Wednesday, November 27, 2013
Guru, Sebagai Pejuang Kejujuran
OPINI harian Joglosemar ( 25 Nopember 2013)
Oleh FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)
Senin, 25/11/2013 20:52 WIB -
Masalah absurditas kejujuran memang menjadi problema krusial di negara ini. Banyak tokoh mulai menyuarakan kebenaran dalam segala hal. Ketidakpercayan publik (masyarakat) semakin membuncah. Saling tuding, saling membantah kontradiksi tuduhan dan pembenaran.
Pasalnya berbagai peristiwa yang melibatkan tokoh publik yang melakukan abuse of power (penyimpangan kekuasaaan dan wewenang) semakin terang benderang. Baik dilakukan oleh tokoh eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. Maka usul Syafii Ma’arif untuk membuat kebun koruptor dan usulan hukuman yang keras bagi pelakunya karena korupsi (antikejujuran) sudah menjadi masalah nasional.
Peringatan hari guru 25 November menjadi momen pengikraran guru sebagai pejuang kejujuran. Fenomena ketidakpercayaan publik dibutuhkan sosok “hero” untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Saatnya suara rakyat mendukung kebenaran dan kejujuran demi menegakkan keadilan dan kebenaran.
Oleh karena itu, demi mengeliminasi korupsi dan menumbuhkan kejujuran, guru sebagai pemimpin menjadi garda terdepan untuk menjadi pelopor “idola” kejujuran. Pasalnya kunci sebuah kemaslahatan bangsa menuju keadilan, kemakmuran dan kesejateraan disandarkan pada guru. Bagaimana “memoles” anak bangsa menjadi generasi kritis, jujur, kredibel, bertanggung jawab menjadi antikorupsi, dan antidiskriminasi dalam semangat nasionalisme.
Banyak hal telah dirintis dalam dunia pendidikan. Bagi guru sendiri adalah mampu menjadi teladan dan memotivasi bagi siswanya dari sikap, perilaku, tindakan dan dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Guru yang mampu memberi motivasi siswanya untuk selalu berubah. Motivasi sendiri menurut Snowman, Mc Cown & Biehler (2009) sebuah kemauan seseorang untuk melakukan sejumlah upaya untuk mencapai suatu tujuan tertentu pada situasi yang khusus.
Menjadikan sebuah upaya untuk meningkatkan semangat belajar dan membentuk karakter kehidupan. Apalagi nilai kejujuran yang selalu diberikan dan hidup bersama dalam koridor sekolah. Mulai dari adanya koperasi dan kantin kejujuran sampai pada pembelajaran pendidikan antikorupsi. Bukan sebuah ide atau wacana semata namun sudah menjadi implementasi sehari hari sebagai bentuk motivasi di sekolah.
Harapan penanaman nilai kejujuran dapat menimbulkan gerakan rakyat, pelaku konspirasi dan tindak pidana (korupsi) untuk berani menyuarakan kebenaran. Meski penulis yakin tekanan demi tekanan akan timbul bila muncul keberanian mengkritisi antikemampanan.
Upaya saling membantu, mengkritisi dan mendorong pembongkaran kasus besar yang menjadi perhatian publik ini. Harus bisa terselesaikan secara benar, tuntas, adil, tidak merugikan karena dilaksanakan secara sadar dan penuh kejujuran.
Menjadi generasi kritis bukan sebuah fatamorgana, apabila guru di sekolah mampu mengaplikasikan dan menjadikan panutan. Ada tiga belas ciri pemikir kritis, antaranya berpikir terbuka, setia pada persoalan awal dan menunjukkan kepekaan “level perasaan dan pengetahuan” orang lain. (Orsnstein dan Hunkinm 2009: 113)
Inilah yang menjadi harapan bersama, dengan lahirnya guru pejuang yang dapat menjadi panutan dan teladan masyarakat. Karena keberaniannya menyuarakan, bersikap dan bertindak laku sesuai harapan masyarakat yang lebih luas. Seperti halnya sosok Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI Jakarta. Bisa diibaratkan sosok yang menjadi teladan masyarakat “baru” Indonesia. Berkat keberanian, kegigihan dengan semangat kerja keras serta mengagungkan nilai kejujuran.
Dalam era reformasi sekarang ini memang dibutuhkan pendorong gerakan kejujuran. Berani menentang segala penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Maka upaya yang dilakukan guru janganlah serasa tertawan oleh desakan dari atasan (top down) yang sarat dengan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Namun dengan demikian kepeloporan dalam konteks masa kini dapat memiliki nilai lebih saat sudah menjadi idola siswanya.
Bagaimana seorang guru masa kini yang idealis untuk berkata sejujurnya guna melawan skenario mafia hukum, mafia pendidikan, memerangi KKN dan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang semakin massif. Guru bisa menjadi pejuang kejujuran realitas, yang berjuang tanpa pamrih dengan moral dan etika membanggakan. Di mana menghasilkan peserta didik yang penuh karakter.
Menurut Koolsonic (2008) ciri seseorang layak disebut pahlawan dan pejuang masa kini antara lain tidak KKN, berani mengambil sikap untuk mengorbankan kepentingan pribadinya bagi mereka yang lebih membutuhkan, dan demi kepentingan bersama yang lebih luas, Sikap hidup jujur, hidup adil dan tidak menerima suap.
Sehubungan dengan kejujuran, tampaknya membengkokkan sejarah juga termasuk salah satu penodaan terhadap kejujuran. Tidak perlu publisitas untuk memberitahukan perbuatan baik. Justru orang lain yang akan menyebarkan kebaikan orang tersebut. Tidak butuh diagung-agungkan.
Dengan demikian melihat kenyataan yang terjadi, dibutuhkan keteladanan sikap, perilaku pribadi pengambil keputusan untuk berpegang pada hati nurani. Pasalnya rakyat sudah bisa menilai mana kebijakan yang baik dan mana yang buruk. Maka Pemerintahan yang tertib, bersih dan berwibawa merupakan harga mati untuk kehidupan berbangsa dan bernegara menuju kemakmuran dan kesejahteraan.
Rutinitas Sosialisasi
Kejujuran (honesty) memiliki hubungan dengan karakter, perilaku, kebenaran, etika dan moralitas. Sebab kejujuran berkaitan dengan kehendak, kemauan dan moralitas untuk menjadi pribadi yang berkualitas dan bermutu.
Perilaku Seseorang yang semakin jauh dari kebenaran maka tidak jujurlah (dishonest) yang mengedepan. Sikap perilaku dan perbuatannya perlu penyadaran bahwa perilakunya itu sesungguhnya keliru dan menyusahkan banyak orang.
Perilaku kejujuran memang perlu diterapkan sejak dini, khususnya melalui pendidikan di sekolah. Siswa tertib, taat, disiplin, tidak menyontek (cheating), manipulasi (fabrication), berkata jujur, saling menghormati dan sopan kepada guru harus menjadi pembiasaan. Dibutuhkan rutinitas sosialisasi dan implementasi dalam kehidupan.
Kepeloporan guru demi menjadi idola dalam membumikan pendidikan kejujuran sebagai tindakan preventif kepada generasi muda. Karena itu, kejujuran sesungguhnya berkaitan erat dengan nilai kebenaran, termasuk di dalamnya kemampuan mendengarkan, berbicara, bersikap dan mengambil keputusan dengan perilaku yang bisa muncul karena didasrkan niat yang tulus dari suara hati.
Kejujuran identik kualitas manusiawi sebagai hakikat manusia mengomunikasikan diri dan bertindak secara benar (truthfully). Kejujuran sebagai bentuk aktualisasi nilai menjadi manusia dan bangsa yang beradab. Kita menanti lahirnya pahlawan kejujuran yang menjadi idola. Membentuk generasi bersih, berkarakter berlandaskan hati nurani jernih, berjiwa sosial dan peduli nasib bangsa dan negaranya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment