Friday, September 06, 2013
Semua Guru Wajib Sarjana
OPINI harian Joglosemar 7/9/13
oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro
(guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)
Kebijakan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menargetkan seluruh guru di seluruh Indonesia minimal berkualifikasi S-1 pada tahun 2015. Layak didiskusikan lebih lanjut. Apakah terjadi sinergi berkenaan kualitas (Sarjana) dengan kuantitas (jumlah) seluruhnya dari sekitar 2,9 juta guru di Indonesia?
Sering kali dalam ranah kehidupan pendidikan di Indonesia, keagungan yang muncul selalu dilihat dari sisi kuantitas belaka. Bisa dilihat setiap pelaksanaan Ujian Nasional (UN) hampir semua sekolah, daerah menargetkan lulus 100 persen kuantitas dengan mengabaikan sisi kualitas.
Menjadi keyakinan guru berkualitas minimal bermodal Sarjana ? Menjadikan mutu dan kualitas pendidikan menjadi lebih baik. Menjadikan pembelajaran lebih aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan (PAIKEM) dengan hasil akhir yang dicapai tidak mengecewakan. Kehendak Kemendikbud dengan target bahwa guru harus S-1 memang baik. Namun bagaimana dengan guru senior yang sudah mendekati pensiun? Apakah mereka juga harus dipaksakan untuk belajar guna meraih S- demi tuntutan profesionalitas.
Pasalnya ada ancaman bila tahun 2015 belum mencapai gelar Sarjana akan dijadikan tenaga administrasi (tenaga kependidikan). Menunjukkan keseriusan dan ketegasan Pemerintah dalam upaya mensejajarkan tingkat pendidikan dari semua jenjang. Banyak tudingan kegagalan pendidikan diakibatkan guru yang kurang mumpuni (berkualitas) dari sisi akademis. Bisa sebagai bentuk keprihatinan mutu pendidikan, juga sebagai bentuk realisasi amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU N0. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Dalam pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dinyatakan pendidik (guru) merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Kemampuan aspek pelatihan, penelitian dan analisis hanya dimungkinkan bagi guru yang telah menyelesaikan program pendidikan Sarjana (meski belum jaminan). Sebab materi tersebut menjadi salah satu mata kuliah yang harus lulus di Lembaga pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) dari Universitas.
Maka demi menjadi guru profesional dengan berbagai tugas tanggung jawabnya, menjadikan sebuah kewajiban bila guru harus selalu mampu mengimbangi dan mengikuti perkembangan. Era kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menjadikan guru tanggap dan cepat bereaksi, beraplikasi, berintegrasi dan penuh inovasi. Mental semangat pembaharu dengan mampu menjadi inspirasi bagi siswanya.
Kritikan Hu Wen Chiang (pakar pendidikan Taiwan) di Indonesia belum banyak guru yang bisa menjadi inspirasi bagi siswanya untuk maju. Tidak banyak guru yang harusnya bisa membantu peserta didik mengeksplorasi pikirannya. Guru ternyata hanya sekadar mengajar.
Atau, guru sekadar memindahkan informasi dari buku yang dibacanya untuk disampaikan kepada peserta didik di depan kelas. Akibat menyedihkan dari kondisi ini, peserta didik tidak punya kemampuan menganalisis. Karena pendidikan adalah soal mind set (pola pikir) dan ini merupakan tanggung jawab seorang guru
Sebuah keniscayaan seorang guru dapat berpartisipasi sempurna dalam pendidikan jika tak menunjukkan kualitas diri. Oleh karena itu guru harus bersikap tulus untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan diri sendiri dengan tetap tekun dan selalu belajar kapan pun dan pada siapa pun.
Guru masa kini dituntut mampu meninggalkan cara mengajar pola lama yang semula memakai satu arah (transfer knowledge) jadi dua arah agar siswa lebih aktif di kelas. Guru tidak hanya sebagai fasilitator dan tidak tak sekadar membantu atau pengambil keputusan instruksional di kelas. Namun juga harus mampu berperan sebagai konselor, motivator, dan moderator bagi siswa. Cara paling efektif dengan menerapkan pola pembelajaran dua arah, sehingga guru tidak satu-satunya orang yang aktif di kelas.
Guru agar dapat memainkan peranan dengan baik dalam dunia pendidikan, guru harus senantiasa membelajarkan diri, autodidaktif. Tak ada alasan lagi bagi guru untuk tidak belajar. Sediakan waktu setiap hari untuk menyentuh buku yang bermanfaat dan menambah wawasan berpikir. Dengan harapan, kita semua dapat menjadi guru berkualitas agar bisa mendidik murid menjadi sumber daya manusia berkualitas ( Zulnaidi.2010).
Dukungan
Inilah tantangan yang harus dihadapi setelah semua guru bergelar S-1. Mengubah mindset, mental, kebiasaan dan budaya gaptek yang turun temurun menjadi lebih aktif dan kreatif. Jelas sekali guru tidak bisa hanya monoton dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), sebab perkembangan TIK, bisa terjadi tiap saat. Bisa terjadi siswa lebih tahu, paham dan pintar dalam bidang tertentu daripada gurunya.
Guna merealisasikan rencana ini perlu dukungan masif dari stakeholder pendidikan. Sebab tanpa sebuah pengawasan dari orangtua siswa, masyarakat (LSM) dan monitoring serta evaluasi terstruktur, kewajiban program ini akan sia-sia. Mental guru akan kembali kepada pola lama.
Peningkatan S-1 bagi guru merupakan kewajiban Pemerintah untuk ikut membiayai. Sesuai Pasal 13 dan 24 UU 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidikan bagi guru baik berstatus PNS ataupun guru swasta.
Dari data Kemendikbud Agustus 2010. Guru berijazah SMA sebanyak 213.678 orang (PNS) 319.667 orang (swasta), D1 sebanyak 26.838 orang (PNS) 28.929 orang (swasta), D2 sebanyak 537.174 orang (PNS) 260.898 orang (swasta) dan D 3 sebanyak 65.999 orang (PNS) 54.830 orang (swasta). Namun bukan hanya dukungan biaya bagi total sekitar 1, 5 juta guru yang belum bergelar S-1.
Rencana Pemerintah akan memberikan subsidi per tahun kepada 360.000 orang, masing-masing Rp 3,5 juta/tahun untuk menyelesaikan program studi S1. Peraturan UU No 14/2005 sudah mengamanatkan pula bahwa bupati dan walikota juga tidak boleh menerima guru baru berpendidikan di bawah S1. Seluruh bupati dan walikota harus meningkatkan kualifikasi guru sebelum tahun 2015.
Guru yang berkualitas (S1)diharuskan bisa mengimbangi, mengikuti pemenuhan standar nasional pendidikan yang diharapkan dalam UU Sisdiknas. Kolaborasi dan elaborasi guna memenuhi atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga ke pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian.
Hu Wen Chiang mengatakan ada empat tipe guru berkualitas Pertama, guru bisa memindahkan informasi dari buku ke peserta didik di depan kelas. Kedua, guru yang bisa menjelaskan sebuah masalah atau bahan ajar. Ketiga, guru yang bisa menunjukkan bagaimana materi ajar dengan baik. Keempat, paling ideal, adalah guru yang bisa menjadi inspirasi bagi muridnya untuk maju (Kompas 5/4/10)
Hal ini juga harus bersinergi dengan kualifikasi yang wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Memiliki kompetensi kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional melalui pengembangan guru dalam pelatihan, seminar dan penulisan karya ilmiah.
Seyogyanya guru bisa bersinergi dari segi kuantitas dan kualitas. Anggaran yang besar jangan sampai mubazir, dibutuhkan kemauan, dorongan dan semangat guru untuk selalu terus maju. Namun dibutuhkan aturan kebijakan humanis, bagi guru yang mendekati pensiun. Begitu!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment