Sunday, May 19, 2019

Bullying dan Keberadaban

Opini Kedaulatan Rakyat (15/4/19)

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Peristiwa pengeroyokan siswi SMP (Audrey) di Pontianak Kalimantan yang dilakukan oleh 12 siswi SMA (8/4/19) danmenjadi viral di media sosial. Bentuk keprihatinan bersama bagi stakeholder pendidikan. Sebuah aksi pengeroyokan tidak berperikemanusiaan dilakukan oleh para siswi yang identik dengan kaum feminim. Perubahan peradaban absurd dilakukan anak remaja (perempuan) yang mencoreng dunia pendidikan. Sebagai efek jera, banyak pihak meminta hukuman setimpal sesuai UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.

Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Segala perlakuan yang melanggar hak-hak anak, wajib diperjuangkan dan dilindungi sejalan dengan UU Perlindungan Anak.

Perlindungan anak

Laporan Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) bidang pendidikan, Retno Listyarti. Dalam keterangan tertulisnya (23/7/18) anak korban kekerasan dan bullying sebanyak 36 kasus (22,4 %) anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak 41 kasus (25,5%). Ratna Juwita, psikolog Universitas Indonesia kasus bullying yakni tindakan fisik, verbal maupun mental dan tahun 2008 di Yogyakarta bullying mencapai angka tertinggi, ditemukan 70,65 persen untuk SMP dan SMA. Ibarat sebuah kekerasan sudah menjadi hal yang biasa dalam bentuk apapun di sekolah.

Menjadi pertanyaan bersama, bagaimana mengatasi bullying yang kadang sudah menjadi habitus (budaya) siswa di sekolah? Apakah tata tertib sekolah sudah tidak ditakuti atau senior/guru, yang benar teledor dalam melaksanakan tugasnya melakukan pembimbingan dan pendampingan. Sehingga dengan bebasnya pelajar melakukan tindakan kekerasan tanpa ingat nasihat atau aturan tata tertib sekolahnya. Padahal mereka masih dalam pengawasan dan pembentukan karakter. Melakukan tindakan sewenang-wenang kepada sesamanya berarti melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),

Kekerasan biasa terjadi tidak hanya secara fisik namun juga bisa dalam bentuk verbal (ucapan), ejekan dan pengucilan. Bahkan di era digital,bullyimg bisa dilakukan lewat media sosial (medsos) dengan maraknya cyberbullying, baik dari kata-kata (status) maupun pelecehan lewat gambar ataupun foto. Berarti telah terjadi pelecehan peradaban yang tidak sesuai atau penyimbangan dengan budaya bangsa yang adiluhung.

Umumnya pelaku bullying merupakan senior yang menginginkan perhatian, impulsif , suka konfrontasi, egoistis, mencari perhatian sehingga menjadi troblemarker. Pelaku juga umumnya sosok yang kurang empati, suka mempertanyakan pihak otoritas, suka mencoba coba melanggar aturan, mengidolakan kekerasan dan memiliki kemampuan berbicara untuk membela diri dalam situasi yang sulit.

Namun yang menjadi persoalan terkini saat bullying di luar lingkungan persekolahan. Berarti pemangku kepentingan lembaga pendidikan tidak mampu mentransfer nilai nilai keberadaban kepada siswa/i nya. Padahal pemangku lembaga pendidijan seharusnya menjadi pusat pengembangan intelektual guna membangun karakter peserta didik. Meningkatnya jumlah kejadian kekerasan karena kesadaran masyarakat lebih tinggi dengan semakin banyak melakukan pelaporan atau mudahnya viral informasi kekerasan. Saatnya stop bullying dengan melakukan intropeksi bersama. Sebab bullyingkadang sudah menjadi bagian perubahan peradaban. Kata-kata, ungkapan yang menyakitkan dan merendahkan sekaligus mencerminkan sikap dan bias menjadi senjata yang mematikan dan merongrong harga diri dan kepercayaan diri dan menurut pengalaman bisa meningkat menjadi kekerasan. (Wessler 2003:18)

konsistensi

Melihat fenomena makin mudahnya terjadi kekerasan yang dilakukan siswa (senior ke yunior). Pendidik tidak boleh teledor dalam tugasnya mendidik, mengajar sehingga mampu meredam terjadinya kekerasan yang dianggap sesuatu yang wajar bagi anak remaja. Konflik sekecil apapun harus segera dicairkan/diselesaikan jangan sampai terlanjur muncul semangat arogansi. Sampai saat ini, pendidik masih menjadi sosok yang digugu dan ditiru. Figur yang berwibawa dan ditakuti siswa dan mampu menjadi penjaga keamanan dan keadilan di ruang pembelajaran. Riset membuktikan bahwa guru mempunyai pengaruh yang besar terhadap siswa, bahkan di sekolah-sekolah yang relatif tidak efektif (Marzano, Pickering & Pollock, 2001).

Maka senioritas dalam lembaga pendidikan, akan bisa diredam pengaruhnya, bila pendidik mampu melakukan regulasi. Sehingg tradisi kekerasan bisa ditekan sejak dini mulai dari sekolah sehingga terbangun insan beradab.

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMP Pangudi Luhur Domenico Savio Semarang)

No comments: