Wednesday, October 02, 2013

Nasib Siswa "ilegal"

Gagasan Solopos 27/9/13 Tiga hari berturut-turut, pekan lalu, harian ini membahas masalah siswa titipan di SMAN 1 Solo. Solopos memberitakan ada sembilan siswa SMAN 1 Solo menjadi peserta didik di sekolah itu tanpa melalui prosedur yang legal. Bisa dikatakan siswa tersebut ”ilegal” karena secara aturan tidak mungkin dapat menjadi bagian dari keluarga SMAN favorit di Kota Solo itu. Setiap proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) pihak Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Solo menerbitkan surat edaran tentang proses, prosedur, dan tata cara PPDB. Tahun ini sistem PPDB secara online yang diterapkan di Kota Solo menginjak tahun ke-9. Ini adalah PPDB bersistem real time berbasis transparansi dan akuntabilitas yang benar-benar sudah dilaksanakan dan teruji. Dengan sistem online, siapa pun dapat mengawasi karena bisa mengakses lewat Internet secara langsung. Orang tua/wali murid, masyarakat umum, maupun aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) bisa mengikuti setiap saat pergerakan nilai sesuai passing grade yang ditetapkan sekolah penerima. Terungkapnya kasus siswa titipan sebenarnya karena pengawalan dan keberanian masyarakat yang peduli terhadap pendidikan di Kota Solo. Aturan PPDB onlie itu secara khusus mengatur tentang pembatasan jumlah siswa di sekolah negeri, untuk SMP dan SMA maksimal 32 orang per kelas. Ini bisa menjadi dasar pemberian sanksi bagi yang melanggar (harus), termasuk penambahan kuota jumlah peserta didik yang melebihi kapasitas atau daya tampung sekolah. Saat ini sebenarnya masyarakat dengan gampang mampu melihat, mencatat dan melaporkan bila ada pelanggaran dan penyimpangan dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang dibutuhkan adalah keberanian dan kesungguhan mengeliminasi budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). KKN bagaikan penyakit kronis dan bahaya laten yang harus disirnakan. Namun, jangan sampai sebuah pelaporan hanya karena ada tendensi politik dan ketidaksukaan pada seseorang yang sedang berkuasa. Sebenarnya KKN juga bisa dilakukan mereka yang melaporkan. Penyimpangan dalam proses PPDB dimungkinkan tidak hanya terjadi di SMAN 1 saja. Sebenarnya kasus SMANN 1 bukan kasus baru. Peristiwa pelanggaran dan pelaporan kecurangan PPDB di SMAN 1 menurut catatan saya bukan kasus yang pertama. Pada 2007 di SMAN 1 jga terjadi pelanggaran aturan penerimaan siswa baru (PSB) waktu itu (Solopos, 22 September 2097). Yang menjadi pemikiran saya terkait peristiwa ini adalah berkenaan dengan nasib siswa sebagai korban utama. Dalam proses belajar mengajar (PBM) yang sedang berlangsung, siswa ”ilegal” menjadi tidak nyaman. Gencarnya pemberitaan mengakibatkan sembilan siswa yang dianggap illegal merasa gerah, panik, dan konsentrasi belajar mereka terganggu. Apalagi pelanggaran PPDB di SMAN 1 ini sudah masuk agenda Ombudsman Republik Indonesia (RI) Kantor Perwakilan DIY yang siap melakukan investigasi ihwal siswa titipan dalam PPDB online tersebut. Siswa yang diungkap datanya oleh Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) itu bisa menjadi saksi bahkan mungkin tersangka. Paling tidak sebelum investigasi berlangsung, konsentrasi belajar mereka terpecah. Mereka sudah merasa bersalah dengan melanggar aturan PPDB online. Meskipun secara sadar maupun tidak sadar menjadi bagian dari SMAN 1 Solo bukan melulu keinginan mereka. Kesadaran ketidakmampuan mengikuti pelajaran kalah dengan hegemoni kekuasaan orang tua. Sejak pengungkapan kasus ini, posisi mereka sudah diambang putus asa. Banyak teman-teman mereka di SMAN 1 berkasak-kusuk dan mencemooh karena ternyata di antara mereka ada siswa ”ilegal”. Secara langsung maupun tidak langsung segala gerak gerik mereka bisa menumbuhkan prasangka buruk. Kurang Kondusif Bisa dibayangkan kondisi psikis dan moral mereka sebagai pihak yang dipersalahkan. Dengan semakin lamanya pengungkapan kasus akan membuat mereka merasa “terpenjarakan” dalam lingkungan yang kurang kondusif. Mereka dihantui perasaan dikejar-kejar rasa bersalah, berdosa, bahkan sudah ada gambaran di depan mata akan adanya sanksi. Sebelum terungkap dan dilaporkan, sebenarnya siswa ”ilegal” terbebani rasa segan dan malu berkenaan perhatian khusus terhadap mereka. Sudah menjadi budaya di sekolah bila siswa ”titipan” dalam mengikuti proses belajar mengajar (PBM) akan mendapatkan perhatian istimewa. Paling tidak kepala sekolah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab sudah mengetahui dan bisa menginstruksikan kepada guru untuk memberikan pendampingan dan pembimbingan khusus. Jelas sekali kekhususan ini berkenaan dengan kemampuan mengikuti atau pengimbangi PBM bersama teman-teman seangkatan mereka. Logika dasarnya adalah kelompok belajar pilihan tentu akan lancar dan berjalan baik bila mempunyai kemampuan rata-rata yang seimbang. Apa jadinya bila dalam kelas ada satu atau dua anak yang di bawah rata-rata kemampuan intelektual mereka dibandingkan mayoritas yang lain? Ketertinggalan mengikuti pelajaran menjadi bukti bukan bagian siswa ”standar” di sekolah tersebut. Peserta didik ”ilegal” juga identik sebagai ”bos” saat masuk menjadi warga sekolah. Sangat mungkin orang tua telah memberi kontribusi lebih kepada sekolah dengan patokan nilai minimal yang bisa di negoisasikan. Siswa titipan atau ”ilegal” biasanya juga ikut menopang rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) dan punya ”hubungan khusus” dengan pengelola sekolah. Biasanya siswa ”ilegal” laksana ”tuan besar” dan mendapat prioritas perhatian karena orang tuanya pasti siap membantu dana berapa pun nilainya. Dengan demikian ada dua masalah krusial berkenaan dengan nasib siswa ”ilegal” yang bukan mutlak keinginan siswa itu saat masuk ke sekolah tersebut. Siswa yang tidak mampu secara akademik kadang paham akan jati dirinya dan tidak muluk-muluk/memaksa diri diterima di sekolah favorit. Nasib siswa ”ilegal” benar-benar bisa menjadi korban praktik KKN dalam pendidikan. Posisi sebagai korban ini baik saat sebelum (tidak) terungkap sampai saat terungkap. Oleh karena itu agar nasib mereka tidak terombang-ambing oleh keadaan, secepatnya kasus ini dituntaskan oleh pihak yang berwenang. Demi rasa keadilan dalam masyarakat, siswa ”ilegal” bisa ditempatkan di sekolah yang sesuai dengan syarat minimal nilai Ujian Nasional (UN) yang diperoleh. Dan pihak Ombudsman harus secara tegas dan transparan mengungkapnya. Siswa titipan jangan selalu menjadi korban. Demi kenyamanan, pihak Disdikpora Kota Solo harus mengevaluasi dalam PPDB online tahun mendatang. Ini juga bisa menjadi landasan dan penguat gagasan penghapusan jatah bagi anak guru dan budaya titip dengan jaminan dan perlindungan kepala sekolah. Kini harus ada diseminasi sikap berani menolak siswa titipan. Payung hukum dan jaminan dengan bukti legalitas berupa ketegasan dan perlindungan menjadi alat membendung maraknya siswa titipan yang masuk dengan melalui intimidasi atau ”surat sakti.” Ini harus menjadi awal mengkristalkan komitmen memperbaiki PPDB online. Pembatasan penambahan kuota dan konsistensi penegakan aturan merupakan bentuk penanaman kejujuran dan keadilan. Masyarakat harus aktif dan proaktif memberi penilaian dan tekanan kepada pemerintah agar aturan dan ketentuan baku PPDB onlie diterapkan secara konsekuen. FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)

No comments: