Suara Guru, SUARA MERDEKA 26 September 2015
oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro
Pekan pertama awal September, kepala sekolah tempat penulis mengajar mengiformasikan sekaligus mengintruksikan kepada mantan wali kelas XII tahun ajaran 2014-2015. Para wali kelas diminta memberitahukan kepada mantan muridnya, bahwa bagi mereka yang ingin memperbaiki hasil Ujian Nasional (UN) 2015 karena belum memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan oleh sekolah. Diminta mendaftarkan dan akan dilaksanakan pada Februari 2016.
Pemberitahuan itu berdasarkan surat dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta . Oleh karena itu demi menindaklanjuti, pihak sekolah wajib menginformasikan dan mendata siswa peserta UN 2015 yanghendak memperbaiki nilainya. Meski tidak semua nilai bisa diperbaiki, terkhusus yang belum memenuhi standar kompetensi.
Sebuah kebijakan yang hemat penulis sebagai extraordinary (kejadian luar biasa). Baru kali ini seorang siswa yang sudah dinyatakan lulus dan sudah menerima ijazah serta surat keterangan hasil ujian (SKHU) diberi kesempatan melakukan perbaikan nilai. Padahal siswa tersebut bisa dikatakan sudah mengenyam pendidikan lanjut berdasarkan surat pernyataan lulus yang sudah diperoleh.
Hal itu menjadi berbeda makna ketika kebijakan terdahulu. Siswa diberi kesempatan mengikuti ujian ulangan karena dianggap tidak lulus berdasarkan standar minimal nilai UN yang diharapkan. Atau siswa diberi kesempatan ujian susulan karena saat pelaksnaan UN tidak hadir karena sakit atau mengalami peristiwa yang luar biasa (force majeure).
Memang penentuan siswa lulus atau tidak lulus dalam tahun ajaran 2014-2015, sekolah yang berhak menentukan. Hal itu didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 5 Tahun 2015 tentang Kriteria Kelulusan. Pasal 2 ayat 1, peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan apabila, menyelesaikan seluruh program pembelajaran dan memperoleh nilai sikap/perilaku minimal baik, dan lulus ujian S/M/PK.
Untuk penentuan kelulusan bagi peserta didik SMA ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rapat dewan guru (pasal 5). Dan hasil UN digunakan untuk pemetaan suatu program dan atau satuan pendidikan serta pertimbangan seleksi untuk masuk jenjang pendidikan berikutnya, (pasal 21 ayat1).
Program Sia-sia
Melihat tujuan dari ujian perbaikan hanya sebagai pemenuhan standar kompetensi, lalu urgensi (kepentingan) yang bagaimana yang hendak dicapai. Karena sekolah lanjutan sudah didapat serta pemetaan program satuan pendidikan juga bisa dibaca dan klarifikasi.
Menjadi pertanyaan apakah ujian perbaikan akan dapat mengubah siswa dengan kenaikan peringkat (ranking) dalam perolehan nilai dalam UN. Karena siswa tersbut sudah dinyatakan lulus dan tidak lagi menjadi siswa aktif yang dapat dikontrol, diawasi serta memperoleh bimbingan dan pendampingan.
Apakah dengan ujian perbaikan juga mampu untuk menyelaraskan dengan tujuan UN yang mendorong untuk tuntas mencapai standar kompetensi yang dikategorikan. Dan siswa baru bisa mencapai hal tersebut saat mengikuti ujian perbaikan UN tahun 2016.
Maka yang menjadi sorotan penulis, dalam ujian perbaikan, urgensinya di mana? Saat sekolah diberi kesempatan menentukan kelulusan siswa berdasarkan nilai akhir sekolah yang terdiri atas nilai rapor dan nilai ujian akhir sekolah (UAS). Sekolah bisa menetapkan proporsi mulai dari 50%-50% sampai 70%-30%. Otonomi sekolah sepenuhnya dalam menentukan lulus atau tidak lulus. Dan hal yang langka sebuah sekolah dengan sistem penilaian terbaru sampai tidak meluluskan siswanya sampai 100%.
Akankan ujian perbaikan menjadi program yang sia-sia. Atau sebuah program yang harus diadakan karena sudah masuk dalam anggaran pendidikan nasional yang disetujui oleh DPR. Sebuah program dipastikan akan menyedot dan menggunakan anggaran pendapatan belanja Negara (APBN) yang notabene uang milik rakyat.
Jangan uang rakyat menjadi ”bancaan” penentu kebijakan dengan program yang sumir. Dengan mendata kembali siswa yang kurang merupakan sesuatu kerja yang tidak gampang. Siswa yang dinyatakan lulus pasti malu mengulang kembali mata pelajaran yang ”kurang.” Selain perasaan tidak percaya diri, bisa dianggap lulusnya tidak sempurna dan akan kesulitan untuk belajar lagi pada materi mata pelajaran yang sudah lama ditinggalkan.
Karena perbaikan nilai kurang tidak distandarkan atau ditetapkan oleh Kemendikbud atau Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP). Hanya karena kebutuhan kesadaran dari siswa yang ”merasa” nilainya kurang saja. Kita tunggu saja, apakah ajakan ujian perbaikan akan mendapatkan tanggapan dari peserta ujian 2015 yang nilainya tidak memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. (81)
— FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta
No comments:
Post a Comment