Saturday, July 25, 2015

Politik Uang dalam PPDB

Suara Guru, SUARA MERDEKA, 25 Juli 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Tidak dimungkiri bagi sekolah dari tingkat PAUD, TK, SD, SMP dan SMAsederajat, pemenuhan jumlah peserta didik menjadi tujuan utama agar sekolah tetap ”hidup” demi menjalankan aktivitasnya.

Dan proses kompetensi, persaingan dalam pemenuhan kuota dilakukan setiap proses penerimaan peserta didik baru (PPDB). Bagi sekolah swasta meski sudah diawali jauh-jauh hari (pada awal Januari) dalam penjaringan PPDB melalui publikasi spanduk, media sosial dan cara lain. Kadang belum juga menorehkan hasil yang memuaskan, meski dengan berbagai propaganda kemudahan, dan rayuan ”hadiah” yang menggiurkan.

Untuk sekolah negeri, pada umumnya harus mengikuti petunjuk dan surat dari dinas pendidikan masing-masing daerah. Mencuri start dipastikan akan dikenai sanksi tegas, karena semua dana operasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Maka jarang muncul kekhawatiran bagi pengelola. Jika kekurangan peserta didik, akan digabungkan dan pendidiknya disebar kembali ke sekolah yang membutuhkan.

Khusus sekolah swasta, mengapa pemenuhan jumlah peserta didik menjadi harga mati bagi sekolah? Hal tersebut tidak lepas dari program bantuan bagi lembaga pendidikan melalui bantuan opersaional sekolah (BOS) dan program tunjangan sertifikasi bagi para pendidiknya.

Maka tidak heran, berjuang sampai ”nggetih” atau berdarahdarah dilakukan warga sekolah untuk mendapatkan peserta didik. Bahkan kadang dilakukan dengan cara tidak terpuji dengan politik uang. Dan fenomena ini secara kasat mata sudah terjadi, sebuah cara kompetitif yang tidak sehat dalam pendidikan.

Peran Pemerintah

Politik uang PPDB inilah yang sekarang kelihatan mulai menggejala. Janji bebas uang gedung, uang sekolah, dapat seragam gratis bahkan orang tua siswa diberi bonus uang segar menjadi fenomena sekolah di pinggiran. Harapannya jelas agar sekolah dapat hidup, bantuan mengalir dan tunjangan bagi pendidikan tetap lancar.

Melihat fenomena yang terjadi saat ini, peran pemerintah sangat besar guna menengahi demi rasa keadilan atas kesenjangan dan persaingan yang tidak sehat. Seperti informasi yang penulis dapatkan saat bertemu beberapa teman guru dan anggota komite sekolah, dalam suatu acara di libur Lebaran kemarin. Bahwa di sekolahnya ada beberapa siswa eksodus (berpindah) karena di sekolah baru akan mendapatkan banyak fasilitas yang (lebih) baik. Bahkan dapat bonus dana segar, sungguh ironis persaingan yang sangat tidak sehat.

Persaingan bukan lagi pada ranah kognitif, afektif maupun sikap demi pendidikan karakter. Namun sudah mengarah legalisasi perilaku budaya koruptif yang sedang menjadi ”momok” bangsa ini. Mau dibawa ke mana pendidikan kita bila melihat fenomena ini, maka peran Pemerintah sebagai fasilitator, motivator dan eksekutor ditunggu secara arif bijaksana

Seperti diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 10 tertulis bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gejala tidak sehat wajib dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) demi mengeleminasi keresahan yang terjadi dalam masyarakat.

Maka kekurangan peserta didik yang umumnya terjadi di sekolah swasta harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebab di sana banyak guru dan karyawan yang menggantungkan nasib mereka. Pemutusan hubungan kerja (PHK) begitu menghantui sekolah swasta yang kekurangan peserta didik. Pendidikan yang ideal apabila tidak terjadi saling menjatuhkan, namun menjunjung dan mengejar prestasi.

Oleh karena itu pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1) UU Sisdiknas. Pemerintah harus tegas dalam memberikan batas kuota dan sanksi bagi sekolah negeri yang melanggar agar terjaga eksistensi sekolah swasta berdasarkan asas keadilan.

Apalagi bila ditemukan terjadinya pilitik uang ketika semua peserta didik mulai masuk secara serentak pada 23 Juli atau 27 Juli. Monev pemerintah segera ditindaklanjuti dengan meminta sekolah mengirimkan daftar peserta didik baru, baik jumlah maupun kapasitas kelas yang disediakan.

Masukan terjadinya penyimpangan dan pelanggaran dalam PPDB termasuk politik uang segera ditelisik kebenaranya. Agar hak masyarakat untuk mendapatkan transparansi dalam PPDB benar-benar mendapatkan pengakuan. Eksistensi sekolah yang mengutamakan mutu bukan sekadar asa, karena ada tindakan nyata saat terjadi ketidakberesan.

Karena bila melihat kenyataan saat negara belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan (sekolah), keberadaan sekolah swasta masih dibutuhkan dan menjadi pilihan.

Pasalnya, negara juga belum mampu memenuhi kebutuhan semua warga dalam mendapatkan pendidikan murah (gratis). Maka negara bersikap tegas dalam prinsip dan berkeadilan dalam memberikan hak dan peluang yang sama kepada sekolah swasta agar tetap eksis (hidup), demi eksistensi pendidikan (sekolah) bermutu dan berkualitas. (81)

— FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

No comments: