Wednesday, December 14, 2016

Reformasi (Mental) UN

OPINI, Harian Joglosemar 14 Desember 2016

oleh : FX Triyas Hadi prihantoro

Pasca ditolaknya usulan dari Menteri Pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mengenai moratorium Ujian Nasional (UN) 2017. Moratorium sebagai tindak lanjut memenuhi persyaratan berdasar dari putusan Mahkamah Agung (MA) tahun 2009 agar memenuhi standar pelayanan, kualitas guru, serta infrastruktur sekolah.

Dengan demikian dalam menyiapkan UN 2017 dibutuhkan reformasi mental UN itu sendiri. Sebagai bentuk evaluasi dan pembaruan sistem, cara, metode dari UN. Pasalnya pemerintah masih menganggap UN tetap di butuhkan untuk mengevaluasi standar disasi mutu pendidikan nasional dan memastikan kesungguhan siswa belajar. Kemungkinan penolakan moratorium juga karena belum ditemukannya cara assessment (penilaian) mutu selain UN. Seolah hanya pengalihan wewenang dan pengalihan tanggung jawab dan mutu pendidikan itu sendiri. Padahal selama ini UN sudah mengalami evaluasi. Namun kenyataanya kebijakan proses dan hasil UN belum mampu merubah mental peserta, orang tua dan pendidik. Mental kurang percaya diri, sehingga UN yang tidak lagi menjadi penentu kelulusan sejak tahun 2015, tetap tidak bersih dari kejujuran. Inilah salah satu alasan Mendikbud untuk melakukan moratorium, selain tingkat keberhasilan UN secara nasional hanya 30 persen saja.

UN sebagai alat mengukur mutu pendidikan secara kognitif, hasilnya masih juga mengecewakan. Selama 15 tahun sejak UN digulirkan pada tahun 2005, mutu pendidikan kita masih rendah dibandingkan negara lain. Terbukti dari hasil studi Program for International Student Assessment (PISA) yang menguji kemampuan siswa usia 15 tahun di bidang bahasa, matematika, dan IPA, Indonesia berada di peringkat 39 dari 41 negara pada 2000 dan di posisi 69 dari 76 negara pada 2015.

mental

Dibutuhkan reformasi mental UN , yang masih belum mampu membuka mata hati pelaku pendidikan. Dapat diartikan, sepanjang UN masih dipakai sebagai parameter selain pemetaan, potensi kecurangan akan tetap terjadi. Karena siswa dan orang tua tetap menginginkan bisa masuk ke PTN favorit. Mengubah maindside (pola pikir), butuh semangat dan kesadaran kolektif.

Mahatma Gandi mengatakan, “Segala sesuatunya tergantung pada mental atau karakter”. Mau maju atau mundur, mau berhasil atau gagal, dan sejenisnya “lose or win” tergantung pada mental. John P. Kotter dan Dan S. Cohen (2014) dalam bukunya “The Heart of Change” menyatakan hal yang sama bahwa jantung perubahan bukan berada dalam pikiran, melainkan pada mental, yakni: “Sikap atau Perasaan”, seperti dikutip Aswandi (2015).

Demi sebuah prestise, label “sekolah bermutu”, kepercayaan (trust) dari masyarakat tumbuh. Merupakan simulakra (pencitraan yang mengaburkan kenyataan) dari sebuah sekolah. Berbagai kecurangan yang masih terjadi, dibutuhkan reformasi mental. Karena sekolah tidak lagi menjadi tempat proses pembentukan pribadi namun hanya sebagai “proyek”.

Anomali dunia pendidikan sudah terang-terangan. Kompetensi sehat mutu pendidikan tidak berjalan semestinya. Apa gunanya proses pembelajaran di kelas selama tiga tahun dengan segala bentuk pesan dan keteladanan dari guru, bila akhirnya saat UN masih tidak jujur. Namun reformasi mental dapat dilakukan dengan format baru.

Hakikat pendidikan sebagai proses terabaikan. Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diiri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara tidak ada artinya.

Mantan Mendikbud, Anies Bawesdan, pada pengantar buku “Kilas Kinerja Pendidikan dan Kebudayaan” (2015) mengemukakan 7 (tujuh) upaya revolusi mental bidang pendidikan; yakni: (1) mengubah paradigma pendidikan “berdaya saing” menjadi pendidikan “mandiri dan berkepribadian”; (2) merancang kurikulum berbasis karakter dari kearifan lokal serta vokasi yang beragam berdasakan kebutuhan geografis daerah dan bakat anak; (3) menciptakan proses belajar yang menumbuhkan kemauan belajar dari dalam diri anak; (4) memberi kepercayaan penuh pada guru untuk mengelola suasana dan proses belajar pada anak; (5) memberdayakan orang tua untuk terlibat pada proses tumbuh kembang anak; (6) membantu kepala sekolah untuk menjadi pemimpin yang melayani warga sekolah, dan; (7) menyederhanakan birokrasi dan regulasi pendidikan ketimbang pendampingan dan pengawasan.

Reformasi

Penulis berpendapat upaya moratorium UN perlu diapresiasi oleh Kemendikbud dan ditindak lanjuti melalui reformasi UN. Perubahan kurikulum harus diikuti oleh reformasi pengembangan guru dan mental peserta didik. Pengembangan guru saat ini menggunakan pendekatan top down. Guru dievaluasi melalui ujian daring atau sertifikasi saja yang hasilnya tidak berpengaruh bagi pembelajaran di kelas. Peserta didik tidak melulu menerima (top down) apa yang di berikan guru, namun butuh reformasi dan revolusi mental. Pendekatan menggunakan pembelajaran praktis dan dipraktikkan di tingkat kelas ataupun sekolah akan lebih bermakna bagi guru dan peserta didik di kelas .

Kepala Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten melalui monitoring pengawasnya perlu memberikan tindakan/sanksi tegas. Pembinaan dan pengawasan secara kontinue perlu dilakukan. Karena sekolah bukan tempat untuk memperoleh angka namun sebuah proses pembelajaran menuju hasil yang berkualitas secara intelektual, kecerdasan maupun manusia berakhlak. Asas keadilan perlu ditegakkan.

Pasca ditolaknya moratorium UN. Stakeholders sekolah perlu menyadari bahwa mutu sekolah tidak hanya diukur dengan kelulusan UN seratus prosen. Harapannya kompetensi mutu pendidikan benar-benar menunjukkan kualitas dan UN bukan alat ukur satu-satunya. Reformasi mental UN haruslah utuh agar berdampak pada proses pembelajaran yang menyenangkan dan penciptaan iklim belajar atau ekosistem sekolah yang kondusif dan berkualitas. Semoga.



FX Triyas Hadi Prihantoro (Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)

No comments: