Friday, September 06, 2013

Imajinasi Tertib Berlalu Lintas

OPINI, Harian Jogosemar 31 Juli 2013 Proses pembelajaran pada tahun ajaran 2013-2014 sudah dimulai. Beberapa sekolah menengah atas (SMA) dan yang sederajat di Kota Solo telah menggunakan Kurikulum 2013. Selain persoalan kurikulum baru, ada hal yang perlu diperhatikan pada tahun ajaran baru kali ini. Yaitu bagi siswa dan siswi yang belum cakap mengendarai kendaraan bermotor wajib mematuhi tata tertib berlalu lintas. Kewajiban itu berdasarkan nota kesepakatan (MOU) antara Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora), Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo) dan Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polresta Surakarta tentang larangan siswa-siswa sekolah menggunakan kendaraan bermotor. Hasil dari kesepakatan itu mulai disosialisasikan dengan mengumpulkan Kepala Sekolah (SMA/SMK/MA) atau wakilnya. Tindak lanjutnya pihak yang berkepentingan melakukan sosialisasi sampai batas akhir dari penerapan tertib berlalu lintas pada 8 Juni 2013. Asumsi semua warga sekolah yang dimaksud sudah memahami, mengerti dan melaksanakannya. Oleh karena itu. Kepala Sekolah dan pendidik diharapkan memberikan bimbingan, arahan dan memberikan tindakan disiplin bila ada siswa yang melanggar. Maka dibutuhkan pendataan dalam pemenuhan syarat dalam berkendaraan dan mengecek segala fasilitas kendaraan yang dimiliki siswa berkenaan kelengkapan demi keselamatan. Seperti yang penulis lakukan saat pendataan siswa. Bagi siswa yang belum berumur 17 tahun harus mematuhi. Hasilnya siswa pengguna sepeda motor belum memiliki SIM C. Alasan siswa mengendarai sepeda motor, rata-rata karena rumah mereka relatif jauh (daerah penyangga Kota Solo) dan belum ada angkutan massal di tempat asal. Di satu sisi ketertiban administrasi berjalan dengan baik namun di sisi lain situasi dan kondisi jarak, waktu dan tiadanya infrastruktur menjadikan pelanggaran terjadi secara massif. Maka upaya penertiban berlalu lintas bagi siswa, sebagai upaya peredaman belum maksimal. Hal itu merupakan upaya dalam mengurangi angka kemacetan dan kecelakaan di Kota Solo. Sebuah kerja keras dari imajinasi stakeholder kota, dalam menciptakan budaya tertib berlalu lintas. Pasalnya berbagai ruas jalan kota sudah tidak layak dan nyaman bagi pemakai jalan untuk berkendaraan. Seperti pernah juga dilaporkan oleh Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan (2009) di Kota Solo ada 20 titik rawan macet. Di antaranya Pasar Klewer, Pasar Singosaren, Pasar Nusukan, Pasar Kembang dan Kadipolo, Pasar Legi Pasar Jongke, Solo Grand Mall (SGM), Solo Square, Pusat Grosir Solo(PGS) , Simpang lima Komplang, simpang empat pasar Nusukan dan Pasar Nongko serta perlintasan Kereta Api Joglo Kadipiro. Tahun 2013 semakin bertampah ruwet dan macet sejalan dengan kemudahan dan bertambahnya kepemilikan kendaraan. Jalan Keluar Oleh karena itu Pemerintah kota (Pemkot) Solo selaku pengambil keputusan jangan sampai kehilangan akal dalam mencari solusi. Jalan keluar dari sebuah kompleksitas permasalahan kemacetan kota dibutuhkan penataan sistem transportasi kota yang terarah, terencana dan manusiawi. Disertai penerapan larangan demi tertib berlalu lintas yang penuh konsekuen. Sebab akar permasalahan sering tidak bisa diurai dan dicari solusi karena belum mampu dalam menyiapkan sarana dan prasarana pendukung kebijakan. Padahal efek yang didapat dari penataan lalu lintas yang baik menjadikan pengurangan waktu tempuh perjalanan (tidak mengurangi produktivitas kerja), mengurangi kepadatan lalu lintas serta penurunan polusi udara (CO2), karena emisi gas karbon dari kendaraan yang antre terjebak. Begitu juga tingkat kecelakaan menjadi berkurang sejalan dengan budaya tertib berlalu lintas bagi warganya. Kebijakan tertib berlalu lintas bagi pelajar, berdasarkan laporan dari Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan informasi (Kadishubkominfo). Data jumlah kendaraan di Kota Surakarta sudah terlalu banyak, naik 36 persen tahun 2011 sedanggkan kapasitas jalan menurun dengan pertambahan prasarana hanya sebesar 0,2 persen. Sedangkan Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) Polresta Surakarta mengatakan bahwa pelanggaran terbesar dalam berlalu lintas dilakukan anak remaja usia 16–21 tahun (usia sekolah). Dari pelanggaran yang ditangani, pelakunya merupakan pelajar SMP/SMA yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), rata-rata di atas 400 kasus. Dari data tersebut jumlah yang meninggal dijalan mencapai 18 0rang (April 2013). Mengatasi kemacetan dan meminimalisir angka kecelakaan, tidak hanya dengan cara pengalihan jalur berlalu lintas yang selama ini dilakukan. Diperlukan kebijakan publik yang ”menyengat” warga dengan Peraturan Daerah (Perda) dan aturan yang keras. Sedangkan dalam upaya mengurangi mobilitas kendaraan dan kecelakaan, pembatasan dan penerapan aturan penuh disiplin, tertib dan ketegasan sanksi tanpa pandang bulu. Oleh karena itu upaya penertiban bagi siswa yang belum memiliki SIM untuk tidak ”berkeliaran” di jalan raya, merupakan salah satu langkah yang baik. Hal itu jelas tercantum dalam UU Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas, dalam pasal 77 ayat 1 bahwa Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. Pasal 81 ayat 1, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Serta telah berusia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D (pasal 45 ayat 2 a). Demi budaya tertib, aturan yang sudah diundangkan wajib diketahui, dipahami dan ditaati bersama. Namun demikian seyogianya dalam penerapan ini juga diimbangi dengan penyiapan infrastruktur yang memadai, seperti penyiapan angkutan pengumpan (feeder) dengan pengadaan dan pembangunan shelter atau biasa dikenal dengan pemberhentian bus sekolah di tempat strategis. Nurahmands (2009) mengusulkan untuk mengatasi kemacetan dari Pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi, tarif parkir progresif dan penyediaan transportasi publik yang nyaman. Penulis sendiri menambahkan dengan penataan bagi pedagang kaki lima, penataan parkir liar, pengoptimalan peranan jalan yang sudah ada, konsistensi aturan dan pembiasaan warga untuk berlalu lintas yang baik. Sebab sering ditemui sehari-hari mulai pejalan kaki, pengemudi sepeda dan becak tidak memanfaatkan jalur yang semestinya. Begitu juga tingkat pelanggaran yang dilakukan warga termasuk pelajar. Dengan terbatasnya wilayah Kota Solo dengan luas wilayah 44,04 kilometer (2008) dan tanah milik Pemerintah tinggal 4-5 hektare saja, maka menambah kapasitas jalan merupakan hal yang tidak memungkinkan dan kurang manusiawi. Karena menambah dan perluasan jalan berarti pelanggaran hak milik warga yang mungkin terkena penggusuran. Namun tertib berlalu lintas merupakan bagian dari budaya. Oleh karena itu budaya tertib tidak hanya sebuah slogan tetapi butuh kesadaran dan kesungguhan pengguna jalan termasuk pelajar. Demi ketertiban bersama, ketegasan menjadi kunci utama dalam mengapresiasi keputusan bersama yang telah menjadi kesepakatan. Imajinasi Kota Solo dalam tertib berlalu lintas, tanpa kemacetan, kerinduan udara segar, nyaman dan asri sebuah dambaan warga. Pertanyaan krusial, bagaimana dengan siswa yang berkendaraan (usia transisi 16-17 tahun) yang terpaksa berkendaraan karena situasi dan kondisi yang ada? Adakah rekomendasi atau tetap ditindak dengan penerapan sanksi yang ada. Silakan di diskusikan lebih lanjut. FX Triyas Hadi Prihantoro (guru dan pemerhati pendidikan)

No comments: