Friday, March 13, 2015

UN, Ujian Ke(tidak)jujuran ?

SUARA GURU, SUARA MERDEKA 14 Maret 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Berkali kali ikrar pakta integritas Ujian Nasional (UN) dilakukan, namun ketidakjujuran tetap terjadi. Dambaan dari UN yang jujur dan bersih hanya sekadar pemanis bibir tanpa ada implementasi yang riil.

Seperti sering ditemui permasalahan saat UN berlangsung, tak hanya menemukan soal bocor, beredarnya kunci jawaban dan lemahnya pengawasan sering ditemui. Seharusnya UN bisa menjadi ujian kejujuran siswa, karena ujian kejujuran itu justru saat kepepet.

Demi mengantisipasi kecurangan, beberapa sekolah ditunjuk UN 2015 Computer Basis Test (CBT). Namun dengan sisten UN CBT, Apakah peserta dan panitia pelaksana ujian mampu mematuhi dan menaati komitmen bersama. UN yang jujur dan bersih, ataukah masih menjadi bentuk ujian ketidakjujuran.

Pelaksanaan UN yang semakin memperlihatkan bagaimana kecanggihan, kelihaian untuk berbuat curang dan tidak jujur.

Apa yang dilakukan oleh beberapa kepala sekolah SMK di Solo Raya pada tahun 2014, terkait dengan terungkapnya jual beli soal dan jawaban, sebagai bukti bahwa ketidakjujuran melaksanakan UN menjadi hal yang biasa dan bukan beban. Ketiadaan rasa takut berbuat curang karena tidak akan mendapatkan sanksi keras baik secara formal maupun sosial.

Oleh karena itu, saat ketidakjujuran menjadi budaya setiap UN berlangsung tanpa sebuah hukuman yang menimbulkan efek jera. Bukan lagi sebuah ketakutan dan membuat rasa malu bagi pelaku, justru menjadi kebanggaan. Ironis sekali mental anak bangsa bila cita-cita kualitas mutu pendidikan menjadi dambaan dan harapan bersama.

UN SMA sederajat baik yang paper test (tertulis) maupun CBT diharapkan berjalan dengan baik. Jangan sampai noda hitam ketidakjujuran selalu melekat. Idealnya berkaca dari pengalaman UN sebelumnya (mulai dari kesalahan distribusi, soal rusak dan bocor, beredarnya kunci jawaban) menjadi lebih baik dan transparan.

Meski upaya kecurangan selalu dilakukan oleh pihak-pihak yang mencari kuntungan dalam kesempitan. Namun segala antisipasi dini harus bisa diprediksi, sebagai upaya untuk membantu proses pembentukan karakter jujur dalam diri siswa.

Dalam persiapan UN, guru perlu membantu siswa agar mempersiapkan diri dengan baik. Guru mengajar hal yang esensial, yang perlu dikuasai siswa. Karena soal UN hanya membahas materi yang sangat mendasar, sesuai kisi-kisi yang diberikan pemerintah.

Tentu saja, hanya guru yang menguasai materi pelajaran yang mengetahui materi”hakiki” dan ”mendasar” itu. (F Waruwu, 2014)

UN yang sudah menjadi bagian rutin dari prosedural pembelajaran di sekolah, bukan menjadi beban dan ketakutan. Namun saat ketidakjujuran menjadi kewajaran merupakan bentuk perlawanan paradigma dari hakikat UN. Maka sesungguhnya dari berbagai try out (latihan soal), tambahan pelajaran dan penguasaan konsep, seharusnya guru sudah bisa mengukur kemampuan siswa.

Acuan Baku

Sesuai Prosedur Operasional Standar (POS) UN, berlaku tata tertib umum di mana siswa dilarang membawa alat bantu (kakulator,catatan, kamus), bertanya, mencontek dan memberi bantuan jawaban kepada peserta lain. Siswa dilarang keras keluar ruangan, kecuali ada masalah yang serius (kurang sehat).

Sanksi pelanggaran siswa tidak hanya dikeluarkan dari ruang ujian dan diberi nilai tapi juga diproses secara hukum.

Namun sayangnya, aturan yang sudah menjadi acuan baku, tidak lagi digagas sebagai aturan. Penyimpangan dan pelanggaran tetap terjadi, maka sering UN dianggap sebagai ujian ketidak jujuran. Hal ini terjadi karena guru kurang menguasai bidang yang diajarkan. Lebih banyak memberikan latihan soal kepada siswa tanpa mampu menjelaskan konsep dasar yang harus dikuasai siswa.

Dengan demikian secara tidak sadar, siswa merasa terdesak dan tidak mampu memahami konsep belajar yang didapat. Menjadikan siswa semakin dipaksa untuk lebih belajar giat dan lebih keras berimplikasi siswa semakin takut, cemas, gelisah dan apriori menjelang UN.

Kondisi gamang dari siswa yang demikian, mudah kepincut oleh iming-iming untuk berbuat curang. Kondisi”sakau” siswa yang tidak mampu berpikir realistis, kritis dan edukatif memudahkan menerima tawaran bocoran soal, pesan singkat, bocoran jawaban, kunci jawaban daripada kemampuan sendiri. Maka menjadi sah bila ketidakjujuran terjadi dalam setiap UN.

UN yang tidak jujur sebagai bentuk realitas dari kemampuan guru maupun siswa yang kurang profesional. UN sebagai bentuk evaluasi, dalam dunia kependidikan merupakan hal yang penting. Namun, kita tampaknya memang masih belum satu kata menyikapi UN yang kontroversial (sarat ketidakjujuran).

Dalam menyikapi UN yang jujur dan bersih, masih banyak yang harus dibenahi untuk menjadikan UN sebagai patok duga pencapaian rangkaian proses pembelajaran di negeri ini. Seperti dikatakan M Akung (2010), mulai dari disparitas kualitas proses pembelajaran, perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, hingga soal kurikulum dan kebijakan pendidikan yang terlalu sering berganti.

Data Pemantau Independen dan Pengawas Nasional sangat mencengangkan. Daerah yang masuk”kelompok putih”, bersih kecurangan UN hanya mencapai 17 persen.

Daerah abu-abu, dengan persentase kecurangan UN, antara 21 dan 90 persen, mencapai 42 persen, sementara daerah yang paling tinggi terjadi kecurangan UN atau disebut ”kelompok hitam” mencapai 39,99 persen. Persentase kecurangan UN di daerah ini 90-100 persen.

Apakah berarti dari fakta, data dan prosedural UN, bahwa kecurangan (ketidakjujuran) masif terjadi di mana-mana secara nasional menjadikan pembenaran. Mengubah mindset UN menjadi ujian ketidakjujuran. Karena banyak terjadi sekolah tunduk pada ketidakjujuran. Dengan membantu kemudahan mengerjakan UN kepada siswa membentuk anggapan bahwa etika, harga diri, dan moral kejujuran bisa ditawar dan dibeli. Berarti sekolah sudah menciptakan generasi tidak jujur di masa depan.

Pelaksanaan UN tetap menjadi pandora dan batu ujian sekolah. Mampukah untuk tidak tergoda atau terbawa arus karena ketidakpercayaan diri. Sekolah merupakan tempat candradimuka siswa yang berkepribadian, berkualitas, berakhlak mulia dan jujur.

Semoga UN SMA dan SMP sederajat pada April mampu mengimplementasikan kejujuran. Atau sebaliknya ajang unjuk gigi ketidakjujuran secara komrehensif. (81)

— FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

No comments: