Friday, December 16, 2016

Eksistensi UN

OPINI, Kedaulatan Rakyat 15 Desember 2016

oleh: FX Triyas Hadi Prihantoro

Ujian nasional (UN) akhirnya tidak jadi di moratorium. Pelaksanaan UN sendiri diatur dalam PP Nomor 13 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagai pemetaan mutu pendidikan. Gamangnya kepastian UN 2017 terjawab sudah, karena tetap dilaksanakan dan pemerintah akan tetap mengevaluasi penyelenggaraannya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy sendiri menyatakan bahwa ada 3(tiga) opsi yang disaiapkan berkaitan dengan UN. Yaitu penghapusan UN, moratorium UN tahun 2017 dan penyerahan pelaksanaan UN kepada Pemerintah Daerah. Dan UN tidak lagi menentukan kelulusan tetapi lebih berfungsi meematakan kondisi pendidikan.

Lalu, bagaimana parameter baku yang menjadi ukuran kualitas secara komprehensif ? Meski tidak untuk menentukan kelulusan, ada kebijakan ujian ulang bagi yang belum puas akan hasil nilai UN? Maka dibutuhkan komitmen bersama antar daerah dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui UN. Dan pemerintah daerah wajib bekerja keras guna memperbaiki kualitas pendidikan di wilayahnya. Sehingga eksistensi UN dapat dirasakan secara holistic, sehingga tidak terjadi disparitas pendidikan itu sendiri.

Pertimbangan

Pada pasal 68 PP No. 13 tahun 2015, bahwa hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk tiga hal, yaitu pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Di sinilah telah terjadi distorsi penafsiran makna kata ujian yang seharusnya examination Ujian, bukan bentuk evaluation (menilai akhir) apa yang sudah dilakukan oleh sekolah.

Sebagai sebuah examination, parameternya jelas, yakni ketercapaian standar kompetensi yang dipatok dalam kurikulum tiap mata pelajaran. Kalau memang tidak hendak mengukur capaian hasil belajar, akan lebih baik bila labelnya bukan ujian nasional, tetapi ujian pemetaan atau yang lain. Dan, itu dapat dilakukan kapan pun, tidak harus pada akhir termin jenjang pendidikan (wiyaka.2016).

Sudah dua tahun penentu kelulusan siswa sepenuhnya ditentukan oleh sekolah. UN sebagai pemetaan tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), seperti dalam Pasal 58 UU Sisdiknas yang menjelaskan, penilaian peserta didik menjadi kewenangan pendidik (guru) dan satuan pendidikan (sekolah).

Meski perubahan kebijakan namun eksistensi UN ternyata masih penting. UN sebagai evaluasi meski secara implisit sebagai pemetaan kualitas pendidikan. Sebagai dasar legalitas yang tertulis dalam UU Sisdiknas. Tes UN merupakan achievement yang mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran sedang tes PTN merupakan predictive test, mengukur kemampuan calon menjalani proses pendidikan.

Meski sekolah diberi tanggung jawab berkenaan dengan kelulusan. Namun sekolah diharapkan tidak melakukan segala “rekayasa” nilai guna mengatrol ambang batas minimal nilai dalam menentukan kelulusan. Bila sekolah melakukan rekayasa nilai sedemikian rupa. Sekolah bisa merasa dipermalukan oleh data yang ada. Pasalnya sangat jelas dan gamblang berdasarkan data, bahwa unsur rekayasa nilai sangat jelas dalam menentukan nilai mata pelajaran yang diUNkan. UN menjadi satu kesatuan baik sebagai pemetaan, seleksi kelulusan, maupun pembinaan untuk meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana tercantum dalam pasal 58 UU Sisdiknas.

Evaluasi

Sistem evaluasi dan kelulusan ditentukan oleh sekolah terjabarkan dalam Pasal 58 ayat 1 bahwa Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Ayat 2, Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Oleh karena itu pola pikir yang sudah menjadi paradigma UN yang pragmatis bercampur aduk dengan evaluasi pendidikan itu sendiri dapat menjadi pembuka pemikiran baru pascaditolaknya moratorium. Maka UN sebagai evaluasi secara holistik dalam konteks standarisasi kurikulum bisa menjadi parameter evaluasi pendidikan.

penulis: Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

No comments: