Opini, Harian Joglosemar 9 Desember 2013
oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro
Perubahan Kurikulum 2013, yang menekankan rumusan empat kompetensi inti, yakni penghayatan dan pengamalan agama, sikap, keterampilan, dan pengetahuan, diharapkan mampu mengubah akhlak bangsa Indonesia. Seperti pendidikan agama ditambah satu jam pelajaran.
Oleh karena itu penekanan pendidikan karakter, nilai, moral dan etika lebih dikedepankan. Hal itu tidak lepas makin maraknya korupsi dari masyarakat bawah maupun elite pemimpin di Indonesia. Menjadi ruh, bagsa ini lebih beradab.
dilihat di berbagai media bila aparat negara sendiri sangat dekat dan erat dalam lingkaran korupsi. Baru saja kita mendengar dan melihat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka pada Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, Andi Malarangeng, Presiden Partai PKS Lutfi Hasan Ishaaq dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Penetapan tersangka menjadi bukti bahwa pemberantasan korupsi memang tidak setengah hati. Bukan karena dianggap sebagai momen peringatan hari korupsi sedunia tanggal 9 Desember. Namun KPK sebagai ujung tombak masyarakat dalam pemberantasan korupsi memang harus berani dan tegas, apabila bukti-bukti penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang sudah cukup kuat untuk menjeratnya.
Dalam catatan penulis masih ada kisah buram dalam negara ini berkenaan dengan masifnya korupsi sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Korupsi Wisma Atlet belum usai, sudah di depan mata penyimpangan (markup) disertai korupsi lintas birokrasi terjadi dalam pembangunan sport centre (pusat olahraga) proyek Hambalang, Bogor Jawa Barat.
Kejadian buram dengan terjadinya kekerasan di Mesuji dan yang terakhir di Bima, Nusa Tenggara Barat, Temanggung, Sampang Madura, menjadi penanda yang sangat memukul masyarakat secara luas. Belum lagi beberapa waktu lalu berkenaan dengan pembakaran di beberapa gereja dan kekerasan yang kerap menimpa kaum miskin, lemah dan tersingkirkan. Selalu menjadi korban perdayaan dari orang dan kelompok yang memiliki kekuasaan.
Pelanggaran HAM yang terjadi dalam tahun 2011 relatif tinggi dan beragam, serta kerap diwarnai dengan tindakan kekerasan yang berlatar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum serta aspek lain yang menyangkut kepentingan “orang besar.”
Malah korupsi besar yang membebani tahun 2012 sangat kasat mata. Terkuaknya kasus proyek Hambalang dari Rp 125 miliar menjadi Rp 1,2 triliun dan berkembang sampai Rp 2,4 triliun. Korupsi Pengadaan sarana prasarana 18 universitas negeri yang merugikan negara Rp 16,24 miliar. (Kompas, 7/6/12). Proyek besar, korupsi besar sudah terencana sejak awal sampai pelaksanaan. Ironis sekali.
Semuanya terindikasi dengan berbagai cara yang sistematis. Buktinya belum selesainya penyidikan kasus Wisma Atlet, Bank Century, suap cek pelawat anggota DPR dari berkenaan pemilihan Deputy Bank Indonesia dan banyak kasus korupsi lain yang melibatkan pejabat Daerah Tingkat I dan Tingkat II sudah semakin masif. Bahkan menurut hasil survei tingkat korupsi paling tinggi dan besar terjadi di DPR.
Akibat
Semuanya merupakan bentuk pelanggaran HAM, berakibat merugikan rakyat kecil. Seperti dicatat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Jumlah pengaduan yang diterima Komnas HAM per Januari sampai Oktober 2011 adalah 3.780 kasus. Tren ini meningkat 14,37 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun 2010 sebanyak 3.237 kasus.
Berdasarkan data tersebut, tren pelanggaran HAM yang ditangani Komnas HAM tahun ini rata-rata 378 kasus per bulan, atau 86 kasus per minggu atau 12 kasus per hari. Bentuk pelanggaran HAM yang paling menyita perhatian publik tahun 2011 tertuju pada kasus sengketa lahan (land tenurial conflict) yang meningkat 20,56 persen dari 479 menjadi 603 kasus.
Korupsi yang melembaga dan sistematis merugikan uang negara triliunan rupiah. Saat Orde Baru, Prof Sumitro telah mengindikasikan sebanyak 30 persen uang negara dikorupsi. Saat ini justru lebih tinggi, berani dan terang-terangan. Akibatnya masyarakat yang dirugikan dan menanggung segala dampak dan bebannya.
Melalui pendidikan
Berurutannya hari antikorupsi (9 Desember) dan Deklarasi HAM Sedunia (10 Desember), menjadi momen penting pendeklarasian pendidikan anti-korupsi dan penegakkan HAM dalam pendidikan. Upaya mengeliminasi dan meredam berbagai pelanggaran tersebut dibutuhkan pendidikan antikorupsi dan HAM yang membumi. Sasaran utama adalah kelompok generasi penerus bangsa yang masih duduk di bangku sekolah. Seperti halnya yang diupayakan oleh Pemerintah melalui pendidikan karakter.
Namun, sejauh mana pendidikan tersebut mampu merasuk dan mengakar dalam diri peserta didik?
Pencanangan dan implementasi pendidikan karakter dalam bentuk konfirmasi, elaborasi dan eksplorasi dimasukkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sayang realitas dalam pelaksanaan masih tarik ulur antara kepentingan mata pelajaran inti yang harus diajarkan di sekolah.
Guru belum seluruhnya mampu, sadar dan mau menerima penyisipan pendidikan karakter dalam bidang studi yang diampunya. Boleh dikatakan pelaksanaan pendidikan karakter masih setengah jalan, karena belum dapat mengubah dan memberikan pembinaan dalam perkembangan jati diri peserta didik.
Hakikatnya pendidikan karakter tidak bisa dipisahkan dalam pendidikan antikorupsi dan HAM. Meski semua orang belum tentu tahu apa yang dimaksud antikorupsi dan HAM. Dari arti, hak yang melekat, kewajiban yang harus dijalankan, penyimpangan serta sanksi bagi yang melakukan pelanggaran. Serta bagaimana upaya memberi efek jera bagi koruptor sehingga tidak lagi menjadi budaya bangsa.
Korupsi sendiri oleh KPK sudah dianggap sebagai bahaya laten bangsa. HAM sendiri merupakan hak yang melekat pada manusia sejak dilahirkan. Maka dari itu semua manusia dalam kedudukan, posisi apapun tidak bisa semena-mena terhadap sesamanya karena dianggap melakukan pelanggaran HAM. Maka bagaimana upaya implementasi HAM terserap dan diaktualisasikan secara nyata dan penuh kesadaran dalam pendidikan di sekolah.
Pendidikan anti-korupsi dan HAM menjadi penting dijadikan sisipan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) selain pendidikan karakter. Keduanya mempunyai kaitan yang erat, dalam mendidik manusia (generasi muda) menjadi tangguh, tanggap, beretos kerja karena selalu dilandasi semangat penghormatan kepada sesama manusia. Semangat saling menghargai dan menghormati hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan ini akan hanya sebatas konsep dan teoritis semata. Yang penting dan dibutuhkan bagaimana pola pendidikan selalu berlandaskan pada pendidikan karakter. Sebuah perbuatan yang kecil, sepele dan tidak dianggap penting akan sangat berharga karena menjadi sebuah bentuk embrio dari tanggung jawab pekerjaan atau perbuatan yang lebih besar.
Banyak contoh nyata baik positif maupun negatif berkaitan dengan pendidikan anti-korupsi dan penegakan HAM bisa dimasukkan dalam kurikulum. Ini dapat menjadi kunci dari kehidupan sosial yang beradab menuju semangat berkeadilan bagi sesama manusia. Karena pendidikan anti-korupsi dan HAM bukan hanya direnungkan namun dilaksanakan secara bertanggung jawab dalam ranah pendidikan sesuai dengan tujuan negara dalam Pembukaan UUD 45.
(penulis : Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)
No comments:
Post a Comment