Friday, September 16, 2016

Mencegah Aksi Intoleransi

OPINI, Jogolosemar 14/9/16

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Peristiwa pembubaran Misa Arwah peringatan 1000 hari di pendapa kelurahan penumping Surakarta oleh kelompok tertentu (Tribunnews 7/9/16). Cukup menghentakkan lamunan harapan keharmonisan hidup dalam bermasyarakat. Seperti halnya peristiwa upaya seorang Pemuda yang hendak melakukan aksi bom bunuh diri di Gereja Katolik Medan (28/8/16). Bentuk aplikasi pemahaman sempit beragama . Kejadian yang membuat keresahan dan menodai toleransi beragama yang terus dibangun oleh Negara.

Berdasarkan laporan Wahid Institute Sepanjang 2015 tercatat 190 peristiwa pelanggaran (intoleransi) kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dengan 249 jumlah tindakan. Dari total 190 peristiwa pelanggaran, ada 47 pelanggaran KBB yang terjadi di wilayah Jawa Barat (Jabar) sepanjang 2015. Pelanggaran terbanyak adalah mengenai pelarangan beribadah dan penyegelan tempat ibadah. Berarti menjadi penambahan poin berkenaan intoleransi.

Menurut Hendardi (2016) bahwa intoleransi merupakan awal mula dari terorisme sementara terorisme merupakan puncak dari intoleransi. Memelihara dan membiarkan intoleransi sesungguhnya sama dengan merawat dan memelihara bibit-bibit terorisme secara perlahan. Maka bersama mencegah menjadi kewajiban dan tanggung jawab semua warga Negara. Masyarakat wajib bekerja sama menjaga kerukunan dan kehidupan harmonis wilayahnya.

Padahal tahun 2013, Indonesia pernah mendapatkan penghargaan dari organisasi lintas keyakinan World Statesman Award dari organisasi Appeal of Conscience Foundation (ACF) yang bermarkas di New York, Amerika Serikat. Setiap tahunnya, ACF memberi penghargaan ini kepada pemimpin dunia yang mendukung misi yayasan ini untuk menggalang toleransi beragama dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

Dan masih lekat dalam ingatan kita, perjuangan tanpa henti dari tokoh nasional sejati (negarawan), Taufiq Kiemas. Dengan semangat, kerja keras dan intensitas membara tanpa henti berupaya membumikan empat pilar kebangsaan dan kenegaraan demi rasa bangga sebagai bangsa Indonesia.

Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan pilar (penyangga) yang selalu diperjuangkan. Demi tetap tegaknya negara RI. Sebab rentannya perpecahan diakibatkan sempitnya pemahaman perbedaan suku, agama, ras, golongan dan aliran. Masyarakat yang menjunjung tinggi keberagaman dan pluralitas.

Mencegah

Menjaga negara RI tetap utuh dengan mengupayakan kerukunan hidup beragama, menjadi pemikiran kedepan bagi elemen bangsa yang berjiwa nasionalis sejati. Oleh karena itu untuk mempertahakan Negara Integralistik yang menghargai multikulturaliems perpecahan karena agama harus dicegah. Dengan pembinaan dan upaya menanamkan nilai pluralism/ keberagaman sebagai kenyataan.

Sebuah kegiatan positif perlu disosialisasikan sejak dini. Khususnya sasaran untuk kaum muda yang menjadi generasi penerus. Demi kokoh, kuatnya semangat nasionalisme dan patriotisme berbangsa dan bernegara Indonesia. sudah jamak diketahui bersama bahwa jaminan kebebasan memeluk agama sebuah harga mati dan bentuk perlindungan bagi warga negara di negara pluralis seperti Indonesia (pasal 29 ayat 2 UUD 1945)

Benni Susetyo (2016) menilai bahwa kesadaran masyarakat masih banyak kepalsuan. Dipermukaan sering dipertontonkan sikap kerukunan (bergandengan tangan dan deklarasi) namun di dalam hati malah anti kemajemukan. Maka perlu penumbuhan kesadaran sejati untuk hidup rukun saling menghormati dan menghargai. Kerukunan janganlah lips service belaka, butuh aktualisasi nyata.

Sebab saat ini kaum muda mudah terbawa arus pengaruh negatif khususnya tindakan destrusif dan anarkhis. Apalagi banyak ditenggarai kaum muda gampang kepincut gerakan sparatis dan terorisme yang bertentangan dengan nilai penghormatan pada keberagaman yang berBhinneka Tunggal Ika. Lihatlah dalam berbagai pemberitaan, pelaku bom bunuh diri di dominasi kaum muda.

Upaya meredam konflik dengan latar belakang agama sudah diupayakan oleh Negara. Mulai dari penumbuhan budi pekerti (PBP) di sekolah mulai tahun ajaran 2015-2016. Keteladanan pemimpin (meski hanya seremonial), aksi sosial kemasyarakatan dan bentuk ikatan organisasi lokal dan nasional lainnya.

Dalam upaya mencegah intoleransi Pemerintah memberi payung hukum guna kehidupan bersama dalam sebuah kerukunan hidup beragama. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat.

Tujuan ideal agar umat saling memahami, menghormati, menghargai satu sama lain bersifat nisbi. Situasi kadang menuntut kedamaian boleh dikorbankan untuk menegakkan kebenaran. Manusia harus menganut keyakinan dan beriman, namun kadangkala muncul penafsiran keyakinan (agama) dan iman yang benar adalah satu yaitu agama dan iman yang dianut mereka.

Sikap dan perilaku intoleransi, terjadi karena Negara gagal mengangkat keterpurukan bangsa ini dari kemiskinan, kebodohan, banyaknya pengangguran dan memberi rasa keadilan. Begitu pula kadangkala Aparat berlebihan (represif) dalam bertindak sehingga membuat masyarakat dalam situasi patologis dan Frustrasi.

Situasi absurd masyarakat semakin dipertegas oleh pemahaman sepotong dari ajaran ideologis. Hingga terjadi bukan perilaku santun, hormat menghormati, toleransi tetapi sebuah kekerasan dan intoleran. Gerakan penghayatan dan pengamalan diintensifkan dalam menghargai, menghormati, berempati, bersosialiasi bersama liyan sebagai saudara.

Oleh karena itu dibutuhkan landasan agar hubungan tetap harmonis diantara manusia dengan Tri Hita Karana yaitu Hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, hubungan harmonis manusia dengan sesama, dan hubungan harmonis manusia dengan lingkungan. (I Gusti Made Putra Kusuma.2007).

“Hidup bersama” yang damai, intensitas komunikasi sebagai partisipasi mencegah konflik. Dengan memanusiakan segala elemen yang ada menjadikan sesama liyan merasa diuwongke sehingga tidak ada rasa iri dan kecewa. Kesadaran dan keterbukaan hati guna mencegah intoleransi massif, menjadi alur rasa empati antar sesama. Marilah kita budayakan hidup dalam semangat kasih Semoga.

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

No comments: