Wednesday, May 24, 2017

Uskup Agung dan Toleransi

Opini, SOLOPOS 19 Mei 2017

oleh FX Triyas Hadi Prihantoro

Umat Katolik wilayah Keuskupan Agung Semarang (KAS), segera mendapatkan seorang Uskup yang baru. Sosok itu adalah Mgr. Rubertus Rubiyatmoko, yang pada tanggal 4 Maret 2017 mendapatkan pesan singkat dari Nunsio Apostolik, Uskup Agung Antonio Filipazzi “ I need to meet you asap.” Semakin di mantapkan saat pertemuan langsung (10/3/17) ketika Nuncio mengatakan bahwa Bapa Suci Fransiskus telah memilih dan menunjuknya menjadi Uskup Agung Semarang.

Perlu diketahui bersama semenjak meninggalnya Mgr Yohanes Pudjosumarta tanggal 10 nopember 2015, tampuk pimpinan KAS kosong. Sebuah penantian yang panjang bagi umat KAS untuk mendapatkan Uskup yang baru, yang akan membawahi lebih dari 100 Paroki di wilayah Semarang, Kedu dan Yogyakarta. Saat itu langsung Mgr. Robertus Rubiyatmoko spontan menjawab “ Questo che io non voglio,” (ini yang saya tidak mau). Sebuah perasaan yang tercekam dan tidak mempunyai daya kekuatan.

Rasa dari seorang yang berjiwa rendah hati dan tidak haus kekuasaan. Karena pemimpin itu sebuah amanah bukanlah cita-cita karena harus mampu mengayomi, melindungi dan selalu bersama dengan umat (masyarakat). Seperti dikatakan Mgr. Robertus Rubiyatmoko tuntutan kecakapan seorang calon Uskup dapat di baca dalam Kitab Hukum Kanonik. (salam damai. 91)

Tertulis dalam Kanon 378 .1 khususnya nomer 1 dan 2 bahwa untuk kecakapan calon Uskup dituntut bahwa ia; pertama, uggul dalam iman yang teguh, moral yang baik, kesalehan, perhatian pada jiwa-jiwa (zelus animarum), kebijaksanaan, kearifan, dan keutamaan keutamaan manusiawi, serta meiliki sifat-sifat lain yang cocok untuk melaksanakan jabatan tersebut. Dan kedua mempunyai nama baik.

Melihat kepasrahan dari seorang pemimpin yang terpilih dan kesediaan melaksanakan tugas dengan pengabdian. Menunjukkan bahwa pemimpin yang baik idealnya tidak haus kekuasaan, karena amanah yang diberikan merupakan bentuk tanggung jawab yang dikembalikan kepada yang mengangkatnya. Seperti hanya yang dilakukan oleh Uskup baru KAS segera berdoa dan berdikresi di hadapan Tuhan Allah. Dilakukan dalam upaya merasa dikuatkan untuk menyerah dan berpasrah pada kehendak Tuhan.

Segera Mgr. Robertus Rubiyatmoko melakukan doa di kapel Nunciatura “ Tuhan, kalau engkau memang menghendaki hamba-Mu ini menjadi gembala umat-Mu, buatlah hambamu ini kebijaksanaan, kerendahan hati, dan semangat melayani demi keselamatan kawan-Mu.” Doa yang tulus demi tugas baru untuk upaya membawa umatnya kepada kebaikan yang lebih luas. Upaya pemantapan dari seorang pemimpin sebagai orang beriman yang pasrah dan taat kepada Tuhan yang memberi hidup.

Toleransi

Maka upaya penahbisan Uskup KAS bersama seluruh umat beriman Katolik di lapangan Bhayangkara Akpol semarang (19/5/17). Selain bentuk wujud syukur, juga upaya merentas dan menyemaikan toleransi dalam negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) supaya tidak terkoyak oleh upaya gerakan intoleransi yang ada. Seperti dikatakan oleh Administrator Diosesan KAS, FX Sukendar Wignyosumarto Pr., bahwa batas waktu pennahbisan paling lama tiga bulan setelah di umumkan. Selain itu saudara-saudari muslim yang pada sekitar akhir mei 2017 memasuki bulan suci ramadhan dan sesudahnya idul fitri. Bentuk penghormatan nyata bahwa saling menghormati dan menghargai harus saling dijaga. Apalagi pennahbisan Uskup seolah bentuk pengukuhan/pelantikan seorang pemimpin umat, maka juga butuh kepentingan umat agama lain.

Bentuk penghormatan melalui toleransi yang sejalan juga dengan Rencana Induk Keuskupan Agung Semarang (RIKAS) 2016-2035. Menjadi bingkai penggembalaan untuk mewujudkan dalam sikap dasar peduli, berbagi dan penuh kasih sayang bagi siapapun yang ada di sekitar kita sebagai teman peziarahan menuju kasih Bapa yang kekal. Hal ini semakin bersinergis dengan motto penggembalaan Uskup Agung Mgr. Robertus Rubiyatmoko “ Quarere et Salvum Facere,” yang berarti mencari dan menyelamatkan.

Seperti diungakpan oleh Romo Petrus Sunu Hardiyanto SJ., propincial Sarikat Yesus di Indonesia. Bahwa motto yang dipakai seolah berani “gupak lemah.” Karena sesuai dengan seruan dari Bapa Suci kepada seluruh Gereja untuk berani berpegang pada teladan Yesus sendiri yang selalu lembuh dan berbelas kasih kepada yang lemah. Umat KAS diajak menjadi pelopor untuk meneladan Yesus sendiri yang tidak suka menghakimi. Berari pula sebuah ajakan menjaga toleransi dalam kehidupan masyarakat majemuk pluralis.

Karena perdebatan mengenai pluralisme masih sangat krusial. Karena terkait dengan masalah teologis sebagai sesuatu hal penting dan sensitif. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan ada kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran kitab suci masing-masing agama selalu mengarahkan pemeluknya untuk meyakini bahwa hanya agama kita yang paling benar. Namun, dalam beberapa hal, kitab suci masing-masing agama secara tersirat menyatakan adanya ‘jalan lain’ di luar agamanya, yang bisa jadi merupakan jalan yang absah juga untuk dilalui dalam prosesi menuju Tuhan (Moch Shofan.2007)

Seorang tokoh pluralis kristen John Hick mengatakan, agama-agama tidak mungkin semuanya benar secara penuh; mungkin tidak ada yang benar secara penuh; mungkin semua adalah benar secara sebagian. Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan atau tidak adalah kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan kekudusan. Diantara kualitas-kualitas itu adalah: belas kasihan, kasih kepada semua manusia, kemurnian, kemurahan hati, kedamaian batin dan ketenangan, sukacita yang memancar.

Jadi pennahbisan Mgr. Robertus Rubyatmoko sebagai uskup Agung Semarang dapat menjadi momentum dalam kedamaian kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa budaya saling menghargai, mengasihi, menghormati dan tidak menghakimi dengan berdasarkan semangat kasih sebagai tanda umat yang beriman. Serta tetap menjunjung tinggi semboyan bhinneka Tunggal Ika ( berbeda-beda tetapi tetap satu juga). Semangat toleransi layak dijaga dan dilestarikan demi menjaga masyarakat adil yang makmur.

FX Triyas Hadi Prihantoro (umat katolik Keuskupan Agung Semarang)

Wednesday, May 17, 2017

Eligibilitas Ujian Nasional

Opini Koran Joglosemar, 17 Mei 2017

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro


Ujian Nasional semua jenjang (SMP/SMA/SMK) sudah berakhir. Namun menjelang pelaksanaanya berbagai persoalan, kritikan dan evaluasi bersliweran. Demikian halnya UN 2017 masih tidak luput dari pro dan kontra, meski sudah di moratorium. Eligibilitas (pengakuan) UN dipertaruhkan, yang tujuan awal untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang kalah jauh dengan negara-negara tetangga.

Yusuf Kalla sebagai penggagas pun memberikan alasan dan argumentasi. Sebab pada prinsipnya UN merupakan kebutuhan bersama baik orang tua, guru, Pemerintah dan peserta didik. Demi menumbuhkan generasi yang cerdas, berilmu dan dapat meningkatkan kemajuan bangsa. Namun sayangnya ketidakjujuran hampir selalu mewarnai dalam implementasinya.

Perlu kita apresiasi keputusan UN yang dilandasi kejujuran dalam implementasinya. Sebagai bentuk keprihatinan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy. Bahwa warga sekolah (guru, siswa dan orang tua) berani berkomitmen dalam pakta integritas mengakui keberhasilan belajar mengajar yang obyektif. Sebuah tanggung jawab untuk jujur dan tidak curang dalam achievenment test (apa yang telah dipelajari) dan abtitude test ( sikap / perilaku jujur) dalam UN baik Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dan Ujian Nasional Kertas dan Pensil (UNPK) 2017.

Kejujuran yang diharapkan akan sulit terealisasikan saat harus melaksanakan kejujuran terhadap diri sendiri. Pasalnya mental jujur akan terbentuk saat proses pembelajaran selama 3 (tiga) tahun disekolahnya. Banyak sekali aura kebohongan menjadi viral informasi di masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Maka ketika sekolah mengajarkan kejujuran kadang bertentangan dengan habitus (budaya). Kejujuran itu sendiri dilecehkan oleh masyarakat karena sudah menjadi bagian kehidupan massif.

Eligibilitas

Kejujuran memang menjadi nisbi (tidak jelas) karena pemujaan kepalsuan yang semakin parah. Nanti bisa kita lihat hasil UN saat diumumkan bahwa tingkat kelulusan hampir mencapai 100 persen untuk semua wilayah. Namun pelaksanaanya tidak diimbangi mental kejujuran dan kualitas. Sangat berbeda saat hasil nilai UN murni menjadi penentu kelulusan. Maka butuh dukungan dan apresiasai dari ancaman pemecatan dari Mendikbud bagi guru / sekolah yang diketahui melakukan kecurangan dan tidak jujur dalam UN.

Bagi mereka yang menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan berupaya melakukan berbagai cara termasuk curang (jujur ajur). Dengan argumentasi dan alasan masih timpangnya kesetaraan pendidikan karena masalah demografi (wlayah), sarana prasarana (teknologi informasi) dan akses komunikasi. Berefek kepada disparitas kualitas mutu pendidikan itu sendiri. Maka selalu "membawa" hasil keputusan Mahkamah Agung No 2596 K/PDT/2008 tentang melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN) dan MA menolak kasasi gugatan yang diajukan pemerintah.

Namun pernyataan tersebut diabaikan Pemerintah dengan tetap mengadakan UN meski tidak penentu. UN masih dibutuhkan ebagai evalusi tetap alat pemetaan yang efektif , karena parameter ujian akhir diserahkan sekolah (guru) toh kualitas guru secara nasional juga tidak merata. Disamping itu jelas nilai antar daerah berbeda mutunya. Menurut Yusuf Kalla, posisi mutu tingkat kelulusan tes masuk Universitas terbaik seperti UI, ITB, IPB dan UGM hanya dari daerah tertentu. Tantangan yang berat di praksis pendidikan untuk membumikan roh kejujuran dalam UN karena belum ketemunya “resep” pendidikan yang berkualitas dan bermutu.

Dengan demikian bagaimana dengan eligibilitas UN itu sendiri bagi masyarakat Indonesia ? Oleh karena itu dari hasil investigasi dari amburadulnya pelaksanaan dalam UN, Pemerintah (Presiden) butuh mengambil kebijakan tegas, beri sanksi yang salah tanpa pandang bulu bagi pelanggar UN.

Bertele-tele dan banyaknya pertimbangan semakin memperpuruk posisi UN di mata masyarakat. Pasalnya segala karut marut UN disebabkan banyaknya “oknum” yang bermain /curang, baik dari Pemerintah, penyelenggara, peserta didik itu sendiri dan pihak luar yang memanfaatkan UN.

Sebuah tuntutan fundamental segenap eleman bangsa agar dapat sejajar dengan bangsa lain. Meningkatkan mutu pendidikan sebagai kunci membuka Pandora ketertinggalan mutu. Namun sebuah pengingkaran saat pendidikan dipolitisasi oleh berbagai kepentingan. Hingga gagalnya kejujuran dalam UN di duga keras telah terjadi sabotase atau penyusupan “oknum”. Bagaimanapun UN butuh pengakuan bersama demi peningkatan kecerdasan , pengetahuan, akhlak mulia dan berkarakter. Semoga!

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)