Tuesday, April 27, 2021

Pembiusan dan Pemolesan Nilai Raport

OPINI Tribun Jateng 27 April 2021

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Secara serempak hampir semua jenjang sekolah dari SD, SMP, SMA sederajat, di akhir akhir semester genap 2020/2021 membagikan hasil evaluasi belajar (raport). Luapan kegembiraan massif terjadi bagi yang berhasil, daripada kesedihan bagi yang gagal. Meski dalam pembagian di masa pendemi ini dengan berbagai cara seperti sistem drive thruu, pengiriman file PDF maupun terjadwal dengan memperhatikan protokol kesehatan.

Sebuah intropeksi dari pencapain nilai yang tinggi dalam raport. Apakah mereka (orang tua dan siswa) tahu betul apa pura pura tidak tahu? Bahwa nilai angka yang di dapat dan tertera dalam raport bukan merupakan proses hasil yang sesungguhnya, Seperti halnya yang terjadi di sekolah unggulan yang punya Idealisme tinggi dalam kemajuan pendidikan.

Nilai raport yang diperoleh (ternyata) merupakan hasil rekayasa yang sedemkian rupa dari sebuah politik pendidikan atau suasana pandemi yang butuh pertolongan. Sejujurnya banyak guru yang mengidolakan pendidikan yang jujur, adil dan berkarakter. Guru pasti sedih dan meratap setiap mendekati penentuan angka keberhasilan mata pelajaran yang diampu. Pemaksaan memberikan angka yang “tidak wajar,” pada siswa tertentu (bermasalah) akademik / non akademik sudah menjadi agenda tahunan. Tidak tega bila melihat siswanya yang belum layak di tingkat lebih lanjut.

Tak ayal lagi, di tingkat berikutnya masalah yang sama akan terjadi. Pendidikan yang ideal saat terjadi kesetaraan yang sebaya bagi satu rombongan belajar menjadi persoalan sistemik. Padahal dalam proses pembelajaran, di dalam kelas seharusnya menjadi ruang dimana proses belajar memperkaya siswa akan nilai nilai hidup sekaligus cinta akan kegiatan belajar ( Brophy, 1983, 1998). Guru juga bisa menerapkan cara mengajar yang berwibawa lewat ketegasan prinsip dan transparasi sistem perilaku. Para siswa umumnya mengharap guru menjadi figure kekuasaan yang mampu menciptakan situasi stabil dengan tata perilaku yang standar (Brantilinger, 1993. Metz, 1978)

Kegelisahan dan Rekayasa

Kegelisahan masalah rekayasa nilai tinggi kepada siswa terjadi, sejak berlakunya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006 dan kurikulum 13 (kurtilas). Pasalnya tidak akan ada siswa yang memperoleh nilai jelek, meskipun gagal (tidak naik) karena perosalan diluar bidang akademik (mbolos, narkoba, kriminal). Apalagi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) saat ini rata rata dipatok pada angka 73. Maka tebaran nilai memuaskan (80 keatas) seolah diobral, sedemikian rupa. Seolah membius siswa dan orang tua, bahwa nilai memang sangat bagus dengan tingginya angka di dapat.



Yang menjadi persoalan apakah angka yang diperoleh sudah memenuhi secara kualitas, atau hanya tuntutan kuantitas belaka? Pasalnya sering di dengar dan sudah menjadi tuntutan yang mahfum bila pengelola sekolah harus bisa meningkatkan KKM dari setiap mata pelajaran pertahun. Sehingga akan muncul “angka ajaib” yang membiuskan.

Setiap peningkatan KKM akan mendapat pujian bahwa pembelajarannya diangkap berhasil dan berkualitas karena warga sekolah (siswa) telah mampu menunjukkan dan meningkatkan angka capaian belajar. Meski tidak dipungkiri nilai minimal (tinggi) yang di diperolah berasal dari remidiasi beberapa kali atau markup (penggelembungan) nilai yang dipaksanakan. Sebab bila tidak “diangkat “ nilainya. Maka akan membuat kesusahan, kesengsaraan bagi guru yang bersangkutan. Benarkah idealisme pendidikan harus dilakukan dengan cara-cara seperti ini?

Maka seringkali kita (pendidik dan orang tua) terjebak dan terbius nilai angka dari raport. Keraguan baru disadari dan terjadi saat hasil akhir dari nilai tinggi yang di dapat. Ternyata tidak secara langsung mampu meloloskan dan memudahkan dalam berkompetensi lanjutan.

Penyesalan yang datang terlambat. Intropeksi kembali bahwa pendidikan itu sebuah proses berkesinambungan. Kepandaian yang di dapat memang sebuah tahapan yang berdasarkan usia dan kemampuan. Namun bila sebuah “pemaksaan dan rekayasa” pastilah tidak menunjukkan kompetensi yang sebenarnya.

Oleh karena itu pemberian nilai KKM yang harus naik tiap tahunnya bagaikan jebakan dan pembiusan bagi stakeholder pendidikan. Sebuah ketidak sepadanan antara nilai tinggi yang di dapat dengan kualitas akademik kemampuan siswa. Karena memang nilai jelek sudah tidak akan ditemukan lagi. Maka sebuah anggapan pendidikan di Indonesia sudah membaik, namun senyatanya berbalik bahwa pendidikan Indonesia masih tertinggal kualitasnya dari negara tetangga sekalipun.

Sebab setiap evaluasi pendidikan masih banyak ditemui berbagai kecurangan, rekayasa baik dari siswa maupun guru yang “menyulap” nilai demi proses jalan pintas. Berarti angka nilai akhir dalam raport yang tinggi belum tentu sebagai nilai asli, karena hasil polesan yang dipaksakan. Refleksi dari Doni Koesoema (2006). Guru lebih segera menyadari diri sebagai aktor politik daripada menjadi pahlawan tanpa tanda jasa yang membuat lena atas kinerja politiknya. Begitu!

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMP Pangudi Luhur Domenico Savio Semarang)

No comments: