kewibawaan, ketegasan, kedisiplinan, tanggung jawab, rasa sosial, sabar, kasih sayang, simpati, empati dan moralitas guru terbentuk.

Kesepakatan pemahaman dan aktualisasi pelaksanaan dalam keseragaman pendidikan ditegaskan. Paling tidak disamakan persepsi dalam kebutuhan bahwa guru harus cerdas, berkualitas, inspiratif dan mempunyai niat, kesungguhan, hati nurani dalam bekerja untuk mencerdaskan anak bangsa dengan melakukan pendampingan secara total..

Dalam bukunya Educating for Charakter, (Thomas Lickona.1991). Pendidikan karakter sebuah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan dan bertindak atas dasar nilai-nilai etis. Dari sini jelas sekali bahwa sebuah karakter merupakan bentuk bela rasa untuk mengerti, memahami, menolong, melaksanakan dengan semangat rela berkorban, olah hati, bela rasa, tabah hati, lemah lembut, berdisiplin dengan tidak melepaskan diri dari koridor norma yang berlaku.

Rhenald Khasali (2007) semakin menguatkan bahwa diperlukan guru inspiratif yang akan membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, tetapi ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat “Aku ingin jadi seperti dia” atau “Aku bisa lebih hebat lagi”.

Mengidealkan guru idola, pondasi karakter harus di kedepankan. Sebab peserta didik umumnya akan mengenang, mengingat dan meniru apa yang diwariskan oleh guru melalui karyanya. Beban berat guru untuk mentransformasikan nilai positif setiap saat demi pendidikan yang beradab, (long life education). Guru banyak karya mengidentifikasikan, guru mulia bagi sesama, bangsa dan negara.

Hulu pendidikan dibentuk dari fondasi guru berkarakter. Sebagai modal untuk menjadikan manusia berbudaya. Jembatan perubahan sistem pola pikir (mindset), sebab pendidikan merupakan sebuah proses. Nilai (value) dan kepribadian ditransformasikan guru kepada peserta didik bekal masa depan. Maka pendidikan sekarang sangat mendamba guru berkarakter. Banyak karya, guru menjadi mulia untuk bangsa dan negara. Semoga.

Sunday, November 22, 2015

Relevansi Pilkada dan PKN

SUARA GURU, SUARA MERDEKA, 21 Nopember 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Budaya politik baru “pilkada serentak” menjadi prasasti di tahun 2015. Sebuah hajatan pemilihan kepala daerah serentak bersamaan dari 259 Daerah Tingkat I /II seluruh Indonesia. Dibutuhkan partisipasi seluruh elemen masyarakat tanpa kecuali.

Gagasan ini lebih menyoroti relevansi pilkada serentak dengan materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (KN) di SMA sederajat. Disamping itu merupakan arena pembelajaran bagi peserta didik juga untuk menyikapi, mencermati dan mengambil sebuah makna demokrasi yang harus berjalan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber) serta jujur dan adil (jurdil). Paling tidak siswa bisa belajar dari pengalaman guna menyiapkan diri sebagai pemilih pemula.

Dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2007 dan Kurikulum 13, mata pelajaran PKN banyak membahas tentang masyarakat politik, prinsip demokrasi dan sistem politik di kelas X (sepuluh). Budaya politik dan budaya demokrasi, serta Sistem Pemerintahan di Kelas XII. Pilkada serentak masih relevan untuk diimplementasikan.

Disinilah sarana yang tepat bagi siswa untuk mengaktualisasikan dalam praktek, apa yang di dapat dalam materi pembelajaran dengan fakta riil. Betul ada relevansi, atau sebatas teori saja?

Pendidikan pemilih (voter education) sangat tepat diberikan melalui sekolah. Karena pendidikan politik dan kewarganegraan (civic education) mempunyai relevansi yang baik guna pembelajaran demokrasi rakyat Indonesia.

Pelajar cerdas dalam berpolitik menjadikan masyarakatnya dewasa dalam bertindak mengambil sikap politik. Multiplier Effect pendewasaan berdemokrasi menuju civil society. Maka bukanlah hal yang “tabu” bila nantinya masyarakat kita akan melek politik di kemudian hari. Pilkada merupakan salah satu arena demokrasi yang menuntut sikap kritis, rasional, terbuka, toleran serta menghargai kemajemukan dalam masyarakat. Hal itu sejalan dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat dan kedewasaan berpikir manusia secara umum.

Seperti halnya Pengawas Pemilu (Panwaslu) kota Surakarta mengundang pelajar SMA sederajat dan mahasiswa dalam sebuah acara sosialisasi pengawasan (17/11/15) pelaksanaan pilkada. Mengambil tema ”pemilih cerdas pemilih berkualitas” mengajak dan mengikut sertakan masyarakat secara aktif (parisipatif) melakukan pengawan proses pilkada. Pelibatan pelajar (siswa) SLTA dalam proses pilkada menjadi suatu metode preventif yang cukup efektif untuk mengeliminasi golput dan konflik massa akibat akumulasi polarisasi di tingkat grass-root. Perlu diingat generasi muda (pelajar) adalah mereka yang sangat mudah tersulut emosionalnya.

Keterlibatanya terhadap proses pilkada yang transparan, melalui pemberian tugas sekolah dan menjadi relawan menjadikan pelajar semakin mengenal lebih jauh segala kemungkinan (konflik) yang terjadi dalam sebuah pesta demokrasi. Oleh karena itu sebuah konsep pembelajaraan riil sebagai penggalian ranah afektif (sikap) guna mendukung ranah kognitif (pengetahuan) diperlukan penggalian optimalisasi diri dari siswa dalam melihat permasalahan riil yang terjadi dalam kehidupan bermansyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga dapat berperilaku (attitude) yang benar, terarah berkonsep dan beradab.

Belajar

Dengan demikian keterlibatan siswa secara langsung dalam pilkada merupakan sarana belajar potensial bagi demokrasi bangsa di masa depan. Meski kelompok ini cukup rentan terhadap ekploitasi politis dari berbagai kelompok (tim sukses) Kepala Daerah.

Ada beberapa hal yang dapat dipetik manfaatnya dengan melibatkan siswa SMA sederajat dalam pilkada. Pertama, melalui pendidikan politik dalam pelajaran Kewarganegaraan di sekolah menjadikan media pembelajaran politik yang dinamis. Dalam lembaga pendidikan merupakan wilayah ilmiah yang terbiasa dengan pemikiran rasional dan konsep berdasar argumen-argumen yang dapat dipertanggung jawabkan.

Kedua, pelajar merupakan calon pemilih yang rasional dan kritis (bila belum berusia 17 tahun), karena memahami hak-hak politik dan dalam menentukan hak-hak politiknya. Ketiga, nantinya pelajar dapat menjadi pelopor di tengah masyarakat karena memiliki pengetahuan dan daya kritis yang tinggi. Dimana sepak terjangnya dalam kehidupannya dalam berpolitik akan menjadi panutan masyarakat luas.

Keempat, pelajar adalah calon generasi penerus bangsa. Melalui estafet kepemimpinan yang benar dan baik maka akan menjadikan proses pergantian pemimpin berjalan sesuai dengan mekanisme yang telah menjadi kesepakatan bersama. Perlu dipahami bahwa isu yang berkembang saat ini banyak tokoh politik menghendaki kaum muda perlu diberi kepercayaan untuk memimpin.

Relevansi Banyak hal yang dapat menjadi obyek dari tugas pembelajaran PKN dalam pilkada. Sikap kritis siswa dapat dimulai dari penyelenggara, yaitu dari KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) beserta kebijakan-kebijakannya. Karena KPUD inipun mempunyai peluang untuk menyeleweng dan menyalahkgunakan wewenang. Begitu pula jargon ataupun sepak terjang calon Kepala Daerah yang obral janji kepada konstituen. Layak di catat dan ditagih apabila tidak sesuai saat berkuasa.

Sebagai relawan pengawas. Pada saat sosialisasi, banyak sekali pasangan calon dan tim sukses curi start namun Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) daerah dan KPUD toh tidak melakukan tindakan dan pemberian sanksi yang tegas. Maka pelajar bisa mencatat dan melakukan pelaporan.

Fakta riil berkaitan dengan pelanggaran curi start kampanye, banyaknya alat peraga kampanye yang sudah menyebar di berbagai pelosok daerah mulai dari pemasangan spanduk, baliho, stiker, pamflet, pembagian kaos sampai dengan program-program yang di kemas dalam ajang silaturahmi, turnamen olah raga, bantuan kemanusiaan, berbagai penyebaran proposal pembangunan dan lain lain.

Proses pilkada baik negatif maupun positif dapat menjadi catatan-catatan siswa dalam pembuatan tugas PKN dalam Standa Kompetensi, Sistem politik dan prinsip-prinsip demokrasi, budaya politik, budaya demokrasi serta sistem Pemerintahan. Tugas dari para siswa baik secara individual maupun kelompok merupakan bentuk jenis tagihan menurut KTSP, dan kurikulum 2013 (kurtilas) dalam Proses Belajar Mengajar (PBM).

Dalam sistem penilaian KTSP/kurtilas bentuk jenis tagihan selain tugas kelompok dan individu ada kuis, pertanyaan lisan, ulangan harian, ulangan blok, laporan kerja praktik dan response (ujian praktik). Tugas kelompok/individu itu sendiri dilakukan oleh siswa untuk mencari dan menggunakan data sebenarnya terhadap suatu gejala berdasar data di lapangan. Tugas kelompok/individu ini dapat terkait dengan ranah psikomotor. Maka relevansi pilkada dan pembelajaran PKN sangat nyata dan perlu diujikan demi kematangan siswa dalam berdemokrasi.

Gulthom berpendapat bahwa bahwa ada 4 sifat kualifikasi partisipasi yaitu positif, kreatif, kritis-kontruktif-korektif dan realistis. Presiden John F. Kennedy pernah mengatakan “ jangan bertanya apa yang dapat diberikan Negara kepadamu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada Negara ini”.

tugas

Sebagai guru pengampu mata PKN idealnya saat ini memberi tugas kelompok/individu kepada siswanya. Disini para siswa dapat melihat, mengamati, mencermati, menilai dan menganalisa bentuk-bentuk pelanggaran dalam pilkada. Bentuk-bentuk pelanggaran yang mungkin sekali terjadi dan sebagai bahan untuk tugas kelompok/individu dalam pendaftaran seperti: pendaftaran ganda, belum cukup umur, anggota TNI/Polri aktif dan tempat pendaftar tidak sesuai ketentuan.

Bentuk pelanggaran yang mungkin terjadi dalam kampanye bisa menjdi catatan. Seperti curi start kampanye, kampanye melampaui batas waktu, black campaign, melakukan kekerasan, pemaksaaan, penggunaan fasilitas umum (sekolah, tempat ibadah, rumah sakit), tidak sesuai dengan tempat yang diijinkan (white area), menggunakan atribut/fasilitas milik Pemerintah, money politic dan lain-lain.

Bagaimanapun pelajar memiliki peran besar dalam mewujudkan masyarakat demokratis. Meski sudah ada pemantau pemilu independen dari Perguruan Tinggi dan Panwaslu baik lokal maupun asing. Namun peran pelajar dalam sebuah penugasan sebagai aktualisasi KTSP/kutilas akan menjadikan lebih reliable dalam pelaksanaan pemilu berlangsung sehingga rakyat tidak merasa dibodohi.

Friday, November 06, 2015

Mendukung Solo Kota Kreatif

Pos Pembaca SOLOPOS, 6 Nopember 2015

Banyak julukan untuk kota Solo, selain kota Batik, kota tanpa tidur, kota budaya, kota bengawan dan sekarang dicanangkan sebagai pusat kota kreatif di Indonesaia. Hal itu tidak lepas dengan adanya Indonesia Creatif Creatif City Conference (ICCC) yang sudah dibuka oleh Menteri Pariwisata, Kamis (22/10/15) di Benteng Vastenberg.

Melihat kepercayaan kota Solo sebagai tempat penyelenggara konferensi tersebut. Layak dan sepantasnya seluruh warga mendukungnya. Tentu dengan segala kreatif yang dimiliki dan dioptimalkan dalam menciptakan suasana yang semarak dan meriah.

Seperti halnya dukungan dari Dnas Pendidikan dan Olah Raga IDispora). Saat banyak Kepala Sekolah SMA/SMK sederajat dikumpulkan di Dispora dalam rangka konsolidasi dan koordinasi tampilan kreatif siswa dari sekolah masing masing. Dengan sangat antusias setiap perwakilan menyodorkan kelabihan sekolahnya masing masing.

Gerakan dukungan kreatif dari siswa SMA/SMK se Solo tersebut dilaksanakan saat gerakan Solo polah pada Minggu (25/10/15) di sepanjang Car Free Day, jalan Slamet Riyadi. Mulai dari korden (keroncong dance), musik panci, paduan suara, cheer Leader, Band, asamble musik, SBC, pameran lukisan, pameran hewan, atraksi reog, barongsay, konser swara deling, tari jawa, musik kaleng bekas menjadi bentuk kreatif dan lain lain yang akan ditampilkan dalam kegiatan massal.

Oleh karena itu tunjukkan kreatifitas unik dari kota Solo kepada seluruh peserta / delegasi dari Indonesia. Becak orange sudah di siapkan bagi perserta konperensi yang akan beriringan dari Purwosari (DKL) ke titik Nol Kota Solo di Gladak.

Peran serta seluruh warga dibutuhkan dengan tajuk #solo polah, Pesta Rakyat Kreatif. Segala elemen jangan malu untuk berkreasi. Karena dukungan masyarakat akan semakin membumikan dan membuktikan bahwa kota Solo layak menjadi contoh kota kreatif di Inonesia berkat partisipasi dan dukungan warganya yang penuh kesadaran dan tanpa pamrih.

FX Triyas Hadi Prihantoro warga Epistoholik Indonesia