Friday, March 12, 2021

Mengenang Supersemar

Opini, Tribun Jateng (jumat 12/3/21)

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Sejak keluarnya Surat Perintah sebelas maret (supersemar) 1966. Berarti tahun ini sudah berusia 55 tahun. Usia yang panjang dalam pencarian kebenarannya. Namun sejatinya Supersemar sampai saat ini masih sumir (tidak jelas), terbukti masih menjadi bahan perbincangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kejelasan dan keaslian surat masih menjadi pertanyaan dan perdebatan di lingkungan kelas (akademis) maupun masyarakat.

Semakin sulit para penerus anak bangsa guna menguak kebenaran. Pasalnya pihak-pihak yang melihat sebagai saksi sudah menghadap khalik. Dokumen yang dibutuhkan kan pun sudah hilang ditelan waktu, disengajakan, dimusnahkan atau memang hilang. Semua dibuat bingung dan menjadi teka-teki bangsa. Lalu bagaimana kita sebagai anak bangsa dan mewariskan nilai-nilai kebenaran yang menjadi pandora kehidupan bernegara.

Kontroversi peristiwa penting dalam sejarah perjuangan bangsa seolah hilang. Tiada dukungan data yang akurat menjadi kontroversi substansi dan polemik berkepanjangan. Menjadi kesulitan bagi pengampu mata pelajaran PPKn dan IPS di SMP, PPKN dan sejarah di SMA hingga sekarang masih absurd tanpa kejelasan. Kadang guru menjadi bingung saat siswa kritis menanyakan hakekat keaslian Supersemar dan sejarah pendukung untuk menjelaskannya.



Supersemar sebagai salah satu sumber tertib hukum dalam pembelajaran kewarganegaraan dan sejarah. Merupakan titik tolak lahirnya Orde baru dan berkuasa sampai tahun 1998, hingga kini masih sumir, kepastiannya. Ketidak jelasan berkenaan siapa tokoh yang melahirkan Supersemar. Siapa yang yang menyuruh dan bertanggung jawab dan siapa yang diminta melaksanakannya. Padahal “kesaktian” surat ini menjadi pangkal perubahan sebuah dinasti yang berkuasa. Anak jaman now (milenial) mulai kehilangan jejak dan hilang ditelan waktu.

Fakta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menunjukkan bahwa proses sejarah bangsa sering dibelokkan dan direkayasa. Demi kelanggengan kekuasaan dan kepentingan politik, menjaga serta mengamankan kekuasaan. Padahal sejarah merupakan historia docet, banyak memberi pelajaran berharga bagi umat manusia. Soekarno mengatakan jas merah (jangan sekali sekali meninggalkan sejarah).

Menurut Asvi Warman Adam, peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ada tiga kontroversi yang muncul jika membicarakan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi momentum peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke Soeharto. Pertama, menyangkut keberadaan naskah otentik Supersemar. Kedua, proses mendapatkan surat itu. Ketiga, interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto.

Naskah Supersemar

Meskipun dalam Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik. Ketiga arsip naskah Supersemar meliputi arsip Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur. Hal yang perlu dijelaskan kepada masyarakat, terutama dalam pelajaran sejarah, bahwa Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, melainkan di bawah tekanan. Tercatat dalam rekaman sejarah setelah Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966. Soeharto melakukan pembubaran PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen AD (Kompas 10/3/16).

Padahal bagi Soekarno, Supersemar merupakan perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya. Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority. Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.

Berbagai buku sekitar Supersemar sebagai bahan diskusi. Eros Djarot (2006) menulis “ Misteri Supersemar,” Dr Wang Xiang Jun “ Misteri terbunuhnya Soekarno,” Amir Macmud “ Supersemar : tonggak sejarah Orde Baroe,” Basuki Rahmat (1998) “ Basuki Rahmat dan Supersemar dan tulisan P. Ari Subagyo “ Demitologisasi Supersemar,” (kompas 11/3/2008) bisa jadi acuan dalam diskusi kritis.

Dr Roeslan Abdulgani pernah mengatakan bawa Supersemar berisi delegation of authority, sedang yang beredar transfer of authority. Maka saat Supersemar sudah berusia 55 tahun tugas guru IPS, PPKn dan Sejarah meluruskan dan mencari kebenaran. Kesamaran akan semakin terkuat ketika bersama aktif, kreatif dan inovati dalam upaya mencari dari berbagai sumber data/ pustaka, mensosialisasikan, problem solving (studi kasus) dalam implementasi pembelajaran di kelas.

Bagaimana dengan Supersemar itu sendiri? Karena sampai sekarang masih menjadi teka-teki dan bahan pertanyaan bagi pendidikan itu sendiri. Soe Hok Gie (1966) mengatakan bahwa kita harus belajar bagaimana bersikap objektif dan korektif terhadap kekuasaan, serta berani menantang tirani. Supersemar sudah 55 tahun dan misteri belum terkuak. Demi masa depan bangsa dan negara yang trasnparan. Kita wajib berlomba menguak kebenaran meski sudah memasuki jaman milenial.

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru PPKn SMP Pangudi Luhur Domenico Savio Semarang)

No comments: