Sunday, April 09, 2017

Sekali lagi tentang Full Day School

Kolom Jeda, harian SOLOPOS 9/4/17

oleh : FX Triyas Hadi prihantoro

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy menyatakan sejak pertengahan tahun 2016 telah menerapkan Full Day School (FDS). Untuk tahun ajaran baru (2017), sebanyak 5.000 – 10.000 sekolah negeri dan swasta mendaftarkan FDS padahal pagu yang ditetapkan hanya 1.200 – 1.500 sekolah (Solopos 20/3/17).

FDS sempat membuat pro dan kontra dari tokoh masyarakat mapun pejabat publik. Ide ini seolah hanya berpihak kepada masyarakat perkotaan tanpa melihat elemen lain. Alasan utama sebagai solusi atas lingkungan pergaulan yang negatif, penanaman karakter dan pengasuhan bagi orang tua yang keduanya bekerja.

Berdasarkan Data dari Badan Pusat Statistik di lapangan mengenai pekerjaan. Februari 2010, dari 107,41 juta orang yang bekerja, sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 persen).

Melihat angka pekerjaan penduduk Indonesia, berarti hanya 14,54 persen orang Indonesia bekerja di kantor (pemerintah/Swasta). Dengan demikian asumsi dari adanya full day school, asas pemanfaatanya belum holistik, masih berpihak pada golongan tertentu . Pernyataan Mendikbud, full day school hanya sekedar gagasan, berarti masih ada peluang untuk saling mengkaji.

Pada prinsipnya orang tua manapun akan memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Maka jangan heran bila sekolah menawarkan program sekolah “ unggulan,” full day school dengan hasil yang membanggakan. Tingkat kepercayaan semakin tinggi maka animo masyarakat juga banyak.

terobosan

Sistem FDS sudah bukan hal yang asing bagi sekolah di perkotaan. Sebuah terobosan yang banyak diminati orang stakeholder pendidikan, khususnya kebutuhan orang tua yang keduanya bekerja. Karena merasa aman dan nyaman “menitipkan” anaknya di sekolah. Percaya akan pendampingan dan pembimbingan dengan kurikulum yang sudah teruji.

Pasangan “professional,” yang waktunya habis di kantor merasa banyak diutungkan. Bahkan sebelum anaknya masuk Sekolah Dasar (SD) sebenarnya sudah terbiasa di tempat penitipan anak (TPA), play group atau lembaga yang sejenis. Sehingga para siswa ini sudah akarab dengan sistem sekolah sehari penuh. Lalu bagaimana dengan mereka yang terbiasa didampingi dan bersama dengan orang tua dalam kesehariannya.

Dalam hal safety ( keamanan ), full day school sebuah kebutuhan. Karena kemajuan jaman dan teknologi, kejahatan dengan sasaran anak sudah massif didengar. Berkaitan banyaknya kejahatan, penculikan dengan tebusan, perkosaan ulah para pedofil dan pembunuhan, bentuk kekhawatiran bagi orang tua bekerja.

Namun demikian banyak hal yang layak menjadi kajian. Sebab sebagian besar orang tua (masyarakat) hidup di pedesaan. Maka sistem full day school kurang efektif bila diterapkan. Anak-anak sekolah di pedesaan, sepulang sekolah banyak yang membantu pekerjaan orang tuanya. Bahkan kadang manjadi tulang punggung keluarga. Untuk menerapkan sistem ini pun perlu menyiapkan situasi lingkungan sekolah yang kondusif. Baik dari fasilitas pendukung yang representatif, kurikulum, silabus, infrastruktur, serta sumber daya (pendidikan) yang berkualitas serta kesiapan psikis dan fisik siswa. Guru mempunyai peran ganda dan mumpuni segala bidang. Semuanya butuh biaya yang tidak ringan.

Siswa bisa menjadi korban karena merasa terpenjarakan. Karena waktu lebih banyak di lingkungan sekolah maka menjadi antisocial, menjadi manusia “robot,” dengan sikap dan perbuatan sesuai aturan baku akhirnya berproses menjadi dehumanisasi. Maka orang tua dan masyarakat akan sulit untuk ikut ambil bagian (tereduksi) dalam membangun karakter sesuai keinginan. Mereka lebih tunduk, taat dan takut pada perintah guru.

Oleh karena itu, bila FDS di implementasikan, untuk kepentingan siapa. Apakah melanggengkan budaya ganti menteri ganti kebijakan, atau gebrakan baru sang Menteri agar mendapatkan perhatian publik. Sebab saat Presiden Jokowi mereshuflle Mendikbud sudah sangat menyita perhatian stakeholder pendidikan.

Prinsipnya full day school memang cocok bagi sekolah perkotaan, yang sudah menyiapkan segala infrastrukur yang dibutuhkan. Hal mustahil diterapkan di wilayah pelosok dengan keterbatasan sumber daya manusia, transportasi, sarana, dan prasarana sekolah. Belum lagi masih banyak ditemukan sekolah yang rusak dan hanya diampu satu atau dua orang guru saja. Program yang bagus pada tataran gagasan/ ide belum tentu tepat secara empiris. Maka sebelum secara massif diterapkan, gagasan FDS layak dikritisi dan disiapkan dengan baik. Begitu!

FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)

No comments: