Tuesday, November 08, 2016

Semangat Pahlawan, Benih Nasionalisme

Opini, Tribun Jateng 8/11/16

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Sebagai bangsa Indonesia wajib paham dan mengerti arti pahlawan. Begitu pula setiap tanggal 10 Nopember secara sadar dan penuh keikhlasan memperingati hari pahlawan, Sebagai bentuk penghormatan atas pengorbanannya dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Namun dalam memperingati hari pahlawan tidak hanya mengenang peristiwa 10 November 1945. Yang merujuk pada peristiwa pertempuran arek-arek Surabaya melawan tentara Belanda, atau Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA), dengan didukung tentara Inggris. Pertempuran ini dianggap sebagai pertempuran monumental pada masa revolusi dan menjadi simbol nasional perlawanan Indonesia terhadap imperialis asing.

Sebagai perenungan kita menjadi bangsa yang beradab dan memaknai pahlawan yang saat ini sedang berada dalam krisis Nasionalisme. Persatuan dan kesatuan sebagai harga mati, menjadi bangsa yang nasionalis. Mengesampingkan dan mengeliminasi perbedaan dan pertentangan antar idiologi politik, antar kelompok primordial, inter idiologi politik dan inter kelompok primordial. Yang mana benih-benih tersebut mulai tumbuh subur saat ini. Semangat kepahlawanan dibutuhkan demi integritas bangsa dan negara dalam semangat nasionalisme.

Semangat kepahlawanan dengan membangun kesadaran untuk peduli nasib dan masa depan bangsa. Membangun bangsa dalam “rumah besar” Indonesia yang harmonis. Perbedaan memang sebuah fakta obyektif. Sejak bangsa ini ada perbedaan agama, ras, etnik, suku bukanlah sumber akar masalah. Maka semangat persatuan dan kesatuan sebagai harga mati. Apalagi di semangati dengan peringatan hari pahlawan dengan semangat rela berkorban demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Banyak sekali nilai-nilai kepahlawanan yang bisa diteladani dari pahlawan bangsa kita. Namun dari semua nilai-nilai mulia kepahlawan, bisa kita peras dalam satu nilai agung: rela berkorban. Pahlawan sejati punya hati untuk rela berkorban. Sangatlah sederhana membedakan antara pahlawan dan pengkhianat karena mudah alat ukurnya. Pahlawan berkorban diri pribadi demi kepentingan banyak orang atau rakyat, sebaliknya pengkhianat mengorbankan banyak orang atau rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. (Setio Boedi. 2013)

Oleh karena itu di era globalisasi, transparan dan digital guru di sekolah wajib menumbuhkan jiwa kepahlawanan kepada peserta didik. Semangat berjuang (berkorban) tanpa pamrih, bersama - sama menyikapi segala perkembangan dan perubahan dengan tetap menanamkan rasa nasionalisme. Peristiwa dan gerakan yang muncul akhir-akhir ini di tanah air dengan masifnya demonstrasi yang berakar pada perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) menjadi bahan refleksi. Panasnya suhu politik, dengan mudahnya anak bangsa bergesekan menjelang pilkada serentak 15 februari 2017 menjadi kajian kedewasaan dari nasionalisme itu sendiri. Berbagai ujian perbedaan membuat bangsa yang mandiri dan bermartabat dalam nasionalisme.

Pasalnya saat ini dunia semakin kosmopolitan, membuat dunia makin homogen. Di era rezim media sosial penduduk dunia semakin menyatu. Futurolog John Naibist dan Patricia Aburdene (1990), homogenisasi yang tumbuh mengglobal , justru membuat kita semua berusaha akan melestarikan identitas, apakah agama, kultur, kebangsaan, bahasa dan ras. Nasionalisme mengalami gempuran dan tantangan yang hebat. Maraknya demonstrasi dalih demi demokrasi, membuat seolah persatuan kesatuan terasa memudar.

Oleh karena itu Pemerintah sebagai penanggung jawab utama sesuai tujuan Negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 45 “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Harus segera melakukan pertolongan, rekontruksi, kontrol, mengedukasi, pencerahan dan menggerakan anak bangsa untuk selalu menumbuhkan semangat nasionalisme. Cinta tanah air, bangsa dan negara dengan megeliminasi, mengurangi dan memutus segala perbedaan secara persuasif. Tidak lepas pula segala antisipasi dan upaya preventif, kuratif maupun rehabilitasi bila sudah terjadi “peperangan.”

Seperti dikatakan John F. Kennedy (presiden USA 1961 – 1963), bahwa orang Cina menggunakan dua coretan kuas untuk menuliskan kata-kata “krisis.” Satu coretan kuas berarti bahaya; yang lain berarti peluang. Di dalam sebuah krisis, kita mewaspadai bahaya tetapi melihat peluang.

Sebagai bangsa yang beradab, kewajiban kita merawat nasionalisme sebagai tugas terhormat (noblese oblige). Karena kebhinnekaan merupakan anugerah yang dimiliki. Maka wajib di jaga dan dipertahankan sampai titik darah penghabisan, seperti semangat para pahlawan.

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

No comments: