Sunday, September 29, 2013

Beda Nasib PNS dan Buruh

dimuat dalam Opini harian Joglosemar, 5 Juli 2013

Oleh: FX Triyas Hadi Prihantoro Pendidik, tinggal di Solo

Begitu nikmat, nyaman dan damainya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jangan heran berbagai cara upaya dilakukan warga untuk menjadi salah satu bagian di dalamnya. Pembentukan mental bangsa yang sistematis dan stagnan, karena kemanjaan jaminan masa depan bagi warga yang berstatus PNS. Sudah sejak Mei 2013 PNS menerima rapelan kenaikan gaji. Pencairan kenaikan gaji akan dirapel selama empat bulan, Januari 2013 – April 2013. Perhitungan kenaikan gaji PNS sebesar 7,5 persen berlaku sejak 1 Januari 2013 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2013 tentang Peraturan Gaji PNS.

Tidak hanya memperoleh kenaikan gaji, setiap pertengahan semester sudah menanti gaji ke-13. Hal ini tak jarang menimbulkan kecemburuan sosial terhadap warga negara lain. Karena secara kasatmata, anggaran negara hampir sebagian besar tersedot untuk penggajian birokrasi termasuk PNS. Nasib PNS yang selalu beruntung, bila dibandingkan dengan buruh. Pemberitaan yang menyakitkan bila melihat nasib buruh yang sering dianaktirikan. Buruh selalu bersusah-payah demi mendongkrak kenaikan Upah Minimum Regional (UMR). Maka setiap tanggal 1 Mei ratusan ribu buruh akan berdemonstrasi dalam upaya mengubah nasib, sebagai bentuk protes akan kehidupan layak bagi setiap warga negara.

Kaum buruh berpeluh, berpanas-panas bahkan sampai berdarah-darah demi perjuangan untuk mendapatkan gaji yang layak. Namun menjadi ironi saat mendengar PNS selalu meningkat dan bertambah gajinya tiap tahun dan menerima gaji ke-13 yang menyertai di pertengahan tahun.

Ada apa sebenarnya maksud yang terkandung di dalamnya? Bukankah akan menimbulkan kecemburuan bagi kaum buruh yang masih termarginalkan? Perjuangan kaum buruh tidak akan pernah selesai saat pemerintah belum mengakomodasi tuntutan buruh berkenaan penghapusan outsuorcing (tenaga kontrak/honorer), jaminan sosial dan kenaikan UMR. Seperti dikeluhkan oleh buruh, saat UMR di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, naik menjadi Rp 2,2 juta per bulan berdasarkan kebijakan Gubernur Joko Widodo. Justru nasib buruh menimpa, faktanya gaji tidak naik namun banyak yang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Buruh dan PNS memang warga Negara Indonesia yang seharusnya mendapatkan hak yang sama. Sesuai tugas Negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yakni “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.” Namun senyatanya antara buruh dan PNS berbeda nasib. Negara belum mampu untuk memberikan kesejahteraan yang seimbang dan layak bagi warganya.

Ironisnya buruh yang penuh kerja keras dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam bekerja. Sering nasibnya di ujung tanduk, sebab mudahnya mendapatkan sanksi PHK saat kinerjanya memburuk.

Jaminan kelangsungan hidup dalam bekerja tidak mudah didapatkan, karena tidak ada ikatan hukum yang kuat demi menuntut hak-haknya. Hal ini sangat berbeda dengan PNS, kecuali mereka yang tersangkut masalah krusial kejahatan (pidana), poligami dan tersangkut penyalahgunaan Narkoba.

Seharusnya menjadi PNS juga terbiasa budaya kerja keras, rajin, disiplin, jujur dan inovatif. Kenyataannya budaya PNS masih seperti sopir bus metromini, seperti diungkapkan wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Eko Prasojo. Maka perlu dilakukan perubahan budaya organisasi bagi para PNS, tidak seperti sopir metromini yang masih seenaknya menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Masih banyak PNS yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan korupsi (suap), mangkir kerja, tidak disiplin, poligami dan penyimpangan lainnya.

PNS merupakan pegawai yang bermartabat dan diagungkan. Nasib PNS begitu indah di negeri koruptor, berbanding terbalik naib buruh. Apakah hal ini tidak menjadi pemikiran pemangku kebijakan, PNS masih diagungkan, dipuja dan sakral. Padahal keuangan Negara banyak dihabiskan dengan gaji birokrasi (PNS) yang selalu naik.

Seperti dilansir oleh Badan Kepegawaian Negara ada 3,5 juta PNS pada tahun 2004 dengan beban gaji Rp 54 triliun. Ada 4,4 juta PNS pada tahun 2010 dengan beban gaji Rp 162 triliun. Tahun 2011 jumlah PNS menjadi 4,5 juta orang dengan biaya belanja mencapai Rp 180,62 triliun. Jelas sekali sakralisasi PNS bukan hanya dilakukan oleh warga, tetapi Negara sendiri menganggap bahwa perlu jaminan yang hakiki untuk menjadikan PNS berkinerja yang optimal. Benarkah demikian bila dilihat kerja PNS masih seperti sopir bus metromini, belum ada perubahan dan peningkatan berarti dalam kinerja.

Perencanaan yang tidak memihak kepada rakyat yang diwakili kaum buruh, dapat menjadikan kemurkaan. Bentuk diskriminasi pembiayaan yang tinggi kepada PNS merupakan bentuk diskriminasi kepada warga yang hanya mampu bekerja di sektor lain (buruh pabrik, swasta, petani, peternak, pedagang, nelayan dan lain-lain).

Diskriminasi

Seperti dikatakan oleh Agus Riyanto (Koordinator PU TKP) NU Jateng. Misi mbangun desa tidak tampak karena hanya untuk belanja urusan otonomi daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian saja menelan dana Rp 3,1 triliun. Sangat kontras dengan anggaran sektor pertanian Rp 224.9 miliar, koperasi dan UKM Rp 34 miliar, ketahanan pangan Rp 21 miliar dan pemberdayaan masyarakat hanya Rp 16,4 miliar.

Melihat ketidakseimbangan dalam perencanaan anggaran yang dibebankan dengan alokasi yang lebih besar diberikan kepada PNS serta upaya buruh menuntut dalam meningkatkan gaji. Dengan perbedaan nasib yang signifikan, akan mengguncang tingkat stabilitas nasional. Apalagi kenaikan gaji PNS dibarengi rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) tanpa mengakomodasi tuntutan PNS. Rasa-rasanya negeri ini tetap menjadi negeri bermasalah yang tidak ada titik temu.

Alhasil upaya menggenjot kemandirian bangsa jauh dari harapan. Patronase PNS sebagai abdi Negara hanya sekadar menjadikan tujuan hidup. Kehendak menjadi bangsa yang mandiri dan berdedikasai untuk menciptakan segala inovasi akan mandek di tengah jalan. Karena perbedaan krusial (gaji) masih menjadi kendala utama. PNS dan buruh tidak mungkin saling bekerja sama selama disparitas kesenjangan masih terbuka lebar.

Semakin gencar tuntutan dari pemerintah untuk menjadikan bangsa yang mandiri namun tanpa dukungan pembagian anggaran yang adil, merupakan gerakan utopis. Era transparansi menjadikan elemen bangsa dapat mengoreksi dan menilai kinerja PNS yang masih stagnan. Serta tuntutan anak bangsa berjiwa wirausaha, namun tidak diimbangi dengan pengayoman dalam pemberian gaji kepada buruh yang layak dan pantas.

Oleh karena itu sebuah kebijakan menjadikan benang merah dari segala tujuan. Saat warga masyarakat mengetahui adanya ketidakadilan dalam pembagian “kue” anggaran belanja Negara. Rasa malas, iri dan kecemburuan sosial semakin tinggi. Perasaan kerja keras guna membangun negara sesuai kemampuannya tidak mendapatkan respons dan penghargaan semestinya bagi warga negara lain.

No comments: