Saturday, November 29, 2014

Dilema Sekolah Swasta

OPINI, Harian KOMPAS

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Berita ditutupnya sekolah swasta kini sering muncul pada akhir dan menjelang tahun ajaran baru. Tiada yang peduli terhadap nasib sekolah swasta yang makin tergusur dari persaingan dunia pendidikan.

Tahun ajaran baru 2011/2012, sejumlah sekolah swasta di beberapa kota masih kekurangan murid. Untuk memenuhi daya tampung, pihak sekolah pun berencana memperpanjang masa penerimaan (Kompas, 5/7/11).

Gugatan nasib sekolah swasta di tengah upaya pengebirian peran sekolah swasta oleh pemerintah—dengan berbagai kebijakan dan gelontoran dana kepada sekolah negeri—memang menjadi ironi. Padahal, ketika negara belum mampu menyelenggarakan pendidikan bagi rakyatnya, banyak sekolah yang dirintis dan dikelola oleh kalangan ulama (pesantren), nasionalis (Taman Siswa/bumiputra), dan misionaris (zending), terutama di pedalaman dan daerah tertinggal.

Makin minimnya minat warga negara mengenyam pendidikan di sekolah swasta berdampak pada sekaratnya sekolah swasta. Kalaupun ada sekolah swasta yang mampu ”bernapas”, hidupnya seakan digerogoti penyakit kronis. Kurangnya perhatian pemerintah membuat sekolah swasta sering menombok. Ini karena siswanya kebanyakan dari keluarga miskin atau telantar sehingga tidak mampu membayar biaya pendidikan.

Jadi, pamor sekolah swasta pun makin meredup, apalagi sekolah negeri terus difasilitasi untuk membenahi gedung menjadi supermegah dan guru-gurunya mendapat berbagai tunjangan.

Swasta ditinggalkan

Perubahan pilihan ini secara kasatmata dapat dilihat saat penerimaan siswa baru (PSB). Seperti di Kota Solo, dari sistem PSB, dapat dilihat bagaimana sekolah swasta menjadi pilihan terakhir.

Seperti diketahui, jumlah kuota sisa atau kuota yang belum terpenuhi pada jenjang SMP dan SMA di Solo yang mengikuti sistem PSB online mencapai 4.040 siswa. Jumlah tersebut mencakup 2.225 kursi SMP dan 1.815 kursi SMA. Tampak bahwa daya tampung yang belum terpenuhi kebanyakan di sekolah swasta. Bahkan, enam sekolah tidak mendapat pendaftar online.

Tidak mengherankan apabila sekolah swasta selalu mendapatkan sisa-sisa siswa yang bermasalah, baik secara akademik (nilai rendah) maupun kemampuan finansial lemah (miskin).

Sistem PSB online yang diberlakukan memang sangat dilematis bagi sekolah swasta karena sekolah swasta harus menunggu hasil buangan seleksi dari sekolah negeri yang sudah terpenuhi kuotanya. Itu pun paling hanya tersisa beberapa siswa. Saat sekolah swasta diperbolehkan melakukan seleksi secara offline, hanya sedikit sekolah yang mampu memenuhi kuota, itu pun kebanyakan tidak mampu. Tidak heran jika akhirnya beberapa sekolah swasta gulung tikar.

Dilema lain yang terjadi di Solo adalah terkait dengan jumlah siswa baru dalam rombongan belajar per kelas. Untuk setara TK maksimum 25 siswa, setara SD maksimum 32 siswa, setara SMP maksimum 32 siswa, SMA maksimum 32 siswa, serta SMK program TI maksimum 36 siswa dan SMK program non-TI maksimum 40 siswa.

Namun, dalam PSB online, ada ketidakmampuan untuk menentukan jumlah kelas yang dipersiapkan. Karena saat siswa diterima di sekolah (negeri/swasta) secara online, pada prinsipnya dia harus diterima. Bagaimana jika kelebihan?

Dalam hal ini muncul pertanyaan, mungkinkah sekolah swasta yang mampu memenuhi kuota (bahkan lebih) menyubsidikan siswanya ke sekolah swasta lain? Begitu juga, apakah sekolah negeri (SMP/SMA) di setiap tahun ajaran baru juga mematuhi aturan yang telah ditetapkan? Apabila sekolah negeri selalu memperbesar daya tampung dan menambah kelas, sekolah swasta ”kecil” yang jadi korban.

Ketegasan dan kepedulian pemerintah menjadi penting demi tetap menjaga keselarasan pendidikan sekolah negeri dan sekolah swasta yang kebanyakan lahir dari visi dan misi mencerdaskan anak bangsa tanpa memandang suku, ras, golongan, dan agama.

Oleh karena itu, semestinya pemerintah kian peka akan nasib siswa, guru, dan sekolah swasta. Pemerintah juga harus malu apabila mengetahui ada pengelola yayasan sekolah swasta terpaksa ”mengemis” donatur, sponsor, dan alumni agar tetap jalan. Pemerintah juga harus berduka saat sekolah swasta terpaksa ditutup karena kehilangan potensi untuk mencerdaskan bangsa.

Dalam Pasal 55 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, ”Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.”

Jadi, menjaga spirit pendiri dan pengelola sekolah swasta harus menjadi tanggung jawab bersama. Visi dan misi sekolah swasta perlu dilindungi dan kemudian dioptimalkan perannya. Jangan sampai kebijakan pemerintah yang berat sebelah ke depan justru menyusahkan hak rakyat memperoleh pendidikan.

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Surakarta

Kolaborasi Menyelamatkan Dana BOS

Opini Suara Pembaruan

oleh FX Triyas Hadi Prihantoro

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam penyalurannya, ternyata banyak ditemukan penyimpangan, mulai dari skala kecil hingga besar dengan modus yang beragam. Salah satu modus, para kepala sekolah diwajibkan menyetor uang dalam jumlah tertentu ke Dinas Pendidikan Nasional (Diknas), dengan dalih demi memperlancar proses pencairan dana BOS (SP 4/9/09). Diketemukan data fiktif penerima dana BOS (SP 5/9/09), selanjutnya Diknas minta bantuan KPK untuk usut korupsi dana BOS (SP 9/9/09).

Dalam kenyataannya, karena banyak karut marut dalam penyaluran, dana BOS hanya mampu mencukupkan biaya operasional. Seperti diungkapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Jateng yang menemukan 10 penyimpangan dana BOS tahun 2008.

Penyaluran dana BOS dan pendidikan gratis, merupakan harapan masyarakat dan kesungguhan pemerintah. Supaya terlaksana sesuai harapan, yang terlibat di dalamnya harus ikut mengawal demi keadilan dan pemerataan dalam memperoleh jaminan pendidikan. Naiknya anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN berimplikasi naiknya dana BOS. Tahun 2009 dana bagi SD/MI kabupaten sebesar Rp 397.000, untuk kota Rp 400.000 per tahun. Sedang SMP/Mts Rp 570.000 per kabupaten) dan Rp 575.000 per kota.

Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) menggambarkan sejak program BOS diluncurkan tahun 2005 pungli dan penyimpangan selalu mengiringinya. Sudah menjadi simbiosis mutualisme antara sekolah dan dinas pendidikan berkenaan penyunatan dana BOS demi kelancaran cairnya dana. Oleh karena itu, dibutuhkan kehendak, kemauan, kepedulian dan partisipasi aktif stakeholder pendidikan dalam mengawal BOS. ICW melaporkan dugaan korupsi anggaran pendidikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (11/9). Total kerugian negara dari 142 kasus korupsi anggaran pendidikan periode 2004-2009 mencapai Rp 243 miliar (SP 11/9/09)

Seperti juga penemuan BPK, dari hasil pemeriksaan semester ada penyimpangan dengan tidak mengembalikan dana BOS di empat dinas pendidikan tingkat provinsi. Sumatera Utara Rp 816,33 juta, Sumatera Barat Rp 1,3 miliar, Sulawesi Selatan Rp 1, 58 triliun, sedangkan Sulawesi Utara dugaan penyimpangan pada pembuatan buku senilai Rp 7,35 miliar selama tahun anggaran 2005 hingga 2007. Untuk meminimalisasi masalah maka fungsi pengawalan dan pengawasan bersama menjadi penting demi penyelamatan dana BOS. Bagi yang terlibat korupsi berikan sanksi yang tegas, bila berstatus PNS tidak hanya penurunan pangkat/golongan/mutasi namun pemecatan, denda dan pidana penjara merupakan solusi yang tepat, sebagai efek jera (shock therapy).

Diknas harus serius dalam menggandeng KPK untuk pengawasan, evaluasi, dan supervisi. Sekjen Depdiknas Dodi Nandika mengharapkan tata kelola yang akuntabel dan lebih baik agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pengelolaan aliran dana BOS. Sebab, BOS sendiri merupakan terobosan untuk membebaskan 70,3% siswa SD/MI (28.702.394) siswa dan siswa SMP/Mts (11.060.344). Anggaran yang besar harus dikawal dengan ketat agar tak ada kasus-kasus tanpa tender.

Besarnya dana BOS membuat orang makin khawatir akan terjadinya penyimpangan. Fakta, data, dan bukti penyimpangan sudah terjadi secara sistematis, terencana, dan terkoordinasi dengan melibatkan banyak pihak. Sehingga menjadi sebuah kewajiban warga masyarakat untuk mengawalnya.

Penyelamatan

Naiknya anggaran BOS tidak lepas dari tanggung jawab negara sesuai amanat pembukaan UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum”. Maka Depdiknas memiliki banyak program untuk pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan seperti BOS.

Dalam Pasal 34 (Ayat 2) UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Ditegaskan lagi dalam ayat (3), Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat

Maka demi meyelamatkan BOS, pemerintah daerah, institusi pendidikan bersama masyarakatnya harus proaktif, bertanggung jawab dalam pengelolaan melalui pengawasan (monitoring). Bila diketahui ada penyimpangan segera lapor kepada aparat berwenang atau langsung ke KPK yang sudah bermitra dengan Depdiknas. Sebab KPK akan menggunakan sistem online real time, supaya masyarakat dapat memantau aliran dana BOS secara langsung. Oknum penilep, segera dipublikasikan bila terbukti bersalah berdasar keputusan tetap pengadilan.

Lemahnya sistem pengawasan dan pengontrolan menjadikan siapa pun wajib dan harus melaporkan bila gejala penyimpangan terjadi. Oleh karena itu pemeriksaan aliran BOS oleh tim monitoring dan evaluasi (Monev) jangan hanya sekali. Perlu kebijakan inspeksi mendadak (sidak) sebab kebiasaan Monev sering bisa dibaca oleh pelaku pelaksana pendidikan. Publikasi online service sebagai kebutuhan dengan proaktif “pengawalan” bisa dilakukan melalui berbagai media (papan pengumuman, media cetak, audio dan televisi).

FX Triyas Hadi Prihantoro Penulis adalah Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta