Sunday, May 19, 2019

Konsistensi Zonasi menghilangkan Kastanisasi

Opini Tribun Jateng 22/1/19

oleh FX Triyas Hadi Prihantoro

Pendidikan merupakan hak mutlak setiap warga Negara maka butuh keadilan dan pemerataan. Dibuktikan perhatian Pemerintah terhadap kelangsungan sekolah dalam jenjang maupun situasi kondisi apapun tidak boleh dibedakan. Seperti diungkapan menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, agar seluruh Dinas Pendidikan se-Indonesia dapat konsisten dalam menerapkan kebijakan pengelolaan pendidikan berbasis zonasi.

Sistem zonasi merupakan upaya pemerataan dengan salah satu tujuannya mempermudah pemetaan kebutuhan siswa di daerah. Mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga, menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah. Khususnya di sekolah negeri membantu analisa perhitungan kebutuhan dan distribusi guru.


Mendikbud meminta sekolah konsisten melaksanakan sistem zonasi. Sistem zonasi efektif mencegah sistem jual beli kursi sekolah dan menghilangkan kastanisasi. Roh sistem zonasi adalah terciptanya pendidikan yang merata dan berkualitas sebagai wujud realisasi kebijakan Presiden. Menjadi ideal saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sehingga dapat berjalan secara objektif, akuntabel, dan transparan. Zonasi diatur dalam Permendikbud No. 14 tahun 2018 bahwa sekolah yang diselenggarakan pemerintah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekatndari sekolah, paling sedikit sebesar 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Dasarnya pemenuhan pendidikan kepada semua warga negara akan meningkatkan taraf hidup bangsa agar tak ketinggalan dan sejajar dengan bangsa lain. Menjadi pemikiran bersama bahwa kondisi riil dalam pendidikan terjadi disparitas (kesenjangan) dalam persekolahan. Maka upaya konsistensi zonasi (rayon) dalam PPDB butuh realisasi dan aplikasi. Karena dalam menetapkan radius zona, pemda harus melibatkan musyawarah/kelompok kerja kepala sekolah (MKKS). Penetapan zonasi harus melihat dan berasakan obyektifitas, transparansi, akuntabilitas, nondiskriminatif, dan berkeadilan.

Pendidikan berbasis zonasi sebagai bentuk konsistensi perubahan paradigma dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud), tentang eliminasi kastanisasi sekolah. Sekolah miskin (swasta/negeri) dengan sekolah unggulan/favorit sama derajatnya. Jenjang pemisah yang kasat mata dihilangkan, dengan pendidikan yang sederajat, sejajar dan bermanfaat melalui zonasi. Selain meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan peserta didik, zonasi juga berefek pada guru yang tidak hanya mengajar siswa yang pintar, namun mengajar yang tidak pintar menjadi pintar (Muhadjir Effendy.2018).

Oleh karena itu himbauan dari Direktur Pembinaan SMA Kemedikbud, Purwadi Sutanto butuh diperhatikan dan ditaati bersama oleh MKKS, patuh terhadap permendikbud nomor 14 tahun 2018, begitu pula kepatuhan masyarakat memanfaatkan jalur zonasi. Selain akan mengurangi biaya transportasi dan kemacetan, jalur zonasi juga memberikan kesempatan berbagai jenis siswa untuk mendaftar SMA dan masyarakat turut memiliki. Jalur zonasi umumnya berkisar 30-50 persen dari keseluruhan peserta didik baru. Efek domino zonasi, berjalan kaki ke sekolah sebagai bagian dari mata pelajaran.

Zonasi dapat “menyelamatkan” sekolah “ terpinggir” dan swasta. Ketika Sekolah swasta yang mulai "runtuh" dengan kehabisan siswa, akibat diskriminasi dari kebijakan. Setelah terjadi sengkarut, discissionmaker (penentu kebijakan) baru kebingungan untuk menyelamatkannya. Sebab "hancurnya" sekolah berimplementasi pada masalah baru yang jauh lebih kompleks.

Upaya pendidikan berbasis zonasi sebagai bentuk tanggung jawab kemendikbud. Seperti dikatakan Mendikbud bahwa pemerintah tidak ingin terjadi diskriminasi dalam dunia pendidikan. Ditekankan bahwa sekolah tidak boleh menerima siswa dengan menerapkan kualifikasi akademik tertentu. Dengan harapan, tidak boleh terjadi lagi siswa yang memiliki nilai tinggi dapat sekolah yang favorit, sedangkan siswa yang tidak memiliki nilai tinggi mencari sekolah di tempat yang nilainya di bawah sekolah favorit. Zonasi juga dapat mendorong kreatifitas pendidik dalam pembelajaran karena peserta didiknya lebih heterogen.

Dengan ketentuan tersebut, PPDB dapat berjalan secara objektif, akuntabel, dan transparan. Penerapan Zonasi dapat mengakomodasi dan melindungi siswa tidak mampu agar mendapatkan sekolah negeri yang dekat dengan daerah domisilinya, dan menghentikan praktik jual beli kursi saat penerimaan peserta didik baru. Pendidikan berbasis zonasi, sebuah kebijakan demi keadilan pendidikan. Sebuah realisasi zonasi, menghilangkan label sekolah unggulan atau favorit (Purwadi. 2016)

Keadilan pemerataan

Maka Pemerintah Daerah (Pemda) dalam memetakan (zonasi) demi pemerataan sistem pendidikan di wilayahnya dengan berbagai kajian yang melibatkan stakeholder pendidikan semakin mantap dan yakin. Zonasi sebagai upaya keadilan, peningkatan mutu serta relevansi efisiensi manajemen pendidikan dalam pengalokasian APBD. Butuh ketegasan dalam pembuatan prosedur pelaksanaan dari dinas pendidikan, juga melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaanya butuh transparansi tim yang bersifat independen dan tegas.

Perencanaan yang terarah, berkesinambungan dan berkeadilan merupakan dambaan bersama. Demi menghindari dikotomi sekolah “terpinggir,”swasta dengan sekolah favorit (negeri). Penerapan zonasi apabila dipatuhi maka akan tercipta pemerataan yang berkualitas. Sehingga anak seluruh anak Indonesia bisa mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan bermutu secara hakiki. Sistem zonasi pada PPDB akan terus berlanjut sebagai perwujudan keadilan dalam pendidikan.

Menjadikan keseimbangan dalam pemerataan, keadilan pendidikan bermutu. Termasuk konsistensi dalam pemenuhan kuota berdasarkan perimbangan bagi siswa yang kurang mampu untuk mendapat kesempatan memilih sekolah unggulan karena nilainya memenuhi syarat. Dengan demikian ketegasan aturan zonasi memupuk kesadaran masyarakat akan keadilan dan kepercayaan kepada aturan pendidikan, bahwa mutu sekolah dalam pendidikan bersifat sejajar dalam kualitasnya. Zonasi juga membantu pemerintah daerah dalam memberikan bantuan/afirmasi yang lebih tepat sasaran dan berkeadilan.

Zonasi demi menghindari diskriminasi dan mewujudkan rasa keadilan. Bila kebijakan ini berjalan dengan sungguh dan konsisten. Penulis yakin dengan zonasi, peserta didik golongan ekonomi menengah keatas tidak mengelompok pada sekolah favorit. Sehingga tidak lagi terjadi kegalauan sekolah swasta yang semakin terpinggirkan. Karena “terpinggir” identik kemiskinan dan tidak bermutu, banyak peserta didik lemah akademis dan ekonomi. Stakeholder pendidikan wajib menjaga, mengawasi dan mengamankan zonasi pendidikan guna menghilangkan kastanisasi. Dan pemerintah daerah dalam PPDB berbasis zonasi wajib, harus dan tegas membuat kebijakan daerah yang mengacu kepada Permendikbud No. 14 tahun 2018. Semoga!

FX Triyas Hadi Prihantoro (Guru SMP Pangudi Luhur Domenico Savio Semarang)

No comments: