Tuesday, January 30, 2018

Eksistensi Muatan Lokal Batik

Mimbar Guru, Harian SOLOPOS 31/1/18

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Muatan Lokal batik dalam pembelajaran di sekolah seolah mati suri. Butuh pengakuan riil dan menjadi bagian kehidupan sekolah. Sekolahan yang berada di kota batik seperti Solo, Yogya, pekalongan dan lainya seharusnya peduli pada persoalan ini. Sekolahan-sekolahan itu wajab menjadikan batik bersinar melalui muatan local yang membumi dalam pembelajaran di sekolah. Identitas Kota Solo tidak bisa lepas dari batik.

Sayangnya payung hukum untuk mengoptimalkan Batik sebagai muatan local di sekolahan yang mendukung budaya Solo belum maksimal. Solo sendiri punya dua wilayah sentra warisan budaya batik yang terkenal yaitu kampung batik laweyan dan kampung batik Kauman.

Berbagai corak/ motif batik khas Solo masih lestari sampai kini. Motif motif yang dipengaruhi budaya Keraton seperti parang (kusuma, klithik, baris), tirto rejo, truntum, sweke, supler, pesle, kawung, kantil, tambal dan jemelek. Semua mitif itu sudah melegenda.

Masyarakat Solo yang mencintai hasil karya warisan leluhur, maka nguri-uri budaya menjadi sebuah keharusan. Solo dan Batik bagaikan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Batik sebagai warisan budaya harus menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan di sekolahan. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik sebagai warisan budaya Indonesia pada 2 oktober 2009. Pemberian sertifikat pengesahan batik sebagai representasi budaya Indonesia , dilakukan dalam sidang UNESCO di Abu Dhabi. Eksistensi batik harus mengakar dan membumi kepada generasi muda (pelajar).

Pelajaran muatan local batik layak dihidupkan dan dikawal sehingga menjadi habitus (budaya) pendidikan. Status Solo sebagai kota batik menjadi ironis kala sekolahan yang berada di kawasan ini tidak menjadikan batik sebagai muatan local dalam kegiatan belajar mengajar.

Bagian hidup

Batik sesungguhnya sudah manjadi bagian gaya hidup di sekolahan. Di sekolah tempat saya mengajar pakaian batik dikenakan para siswa paling tidak tiga kali dalam sepekan.

Sayangnya, ikhwal sejarah, corak, proses pembuatan dan lain sebagainya terkait dengan batik tidak dikenalkan kepada siswa. Boleh dikatakan mayoritas siswa tidak mengenal sejarah, coral, filosofi dan lainnya yang terkait dengan batik. Batik tidak mengakar dan membumi. Siswa memakai pakaian batik hanya sekedar kewajiban sekolah tanpa emosi (ruh) yang mendarah daging. Batik bukan sesuatu yang membanggakan.

Muatan local dan setidaknya ekstrakurikuler membatik harus menjadi bagian dari semua praksis pendidikan dan pengajaran di kota Solo di semua jenjang pendidikan dari TK, SD, SMP sampai SMA sederajat.

Pengenalan dan fungsi canting, kompor, malam, wajan serta selembar kain, harga mati. Dibutuhkan kesadaran, kepekaan, kepedulian dan perasaan bangga yang tumbuh dari hati yang paling dalam untuk melestarikan batik.

Ini harus dimulai dari para pelajar. Mereka adalah generasi penerus harus tahu produk maupun jenis batik yang merupakan asli warisan leluhur. Corak batik antar daerah berbeda, apalagi akhir-akhir ini Batik dari Tionghoa juga menyerbu pasar Indonesia dengan harga murah. Pemerintah Daerah harus segera menjadikan batik sebagai muatan local yang sifatnya wajib, tidak setengah hati.

Hasil muatan lokal batik bisa disinergikan dengan aneka acara yang manjadi agenda kota Solo, seperti Solo Batik Carnival , Solo Batik Fashion dan berbagai pameran batik. Museum batik House of Danar Hadi di jalan Slamet Riyadi dan museum Batik Samanhoedi kawasan kampung Laweyan Solo, bisa menjadi pelengkap.

Museum Batik dengan etalase koleksi batik kuno dari berbagai kurun waktu sebelum dan sesudah penjajahan Belanda, Jepang sampai Kemerdekaan adalah alat pembelajaran yang tidak ternilai.

Semua materi dalam muatan local batik akan mengukuhkan Solo sebagai kota batik. Ketegasan Pemkot pemerintah daerah dan berbagai pihak berkepentingan dibutuhkan sebagai pengayom dan pelindung untuk memberlakukan dan memperdayakan muatan lokal batik.

Yang dibutuhkan setidaknya adalah peraturan daerah tentang Batik, penjadwalan kunjungan wisata, pameran, kirab, pelatihan membatik, Workshop, fashion show batik dan penjualan (sale) batik yang bervariatif.

Harapan besarnya pelajar dan warga Solo sendiri semakin mencintai batik sebagai kebutuhan, gaya hidup, personifikasi dan budaya sehari-hari. Pelajar bisa menjadi guide (pemandu) dan pewarta, melalui blog, media online, media sosial dan media lain yang membantu wisatawan yang berkunjung ke Solo untuk belajar membatik.

UNESCO saja mengakui keunikan batik sebagai warisan budaya Indonesia yang memiliki filosofi mendalam. Muatan local membatik harus diberlakukan dan dikawal oleh pemangku kepentingan pendidikan dan kebudayaan. Bila muatan lolal batik teraktualisasi, lengkaplah sudah mengeksistensikan batik dengan mulok yang mengakar kepada siswa sejak dini.

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur santo Yosef Surakarta.