Thursday, March 26, 2015

Kesetaraan Difabel dalam SNMPTN

OPINI Harian Joglosemar, Kamis 26 Maret 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro (Pendidik di Surakarta)

SOROTAN terhadap diskriminasi bagi kaum difabel disabilitas (cacat fisik atau berkebutuhan khusus) dalam berkesempatan masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi perhatian bersama. Pasalnya, banyak aturan yang membuat ketidakadilan hak kaum difabel untuk studi lebih tinggi.

Apalagi dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014. Salah satu syarat peserta SNMPTN tidak tunanetra, tidak tunarungu, tidak tunawicara, tidak tunadaksa, tidak buta warna baik keseluruhan maupuan sebagian. Sebuah aturan yang “memasung” kesempatan kaum difabel, padahal belum di uji kompetensinya.

Oleh karena itu, Direktur Akademik Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Peni Wastutiningsih mengatakan kampusnya tetap berencana memberlakukan syarat khusus bagi pendaftar difabel, yang memilih jurusan tertentu, lewat SNMPTN. Pemberlakuan syarat, yang sempat menuai protes banyak aktivis difabel pada tahun lalu itu, tidak dihapus sepenuhnya (Tempo, 28/1)

Hal ini menunjukkan bahwa banyak sekali peserta didik yang menyandang disabilitas juga mempunyai prestasi. Sebagai contoh Leonard Athesltone (siswa SLB/B Pangudi Luhur) Kembangan, Jakarta Barat yang mampu menjadi juara 1 Olimpiade Sains Nasional (OSN) IPA tingkat Provinsi DKI dan Juara 2 OSN IPA tingkat Nasional tahun 2013. Prestasi tersebut menjadikan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong, Jakarta memberikan beasiswa belajar di Perguruan Tinggi (PT) tersebut.

Maka, wajar bila sebanyak 35 organisasi yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Difabel mengajukan somasi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhamman Nuh. Dan, menuntut Mendikbud segera menghapus persyaratan SNMPTN yang mendiskriminasikan kaum difabel.

Berbagai alasan kemanusiaan,tidak tega, humanisasi namun justru membuat sakit hati. Banyak contoh kegigihan kaum difabel dalam menata dan berjuang demi kehidupan seringkali mengalahkan manusia normal (tidak cacat). Meski kenyataanya, penentu kebijakan di PTN, juga sudah menyatakan bahwa kuota pembatasan/larangan melanjutkan ke PT bagi kaum difabel.

Ibarat digebyah uyah podo asine, kaum difabel merasakan bahwa mereka masih diperlakukan dengan tidak adil. Dianggap kurang mampu untuk mengikuti tuntutan dari pihak PTN, atau merintangi dari proses kegiatan pendidikan di dalamnya. Maka gerakan protes masih muncul, sebab antara idealisme dan praktik dilapangan tidak sepadan.

Konstitusi sendiri sudah mengamanatkan, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (pasal 31 ayat 1). Tidak selayaknya perguruan tinggi melakukan pembedaan. Karena, setiap orang itu mempunyai kesempatan dan berhak untuk memperoleh pendidikan di perguruan tinggi, termasuk mahasiswa difabel. Namun, kenyataannya dalam pelayanan seringkali diskriminasi diterima bagi kaum difabel.

Keyakinan tidak ada pembedaan pernah diungkapkan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof Dr Soedijono Sastroatmodjo pihaknya sangat terbuka jika ada anak berkebutuhan khusus yang ingin masuk Unnes. Hanya, mereka tetap melalui tahap seperti siswa lain. Semisal anak cacat fisik seperti kaki polio, bisa saja masuk ke fakultas non-kependidikan, misalnya hukum atau ekonomi, namun jelas menutup kemungkinan untuk masuk ke FKIP Jurusan Olah Raga.

Prinsipnya sesuai amanat UUD 1945 diskriminasi terhadap kaum difabel jelas melanggar konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Seolah mengebiri hak dan kemampuan warga Negara yang berkebutuhan khusus untuk mengembangkan segala potensi (akademik) yang ada pada dirinya. Sebuah vonis yang masih dapat diperdebatkan.

Apalagi Pemerintah sendiri selalu memberikan ruang kesempatan kaum difabel untuk mampu mengeksploitasi diri. Banyak ruang publik dilengkapi fasilitas kemudahan demi memudahkan, meringankan beban. Maka, tidak seharusnya pihak pengelola perguruan tinggi justru melakukan pembedaan.

Ketika ada calon mahasiswa difabel yang memiliki kemampuan akademis yang baik, tidak ada alasan bagi perguruan tinggi untuk tidak memberikan kesempatan. Nilai akademis itu sudah menjadi syarat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Studi Lanjut

Oleh karena itu Panitia penyelenggara Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2015 diharapkan memberikan kesetaraan kesempatan dan peluang yang sama kepada kaum penyandang difabel. Kesetaraan mengakses pendidikan sejalan dengan UU No 19 tahun 2011 yang meratifikasi hak-hak penyandang difabel.

Seperti dikatakan Ketua Umum Panitia Nasional SNMPTN-SBMPTN 2015, Prof Rochmat Wahab yang memastikan akan memperhatikan penyandang difabilitas. perlakuan diskriminasi tidak akan terjadi dalam penyelenggaraan SNMPTN 2015. Panitia akan menyiapkan pembimbing khusus bagi penyandang difabel untuk membacakan soal atau memberi waktu yang lebih panjang mengingat cara membaca braile bagi penyandang tunanetra membutuhkan waktu lebih lama dibanding orang normal. (Sindonews.com, 10/2/2015)

Meskipun demikian, dalam persiapan untuk seleksi penerimaan mahasiswa baru baik melalui jalur undangan maupun SNMPTN berbagai informasi persayaratan khusus wajib disosialisasikan sejak dini. Secara masif dan tanpa dikriminasi kepada siapa saja. Berbagai hal dijelaskan dalam persyaratan termasuk segala risiko yang mungkin terjadi bila kaum difabel memaksakan diri pada fakultas/ jurusan tertentu.

Pembentukan kesadaran kepada calon mahasiswa baru (difabel), menjadi sangat penting. Dengan demikian tidak terjadi sebuah keputusasaan, kekecewaan, sakit hati berkenaan dengan, pelarangan secara tidak langsung terhadap kehendak dirinyanya untuk maju dan berkembang.

Paling tidak mundurnya calon mahasiswa difabel karena tidak semata-mata aturan, namun karena keikhlasan diri akan batas-batas kemampuan fisiknya. Jadi, aturan pelarangan calon mahasiswa difabel merupakan bentuk dehumanisasi. negara secara nyata melakukan diskriminasi kepada warganya.

Prinsip pendidikan untuk semua tetap dijalankan sesuai dengan visi dan misi. Tata krama etika, moral dan kepatutan untuk menjalankan kepatuhan sejalan dengan berbagai akibat yang timbul tetap berjalan sesuai dengan koridor hukum.

Calon mahasiswa difabelpasti sadar akan kemampuannya masuk ke PT yang menjadi pilihannya. Pasalnya, bila memaksakan diri akan tereliminasi dengan sendirinya. Ini berarti PTN memahami, mengerti dan menghormati akan hak-hak yang melekat pada diri manusia termasuk kepada kaum difabel.

Meski demikian bila mampu menujukkan kualitasnya di PT, para difabel tersebut juga harus mendapatkan keistimewaan dalam hal sarana dan prasana perkuliahan. PT diharapkan mampu memberikan fasilitas pendukung yang memadai bagi mereka. Data dan fakta memang sudah ada sejumlah PT yang telah menyediakan fasilitas khusus bagi mahasiswa difabel, seperti akses bagi mahasiswa yang menggunakan kursi roda. Sehingga, para difabel tersebut tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses perkuliahan.

Kaum difabel juga manusia. Prinsip humanisasi (memanusiakan manusia) menjadi harga yang tidak bisa ditawar lagi. Harapannya sorotan larangan bagi kaum difabel untuk masuk ke PTN tidak berkembang liar keluar dari batas norma, etika dan kesopanan. Semoga.

No comments: