Sunday, May 19, 2019

Dugderan dan Hari Jadi ke 472 Kota Semarang

Opini, Tribun Jateng 14/5/2019

oleh FX Triyas Hadi Prihantoro

Tahun ini kegiatan dugderan (menjelang puasa) bersinergi dengan kegiatan hari jadi kota Semarang ke 472. Tradisi dugderan yang banyak mendatangkan pedagang (gerabah) dan puncak hari jadi kota Semarang dengan lomba tari Semarang hebat dan joget bareng goyang Semarangan. Kegiatan yang melibatkan ribuan siswa di hari Kamis (2/5/19). Kegiatan unik pertamakali ini akan melibatkan 14.000 penari dan diharapkan memperoleh rekor MURI (Musium Rekor Indonesia).

Duderan sendiri sebagai bagian budaya tradisi dan dapat dijadikan budaya lokal yang layak dilestarikan. Tarian joget bareng goyang semarang bentuk melestarikan tarian khas Semarang termasuk pakaian adat (baju) Semarangan lengkap. Untuk perempuan mengenakan baju encim warna putih bahwan kain batik semarangan selendang merah. Sedangkan untuk laki-laki diwajibkan mengenakan baju koko warna putih bawahan celana hitam dililit kain batik semarangan dan selendang merah (tribun jateng 28/4/19).

Maka butuh gerakan bersama sebagai bentuk aktualisasi keberagaman yang di dapat menjadi pandora pentingnya saling menghormati dan menjunjung tinggi multikutralisme yang harus dijaga dan dirawat. Menurut konsep relativitas budaya, tidak satupun budaya atau tradisi yang dapat dicap aneh, rendah, kuno, atau menjijikkan hanya karena ia berbeda dari apa yang kita miliki. Sebaliknya kita harus mampu dan bisa memahami suatu kebudayaan menurut konsep/nilai/simbol yang telah melekat pada kebudayaan itu sendiri (Robbins, 1997 & Whitten, 1976).

Tradisi dugderan muncul sejak tahun 1881 menjelang bulan puasa. Mengutip wikipedia, dugderan merupakan festival untuk menandai dimulainya ibadah puasa di bulan ramadhan yang diadakan di kota Semarang. Perayaan yang telah dimulai sejak masa kolonial ini dipusatkan di daerah Simpang Lima. Perayaan dibuka oleh walikota dan dimeriahkan oleh sejumlah mercon dan kembang api (nama "dugderan" merupakan onomotope dari suara letusan).

Maka butuh sinergi antara dua kegiatan budaya yang akan menyedot perhatian masyarakat. Bahwa joged bareng semarangan dan dugderan bisa berjalan dengan baik dan beriringan dalam upaya mengoptimalkan budaya khas Semarang. Oleh karena itu partisipasi dan dukungan stakeholder menjadikan kebutuhan bersama dan saling menguntungkan. Seperti halnya sekolah tempat penulis mengajar, baik guru, siswa dan orang tua bersibuk ria dalam menyiapkan kegiatan yang akan menyedot perhatian banyak pihak.

Begitu pula tradisi dugderan berubah menjadi budaya pasar tiban yang menjual berbagai pakaian, makanan, mainan tradisional anak-anak, patung-patung dari gerabah, celengan berupa warak dog (warak ngendok) sebagai salah satu ikon dugderan. Sejak tahun 2007 Pemkot Semarang sendiri mencanangkan warak menjadi ikon budaya kota Semarang. Hemat penulis penetapan sebagai wisata budaya tidak lepas dari ikon imajiner warak yang merupakan perpaduan budaya jawa, China dan Arab. Apalagi di tahun 2019 bersinergi dengan HUT ke 472 kota Semarang.

Heterogen


Warga Semarang merupakan masyarakat plural (heterogen) dengan saling menghormati keragaman budaya yang ada. Kota yang dihuni oleh multi etnik, ras, budaya, agama dan bahasa menandakan kehidupan multilkultural telah lama hidup berdampingan di kota Semarang. Azyumard Azra (2007) mengenai multikulturalisme adalah pandangan hidup yang mengedepankan kebersamaan atas asa perbedaan baik perbedaan politik sampai dengan perbedaan suku bangsa. Sedangkan bagi Clifford Gerts (1987) dalam masyarakat mulltikulturalisme merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-sub system yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub system terkait oleh ikatan ikatan primordial. Disini dugderan dan joget bareng semarangan sudah menjadi bagian budaya masyarakat kota Semarang yang multi etnik, yang tetap menjaga persatuan dan kesatuan.

Oleh karena itu penetapan Semarang sebagau kawasan heritage (pusaka) untuk mempertahankan identitas kota sangat mendukung sebagai bentuk wisata budaya. Ibaratnya sebuah pesona multikultural telah ada di kota Semarang, tinggal bagaimana merawat, mendayagunakan, mengoptimalkan kemudian “menjual” sebagai salah satu daya tarik kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara

Dugderan dan joget semarang sebagai satu sarana menuju optimalisasi wisata budaya harus dilaksanakan dengan sungguh sungguh. Dukungan stakehoder kota dengan menciptakan suasana kondusif, aman, nyaman, penuh keramahan dan kedamaian membuat pengunjung betah berlama-lama tinggal. Tinggal kolaborasi kegiatan pendukung (pameran benda seni budaya, aneka lomba, konser musik, festival warak, gelar budaya) menjadikan segala sinergi budaya lokal yang semakin memesona yang sayang untuk dilewatkan.

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMP PL Domsav)

No comments: