Sunday, September 29, 2013

Beda Nasib PNS dan Buruh

dimuat dalam Opini harian Joglosemar, 5 Juli 2013

Oleh: FX Triyas Hadi Prihantoro Pendidik, tinggal di Solo

Begitu nikmat, nyaman dan damainya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jangan heran berbagai cara upaya dilakukan warga untuk menjadi salah satu bagian di dalamnya. Pembentukan mental bangsa yang sistematis dan stagnan, karena kemanjaan jaminan masa depan bagi warga yang berstatus PNS. Sudah sejak Mei 2013 PNS menerima rapelan kenaikan gaji. Pencairan kenaikan gaji akan dirapel selama empat bulan, Januari 2013 – April 2013. Perhitungan kenaikan gaji PNS sebesar 7,5 persen berlaku sejak 1 Januari 2013 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2013 tentang Peraturan Gaji PNS.

Tidak hanya memperoleh kenaikan gaji, setiap pertengahan semester sudah menanti gaji ke-13. Hal ini tak jarang menimbulkan kecemburuan sosial terhadap warga negara lain. Karena secara kasatmata, anggaran negara hampir sebagian besar tersedot untuk penggajian birokrasi termasuk PNS. Nasib PNS yang selalu beruntung, bila dibandingkan dengan buruh. Pemberitaan yang menyakitkan bila melihat nasib buruh yang sering dianaktirikan. Buruh selalu bersusah-payah demi mendongkrak kenaikan Upah Minimum Regional (UMR). Maka setiap tanggal 1 Mei ratusan ribu buruh akan berdemonstrasi dalam upaya mengubah nasib, sebagai bentuk protes akan kehidupan layak bagi setiap warga negara.

Kaum buruh berpeluh, berpanas-panas bahkan sampai berdarah-darah demi perjuangan untuk mendapatkan gaji yang layak. Namun menjadi ironi saat mendengar PNS selalu meningkat dan bertambah gajinya tiap tahun dan menerima gaji ke-13 yang menyertai di pertengahan tahun.

Ada apa sebenarnya maksud yang terkandung di dalamnya? Bukankah akan menimbulkan kecemburuan bagi kaum buruh yang masih termarginalkan? Perjuangan kaum buruh tidak akan pernah selesai saat pemerintah belum mengakomodasi tuntutan buruh berkenaan penghapusan outsuorcing (tenaga kontrak/honorer), jaminan sosial dan kenaikan UMR. Seperti dikeluhkan oleh buruh, saat UMR di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, naik menjadi Rp 2,2 juta per bulan berdasarkan kebijakan Gubernur Joko Widodo. Justru nasib buruh menimpa, faktanya gaji tidak naik namun banyak yang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Buruh dan PNS memang warga Negara Indonesia yang seharusnya mendapatkan hak yang sama. Sesuai tugas Negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yakni “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.” Namun senyatanya antara buruh dan PNS berbeda nasib. Negara belum mampu untuk memberikan kesejahteraan yang seimbang dan layak bagi warganya.

Ironisnya buruh yang penuh kerja keras dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam bekerja. Sering nasibnya di ujung tanduk, sebab mudahnya mendapatkan sanksi PHK saat kinerjanya memburuk.

Jaminan kelangsungan hidup dalam bekerja tidak mudah didapatkan, karena tidak ada ikatan hukum yang kuat demi menuntut hak-haknya. Hal ini sangat berbeda dengan PNS, kecuali mereka yang tersangkut masalah krusial kejahatan (pidana), poligami dan tersangkut penyalahgunaan Narkoba.

Seharusnya menjadi PNS juga terbiasa budaya kerja keras, rajin, disiplin, jujur dan inovatif. Kenyataannya budaya PNS masih seperti sopir bus metromini, seperti diungkapkan wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Eko Prasojo. Maka perlu dilakukan perubahan budaya organisasi bagi para PNS, tidak seperti sopir metromini yang masih seenaknya menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Masih banyak PNS yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan korupsi (suap), mangkir kerja, tidak disiplin, poligami dan penyimpangan lainnya.

PNS merupakan pegawai yang bermartabat dan diagungkan. Nasib PNS begitu indah di negeri koruptor, berbanding terbalik naib buruh. Apakah hal ini tidak menjadi pemikiran pemangku kebijakan, PNS masih diagungkan, dipuja dan sakral. Padahal keuangan Negara banyak dihabiskan dengan gaji birokrasi (PNS) yang selalu naik.

Seperti dilansir oleh Badan Kepegawaian Negara ada 3,5 juta PNS pada tahun 2004 dengan beban gaji Rp 54 triliun. Ada 4,4 juta PNS pada tahun 2010 dengan beban gaji Rp 162 triliun. Tahun 2011 jumlah PNS menjadi 4,5 juta orang dengan biaya belanja mencapai Rp 180,62 triliun. Jelas sekali sakralisasi PNS bukan hanya dilakukan oleh warga, tetapi Negara sendiri menganggap bahwa perlu jaminan yang hakiki untuk menjadikan PNS berkinerja yang optimal. Benarkah demikian bila dilihat kerja PNS masih seperti sopir bus metromini, belum ada perubahan dan peningkatan berarti dalam kinerja.

Perencanaan yang tidak memihak kepada rakyat yang diwakili kaum buruh, dapat menjadikan kemurkaan. Bentuk diskriminasi pembiayaan yang tinggi kepada PNS merupakan bentuk diskriminasi kepada warga yang hanya mampu bekerja di sektor lain (buruh pabrik, swasta, petani, peternak, pedagang, nelayan dan lain-lain).

Diskriminasi

Seperti dikatakan oleh Agus Riyanto (Koordinator PU TKP) NU Jateng. Misi mbangun desa tidak tampak karena hanya untuk belanja urusan otonomi daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian saja menelan dana Rp 3,1 triliun. Sangat kontras dengan anggaran sektor pertanian Rp 224.9 miliar, koperasi dan UKM Rp 34 miliar, ketahanan pangan Rp 21 miliar dan pemberdayaan masyarakat hanya Rp 16,4 miliar.

Melihat ketidakseimbangan dalam perencanaan anggaran yang dibebankan dengan alokasi yang lebih besar diberikan kepada PNS serta upaya buruh menuntut dalam meningkatkan gaji. Dengan perbedaan nasib yang signifikan, akan mengguncang tingkat stabilitas nasional. Apalagi kenaikan gaji PNS dibarengi rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) tanpa mengakomodasi tuntutan PNS. Rasa-rasanya negeri ini tetap menjadi negeri bermasalah yang tidak ada titik temu.

Alhasil upaya menggenjot kemandirian bangsa jauh dari harapan. Patronase PNS sebagai abdi Negara hanya sekadar menjadikan tujuan hidup. Kehendak menjadi bangsa yang mandiri dan berdedikasai untuk menciptakan segala inovasi akan mandek di tengah jalan. Karena perbedaan krusial (gaji) masih menjadi kendala utama. PNS dan buruh tidak mungkin saling bekerja sama selama disparitas kesenjangan masih terbuka lebar.

Semakin gencar tuntutan dari pemerintah untuk menjadikan bangsa yang mandiri namun tanpa dukungan pembagian anggaran yang adil, merupakan gerakan utopis. Era transparansi menjadikan elemen bangsa dapat mengoreksi dan menilai kinerja PNS yang masih stagnan. Serta tuntutan anak bangsa berjiwa wirausaha, namun tidak diimbangi dengan pengayoman dalam pemberian gaji kepada buruh yang layak dan pantas.

Oleh karena itu sebuah kebijakan menjadikan benang merah dari segala tujuan. Saat warga masyarakat mengetahui adanya ketidakadilan dalam pembagian “kue” anggaran belanja Negara. Rasa malas, iri dan kecemburuan sosial semakin tinggi. Perasaan kerja keras guna membangun negara sesuai kemampuannya tidak mendapatkan respons dan penghargaan semestinya bagi warga negara lain.

Friday, September 06, 2013

Imajinasi Tertib Berlalu Lintas

OPINI, Harian Jogosemar 31 Juli 2013 Proses pembelajaran pada tahun ajaran 2013-2014 sudah dimulai. Beberapa sekolah menengah atas (SMA) dan yang sederajat di Kota Solo telah menggunakan Kurikulum 2013. Selain persoalan kurikulum baru, ada hal yang perlu diperhatikan pada tahun ajaran baru kali ini. Yaitu bagi siswa dan siswi yang belum cakap mengendarai kendaraan bermotor wajib mematuhi tata tertib berlalu lintas. Kewajiban itu berdasarkan nota kesepakatan (MOU) antara Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora), Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo) dan Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polresta Surakarta tentang larangan siswa-siswa sekolah menggunakan kendaraan bermotor. Hasil dari kesepakatan itu mulai disosialisasikan dengan mengumpulkan Kepala Sekolah (SMA/SMK/MA) atau wakilnya. Tindak lanjutnya pihak yang berkepentingan melakukan sosialisasi sampai batas akhir dari penerapan tertib berlalu lintas pada 8 Juni 2013. Asumsi semua warga sekolah yang dimaksud sudah memahami, mengerti dan melaksanakannya. Oleh karena itu. Kepala Sekolah dan pendidik diharapkan memberikan bimbingan, arahan dan memberikan tindakan disiplin bila ada siswa yang melanggar. Maka dibutuhkan pendataan dalam pemenuhan syarat dalam berkendaraan dan mengecek segala fasilitas kendaraan yang dimiliki siswa berkenaan kelengkapan demi keselamatan. Seperti yang penulis lakukan saat pendataan siswa. Bagi siswa yang belum berumur 17 tahun harus mematuhi. Hasilnya siswa pengguna sepeda motor belum memiliki SIM C. Alasan siswa mengendarai sepeda motor, rata-rata karena rumah mereka relatif jauh (daerah penyangga Kota Solo) dan belum ada angkutan massal di tempat asal. Di satu sisi ketertiban administrasi berjalan dengan baik namun di sisi lain situasi dan kondisi jarak, waktu dan tiadanya infrastruktur menjadikan pelanggaran terjadi secara massif. Maka upaya penertiban berlalu lintas bagi siswa, sebagai upaya peredaman belum maksimal. Hal itu merupakan upaya dalam mengurangi angka kemacetan dan kecelakaan di Kota Solo. Sebuah kerja keras dari imajinasi stakeholder kota, dalam menciptakan budaya tertib berlalu lintas. Pasalnya berbagai ruas jalan kota sudah tidak layak dan nyaman bagi pemakai jalan untuk berkendaraan. Seperti pernah juga dilaporkan oleh Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan (2009) di Kota Solo ada 20 titik rawan macet. Di antaranya Pasar Klewer, Pasar Singosaren, Pasar Nusukan, Pasar Kembang dan Kadipolo, Pasar Legi Pasar Jongke, Solo Grand Mall (SGM), Solo Square, Pusat Grosir Solo(PGS) , Simpang lima Komplang, simpang empat pasar Nusukan dan Pasar Nongko serta perlintasan Kereta Api Joglo Kadipiro. Tahun 2013 semakin bertampah ruwet dan macet sejalan dengan kemudahan dan bertambahnya kepemilikan kendaraan. Jalan Keluar Oleh karena itu Pemerintah kota (Pemkot) Solo selaku pengambil keputusan jangan sampai kehilangan akal dalam mencari solusi. Jalan keluar dari sebuah kompleksitas permasalahan kemacetan kota dibutuhkan penataan sistem transportasi kota yang terarah, terencana dan manusiawi. Disertai penerapan larangan demi tertib berlalu lintas yang penuh konsekuen. Sebab akar permasalahan sering tidak bisa diurai dan dicari solusi karena belum mampu dalam menyiapkan sarana dan prasarana pendukung kebijakan. Padahal efek yang didapat dari penataan lalu lintas yang baik menjadikan pengurangan waktu tempuh perjalanan (tidak mengurangi produktivitas kerja), mengurangi kepadatan lalu lintas serta penurunan polusi udara (CO2), karena emisi gas karbon dari kendaraan yang antre terjebak. Begitu juga tingkat kecelakaan menjadi berkurang sejalan dengan budaya tertib berlalu lintas bagi warganya. Kebijakan tertib berlalu lintas bagi pelajar, berdasarkan laporan dari Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan informasi (Kadishubkominfo). Data jumlah kendaraan di Kota Surakarta sudah terlalu banyak, naik 36 persen tahun 2011 sedanggkan kapasitas jalan menurun dengan pertambahan prasarana hanya sebesar 0,2 persen. Sedangkan Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) Polresta Surakarta mengatakan bahwa pelanggaran terbesar dalam berlalu lintas dilakukan anak remaja usia 16–21 tahun (usia sekolah). Dari pelanggaran yang ditangani, pelakunya merupakan pelajar SMP/SMA yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), rata-rata di atas 400 kasus. Dari data tersebut jumlah yang meninggal dijalan mencapai 18 0rang (April 2013). Mengatasi kemacetan dan meminimalisir angka kecelakaan, tidak hanya dengan cara pengalihan jalur berlalu lintas yang selama ini dilakukan. Diperlukan kebijakan publik yang ”menyengat” warga dengan Peraturan Daerah (Perda) dan aturan yang keras. Sedangkan dalam upaya mengurangi mobilitas kendaraan dan kecelakaan, pembatasan dan penerapan aturan penuh disiplin, tertib dan ketegasan sanksi tanpa pandang bulu. Oleh karena itu upaya penertiban bagi siswa yang belum memiliki SIM untuk tidak ”berkeliaran” di jalan raya, merupakan salah satu langkah yang baik. Hal itu jelas tercantum dalam UU Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas, dalam pasal 77 ayat 1 bahwa Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. Pasal 81 ayat 1, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Serta telah berusia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D (pasal 45 ayat 2 a). Demi budaya tertib, aturan yang sudah diundangkan wajib diketahui, dipahami dan ditaati bersama. Namun demikian seyogianya dalam penerapan ini juga diimbangi dengan penyiapan infrastruktur yang memadai, seperti penyiapan angkutan pengumpan (feeder) dengan pengadaan dan pembangunan shelter atau biasa dikenal dengan pemberhentian bus sekolah di tempat strategis. Nurahmands (2009) mengusulkan untuk mengatasi kemacetan dari Pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi, tarif parkir progresif dan penyediaan transportasi publik yang nyaman. Penulis sendiri menambahkan dengan penataan bagi pedagang kaki lima, penataan parkir liar, pengoptimalan peranan jalan yang sudah ada, konsistensi aturan dan pembiasaan warga untuk berlalu lintas yang baik. Sebab sering ditemui sehari-hari mulai pejalan kaki, pengemudi sepeda dan becak tidak memanfaatkan jalur yang semestinya. Begitu juga tingkat pelanggaran yang dilakukan warga termasuk pelajar. Dengan terbatasnya wilayah Kota Solo dengan luas wilayah 44,04 kilometer (2008) dan tanah milik Pemerintah tinggal 4-5 hektare saja, maka menambah kapasitas jalan merupakan hal yang tidak memungkinkan dan kurang manusiawi. Karena menambah dan perluasan jalan berarti pelanggaran hak milik warga yang mungkin terkena penggusuran. Namun tertib berlalu lintas merupakan bagian dari budaya. Oleh karena itu budaya tertib tidak hanya sebuah slogan tetapi butuh kesadaran dan kesungguhan pengguna jalan termasuk pelajar. Demi ketertiban bersama, ketegasan menjadi kunci utama dalam mengapresiasi keputusan bersama yang telah menjadi kesepakatan. Imajinasi Kota Solo dalam tertib berlalu lintas, tanpa kemacetan, kerinduan udara segar, nyaman dan asri sebuah dambaan warga. Pertanyaan krusial, bagaimana dengan siswa yang berkendaraan (usia transisi 16-17 tahun) yang terpaksa berkendaraan karena situasi dan kondisi yang ada? Adakah rekomendasi atau tetap ditindak dengan penerapan sanksi yang ada. Silakan di diskusikan lebih lanjut. FX Triyas Hadi Prihantoro (guru dan pemerhati pendidikan)

Semua Guru Wajib Sarjana

OPINI harian Joglosemar 7/9/13 oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta) Kebijakan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menargetkan seluruh guru di seluruh Indonesia minimal berkualifikasi S-1 pada tahun 2015. Layak didiskusikan lebih lanjut. Apakah terjadi sinergi berkenaan kualitas (Sarjana) dengan kuantitas (jumlah) seluruhnya dari sekitar 2,9 juta guru di Indonesia? Sering kali dalam ranah kehidupan pendidikan di Indonesia, keagungan yang muncul selalu dilihat dari sisi kuantitas belaka. Bisa dilihat setiap pelaksanaan Ujian Nasional (UN) hampir semua sekolah, daerah menargetkan lulus 100 persen kuantitas dengan mengabaikan sisi kualitas. Menjadi keyakinan guru berkualitas minimal bermodal Sarjana ? Menjadikan mutu dan kualitas pendidikan menjadi lebih baik. Menjadikan pembelajaran lebih aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan (PAIKEM) dengan hasil akhir yang dicapai tidak mengecewakan. Kehendak Kemendikbud dengan target bahwa guru harus S-1 memang baik. Namun bagaimana dengan guru senior yang sudah mendekati pensiun? Apakah mereka juga harus dipaksakan untuk belajar guna meraih S- demi tuntutan profesionalitas. Pasalnya ada ancaman bila tahun 2015 belum mencapai gelar Sarjana akan dijadikan tenaga administrasi (tenaga kependidikan). Menunjukkan keseriusan dan ketegasan Pemerintah dalam upaya mensejajarkan tingkat pendidikan dari semua jenjang. Banyak tudingan kegagalan pendidikan diakibatkan guru yang kurang mumpuni (berkualitas) dari sisi akademis. Bisa sebagai bentuk keprihatinan mutu pendidikan, juga sebagai bentuk realisasi amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU N0. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dinyatakan pendidik (guru) merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Kemampuan aspek pelatihan, penelitian dan analisis hanya dimungkinkan bagi guru yang telah menyelesaikan program pendidikan Sarjana (meski belum jaminan). Sebab materi tersebut menjadi salah satu mata kuliah yang harus lulus di Lembaga pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) dari Universitas. Maka demi menjadi guru profesional dengan berbagai tugas tanggung jawabnya, menjadikan sebuah kewajiban bila guru harus selalu mampu mengimbangi dan mengikuti perkembangan. Era kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menjadikan guru tanggap dan cepat bereaksi, beraplikasi, berintegrasi dan penuh inovasi. Mental semangat pembaharu dengan mampu menjadi inspirasi bagi siswanya. Kritikan Hu Wen Chiang (pakar pendidikan Taiwan) di Indonesia belum banyak guru yang bisa menjadi inspirasi bagi siswanya untuk maju. Tidak banyak guru yang harusnya bisa membantu peserta didik mengeksplorasi pikirannya. Guru ternyata hanya sekadar mengajar. Atau, guru sekadar memindahkan informasi dari buku yang dibacanya untuk disampaikan kepada peserta didik di depan kelas. Akibat menyedihkan dari kondisi ini, peserta didik tidak punya kemampuan menganalisis. Karena pendidikan adalah soal mind set (pola pikir) dan ini merupakan tanggung jawab seorang guru Sebuah keniscayaan seorang guru dapat berpartisipasi sempurna dalam pendidikan jika tak menunjukkan kualitas diri. Oleh karena itu guru harus bersikap tulus untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan diri sendiri dengan tetap tekun dan selalu belajar kapan pun dan pada siapa pun. Guru masa kini dituntut mampu meninggalkan cara mengajar pola lama yang semula memakai satu arah (transfer knowledge) jadi dua arah agar siswa lebih aktif di kelas. Guru tidak hanya sebagai fasilitator dan tidak tak sekadar membantu atau pengambil keputusan instruksional di kelas. Namun juga harus mampu berperan sebagai konselor, motivator, dan moderator bagi siswa. Cara paling efektif dengan menerapkan pola pembelajaran dua arah, sehingga guru tidak satu-satunya orang yang aktif di kelas. Guru agar dapat memainkan peranan dengan baik dalam dunia pendidikan, guru harus senantiasa membelajarkan diri, autodidaktif. Tak ada alasan lagi bagi guru untuk tidak belajar. Sediakan waktu setiap hari untuk menyentuh buku yang bermanfaat dan menambah wawasan berpikir. Dengan harapan, kita semua dapat menjadi guru berkualitas agar bisa mendidik murid menjadi sumber daya manusia berkualitas ( Zulnaidi.2010). Dukungan Inilah tantangan yang harus dihadapi setelah semua guru bergelar S-1. Mengubah mindset, mental, kebiasaan dan budaya gaptek yang turun temurun menjadi lebih aktif dan kreatif. Jelas sekali guru tidak bisa hanya monoton dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), sebab perkembangan TIK, bisa terjadi tiap saat. Bisa terjadi siswa lebih tahu, paham dan pintar dalam bidang tertentu daripada gurunya. Guna merealisasikan rencana ini perlu dukungan masif dari stakeholder pendidikan. Sebab tanpa sebuah pengawasan dari orangtua siswa, masyarakat (LSM) dan monitoring serta evaluasi terstruktur, kewajiban program ini akan sia-sia. Mental guru akan kembali kepada pola lama. Peningkatan S-1 bagi guru merupakan kewajiban Pemerintah untuk ikut membiayai. Sesuai Pasal 13 dan 24 UU 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidikan bagi guru baik berstatus PNS ataupun guru swasta. Dari data Kemendikbud Agustus 2010. Guru berijazah SMA sebanyak 213.678 orang (PNS) 319.667 orang (swasta), D1 sebanyak 26.838 orang (PNS) 28.929 orang (swasta), D2 sebanyak 537.174 orang (PNS) 260.898 orang (swasta) dan D 3 sebanyak 65.999 orang (PNS) 54.830 orang (swasta). Namun bukan hanya dukungan biaya bagi total sekitar 1, 5 juta guru yang belum bergelar S-1. Rencana Pemerintah akan memberikan subsidi per tahun kepada 360.000 orang, masing-masing Rp 3,5 juta/tahun untuk menyelesaikan program studi S1. Peraturan UU No 14/2005 sudah mengamanatkan pula bahwa bupati dan walikota juga tidak boleh menerima guru baru berpendidikan di bawah S1. Seluruh bupati dan walikota harus meningkatkan kualifikasi guru sebelum tahun 2015. Guru yang berkualitas (S1)diharuskan bisa mengimbangi, mengikuti pemenuhan standar nasional pendidikan yang diharapkan dalam UU Sisdiknas. Kolaborasi dan elaborasi guna memenuhi atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga ke pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Hu Wen Chiang mengatakan ada empat tipe guru berkualitas Pertama, guru bisa memindahkan informasi dari buku ke peserta didik di depan kelas. Kedua, guru yang bisa menjelaskan sebuah masalah atau bahan ajar. Ketiga, guru yang bisa menunjukkan bagaimana materi ajar dengan baik. Keempat, paling ideal, adalah guru yang bisa menjadi inspirasi bagi muridnya untuk maju (Kompas 5/4/10) Hal ini juga harus bersinergi dengan kualifikasi yang wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Memiliki kompetensi kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional melalui pengembangan guru dalam pelatihan, seminar dan penulisan karya ilmiah. Seyogyanya guru bisa bersinergi dari segi kuantitas dan kualitas. Anggaran yang besar jangan sampai mubazir, dibutuhkan kemauan, dorongan dan semangat guru untuk selalu terus maju. Namun dibutuhkan aturan kebijakan humanis, bagi guru yang mendekati pensiun. Begitu!