Thursday, August 20, 2015

Menyorot 14 kali gaji PNS

OPINI Harian Joglosemar 20 Agustus 2015

oleh : FX Triyas hadi Prihantoro

Dalam pidato kenegaraan (14/8) Presiden Joko Widodo memberikan angin segar kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan pemberikan Tunjangan Hari Raya (THR). Menurut Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro pada tahun 2016 PNS akan mendapatkan 14 kali gaji. Merupakan berita baru pemberian THR tahun 2016 dan wajib disoroti serta dikritisi. Karena menurut Menkeu pemberian THR kalau dihitung hitung kenaikannya lebih besar daripada inflasi. Seolah Pemerintah lupa bahwa pegawai swasta/ buruh lain kadang tidak mendapatkan THR, apalagi gaji ke-13 yang juga selalu didapatkan oleh PNS.

Padahal kenaikan gaji PNS setiap tahun selalu memunculkan kecemburuan sosial. Menimbulkan berbagai pertanyaan bagi masyarakat umum. Sejauh mana peningkatan kinerja yang telah dilakukan di tengah masih banyak kasus pelanggaran, penyimpangan, korupsi yang dilakukan oleh PNS dengan semangat kinerjanya yang masih meragukan.

Berita naiknya gaji PNS selalu diumumkan oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kenaikan gaji PNS sebagai bentuk supaya inflasi tidak makin berat. Meki secara generalis kenaikan gaji kadang tidak berlaku bagi semua golongan, namun kenaikan ini semakin menyisakan kecemburuan bagi kaum buruh dan masyarakat biasa. Semakin menodai amanat hati nurani rakyat.

Kenaikan gaji PNS, ditengah tuntutan kaum buruh untuk memperjuangkan hak-haknya. Denganmelakukan demonstrasi guna memperjuangkan kenaikan gaji dengan meminta menaikkan Upah Minumum Regional (UMR). Perjuangan yang dilakukan demi mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tidak seimbang dengan penghasilan.

Ironis sekali bila tahun 2016 nanti PNS mendapatkan THR. Menjadikan kenaikan gaji semakin berlipat, tentunya tuntutan kinerja harus teruji dan berkualitas. Sayang bila 14 kali gaji namun kinerjanya tidak semakin membaik, namun malah sebaliknya.

Kepedulian

Namun Pemerintah seolah tidak memiliki kepedulian dan mendengar rintihannya dan selalu memberikan “kado” kepada PNS. Alibi yang diungkapkan Pemerintah, alokasi kenaikan gaji dengan alasan target pertumbuhan itu ditentukan dengan asumsi kondisi ekonomi global lebih baik. Serta sudah tercantum dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Ironis sekali di tengah kinerja PNS yang masih layak dipertanyakan.

Begitu nikmat, nyaman dan damainya menjadi PNS. Jangan heran berbagai cara upaya dilakukan warga untuk menjadi salah satu bagian di dalamnya. Pembentukan mental bangsa yang sistematis karena kemanjaan akan jaminan masa depan bagi warga yang berstatus PNS selalu diberikan Negara. Pengabaian hak warga Negara lain dengan menghabiskan anggaran Negara hanya untuk memberikan dana belanja kepada kelompok birokrasi dan PNS.

Seharusnya sebagai abdi Negara menjadi PNs menjadikan budaya kerja keras, inovatif. Bukan lagi pegawai yang lembek dan malas karena PNS seharusnya menjadi label bangsa untuk mampu bersaing dengan bangsa lain. Sikap ini dapat menempa dari segala cobaan, kegagalan untuk meraih sukses dan menyejajarkan dalam percaturan ekonomi dunia.

Anomali

Sayangnya harapan tersebut sekan menjadi anomali dari realitas. Seperti dilansir oleh Badan Kepegawaian Negara ada 3, 5 juta PNS pada tahun 2004 dengan beban gaji Rp. 54 triliun.Ada 4,4 juta PNS pada tahun 2010 dengan beban gaji Rp. 162 triliun. Begitu pula dalam RAPBD 2011 propinisi Jawa Tengah bahwa 60 persen anggaran untuk belanja Negara. Menunjukkan 60.6 persen anggaran dari Rp. 5,7 triliun terserap untuk belanja dan pembiayaan aparatur pegawai.

Kasat mata dari RAPBD, melukai hati nurani rakyat. Pasalnya pundi-pundi keuangan Negara mayoritas di dapat dari pajak namun rakyat (non PNS) seolah di anaktirikan dalam mendapatkan jatah. Jelas sekali tuntutan kinerja PNS harusnya lebih optimal dengan selalu dijadikan oleh Pemerintah sebagai warga Negara yang dimanjakan.

Perencanaan yang tidak memihah kepada rakyat dapat menjadikan “kemurkaan”. Bentuk diskrimasi pembiayaan yang tinggi kepada PNS merupakan bentuk diskriminasi kepada warga yang hanya mampu bekerja di sektor lain (buruh pabrik, pekerja serabutan, petani, peternak, pedagang, nelayan).

Melihat ketidak seimbangan dalam perencanaan anggaran yang dibebankan dengan alokasi yang diberikan kepada PNS. Alhasil upaya menggenjot kemandirian bangsa jauh dari harapan. Patronase dalam upaya menjadi abdi Negara (PNS) menjadikan tujuan hidup. Kehendak menjadi bangsa yang mandiri dan berdedikasai dengan menciptakan segala inovasi akan mandeg di tengah jalan.

Semakin gencar tuntutan dari Pemerintah untuk menjadikan bangsa yang mandiri namun tanpa dukungan pembagian anggaran yang adil, merupakan gerakan utopis. Era transparansi menjadikan eleman bangsa dapat mengoreksi dan menilai kinerja aparat.

Oleh karena itu sebuah kebjiakan menjadikan benang merah dari segala tujuan. Saat warga masyarakat mengetahui adanya ketidak adilan dalam pembagian “kue” anggaran belanja Negara. Rasa malas, iri dan kecemburuan sosial semakin tinggi. Perasaan kerja keras guna “membangun” Negara sesuai kemampuannya tidak mendapatkan respon dan penghargaan semestinya bagi warga Negara lain (non PNS)

Justru kemanjaan selalu diberikan kepada PNS yang kinerja dan tanggung jawabnya dipertanyakan. Menjadi maghfum bila PNS bisa diakronimkan menjadi “Pekerja Nan Santai”. Pekerjaan yang dilakukan tidak menjadi beban karena tanpa target. Tanpa punishmen (hukuman) yang keras seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PKH) saat ketahuan membolos atau melakukan kesalahan fatal lain. Toh hanya mutasi atau rolling (tukar) jabatan.

Daya saing dalam PNS umunya hanya soal perebutan akan jabatan strategis dengan tolok ukur (usia), golongan kepangkatan bahkan kadang menghalalkan sebaga cara (saling sikut). Sering melibatkan pakar supranatural (dukun) untuk memuluskan harapannya. Beda dengan Pegawai Swasta yang penilaian lebih menekankan pada kualitas kerja, dedikasi, inovasi dan prestasi.

Banyaknya jaminan ekonomi dan sosial dari Negara terhadap PNS menjadikan bentuk pemujaan yang berlebihan. Anggapan PNS lebih bermartabat, harkat dan derajatnya. Masyarakat akan tetap selalu berlomba untuk menjadi PNS sampai batas kriteria yang ditetapkan tidak terlampaui.

Hakekatnya Pemerintah Janganlah semakin membuka jurang pemisah yang dalam dengan pemberian anggaran berlebih kepada PNS. Harus dilakukan pula reward (penghargaan) masif, terintegrasi, terstruktur , bebas Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) antara kinerja dan prestasi. Karena sampai saat ini naiknya THR dan gaji belum berbanding lurus dengan kinerjanya. Begitu.

No comments: