Thursday, September 29, 2016

Even Seni Menduniakan Solo

OPINI, Koran Joglosemar, 29/9/16

oleh: FX Triyas Hadi Prihantoro

Event Internasional di bulan September 2016, Festival Payung Indonesia yang berlangsung di Balekambang (23-25/9/16) dan pagelaran Solo International Performing Arts atau SIPA (8-10/9/16) di Benteng Vastenburg, semakin mengukuhkan Solo sebagai kota Budaya yang mendunia. Festival Payung yang mengusung tema " exploring Indonesia " dan SIPA dengan tema "Mahaswara."

Warga Solo yang hadir dengan penuh semangat dan antusias “setuju” dan mendukung sepenuh hati peyelenggaran dua even ini sebagai pembuktian bahwa seni, budaya menjadi bagian hidup dari habitus (budaya) masyarakat. Terbukti dukungan/ partisipasi dari peserta luar negeri. Peserta ferstival payung dari LN antara lain Brunei Darusalam, Jerman, Singapura, Thailand, Inggris dan SIPA dari USA, Zimbawe, Korea, Singapura, Spanyol, India dan Malaysia.

Banyak budayawan dan seniman lahir dari kota Solo. Dari Ronggowarsito, WS Rendra, Gesang, Ki Anom Suroto, Waljinah, Didi Kempot, Rahayu Supanggah sampai Joko Pekik. Mereka tokoh-tokoh yang menggali, mengolah, mengenalkan, “menjual” kekayaan dan kemegahan budaya tanah air (solo) dan mempromosikan ke tingkat dunia. Solo kota Budaya bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata dan olah raga. Aktualisasi kolaborasi antar departemen terkait, Pemkot, Pengusaha, Pelaku Pariwisata dan warga kota. Oleh karena itu sebagai salah satu sentra budaya, wajarlah bila dukungan dan harapan warga menjadi pemantik kota Solo semakin gumregah menjadi pusat budaya dunia.

Warisan seni

Bentuk kreatifitas seni kota Solo tidak sebatas seni tangible heritage (warisan budaya bendawi) tetapi juga intangible heritage (warisan budaya non bendawi). Maka berkolaborasi dan bersinergi. Dari nilai histories bendawi (cagar budaya) di lain pihak perilaku manusia yang bernilai dari pembentukan karakter sosial masyarakat (adat istiadat).

Selain festival payung dan SIPA, berbagai kegiatan budaya yang sudah ada (tradisi) serta event “pembaharuan” secara periodik teragendakan. MulaiJava Expo, Solo Batik Carnival (SBC) Festival Keroncong International (FKI), Solo Great Sale, Solo International Musik Etnik (SIEM), pameran seni rupa di TBS (Taman Budaya Surakarta), Indonesia Channel.

Kegiatan yang mempunyai nilai jual sama maka perlu saling berkoordinasi dengan promosi bersama. Berbagai kegiatan budaya lahir karena semangat menghadapai tantangan jaman. Niat bersama menduniakan Kota guna menarik wisatawan asing, menambah pendapatan asli daerah (PAD).

Penyelenggaraan tradisi budaya jawa juga dipertahankan seperti jumenengan raja Solo, malem sekatenan, selikuran, prosesi kirab malem sasi sura, pagelaran wayang kulit, pementasan WO Sriwedari dan ketoprak. Sedang berbagai bentuk ajang kreatifitas seni baru mulai Festival Bonrojo, Gerebek Sudiro, Festival Sriwedari, Pasar Imlek, Slamet Riyadi Art Fair, BSF (bengawan Solo Fair), STF (Solo Trade Fair), Solo Food Festival, Solo International Batik Exibition (SIBEX), Karnaval Budaya, Pameran seni rupa “Freedom Text”, keroncong, lagu dolanan bocah, parade gamelan sampai campur sari perlu evaluasi dan inovasi Perhelatan budaya tidak bisa berdiri sendiri. Karena harus menghadirkan banyak orang dari berbagai kelompok, golongan, adat tradisi, elemen masyarakat dan kepentingan lokal, nasional dan Internasional. Dukungan stakeholder menjadi kebutuhan dan kesuksesan.

Sinergi

Sinergi berbagai kegiatan budaya selama ini juga memperdayakan bangunan tua yang ada. Selain Beteng Vasternburg, Kraton Kasunan Surakarta, Pamedan Pura Mangkunegaran, Pasar Gede Hardjanagara (1930), Stasiun KA (Purwosari, Balapan dan Jebres), Dalem Poerwodingratan, Gedung Pamardhi Poetri, Gedung Bank Indonesia (Javasche Bank), Loji Gandrung, gedung Pertani, Gedung Veteran (Gedung Lowo), Gereja Katolik “st. Antonius” dan Bruderan (FIC) Purbayan, vihara Avalokiteshwara, , Gedung Brigarde Infantrie, Bekas Gedung Kodim, Gedung Woeryodingratan, kawasan monument 45 Banjarsari (villapark) dan bangunan-bangunan tua lain yang layak untuk menjadi prioritas ajang seni dan promosi tujuan wisata heritage.

Secara bergiliran menjadikan kegiatan “akbar” yang memesona. Pemkot proaktif menggandeng ISI (Institut Seni Indonesia ), elemen masyarakat yang peduli seni mulai dari SHC (Solo Hertiage Community) dan Mataya art and heritage. Sebab para pelaku seni lebih berkonsep, jernih dan berpengalaman dalam berbagai event budaya.

Aktualitas kegiatan budayai dengan pemberian ruang (public space) semisal city walk bagi pelaku seni selain sebagai stand pusat jajan (kuliner).segala promosi dan pengenalan kepada public benar teraktualisasai. Pagelaran musik (etnik, jazz, keroncong, gamelan, campursari, alat musik siter sampai klotekan) seni rupa (kaligrafi, batik, kontemporer) seni tari (jaipongan, tayuban, jaranan) seni peran (teater, pantomin, teatrikal, monolog, pembacaan puisi) di kawasan city walk yang sudah mulai sosialisasi secara terjadwal sistematis terencana. Aneka budaya menjadi daya tarik eksotisme cagar budaya.

Selain merasa melu handarbeni, optimalisasi dan sinergi dalam kegiatan tradisonal bernuansa modern menjadikan bentuk aktualita dalam menduniakan kota Solo. Keberhasilan penyelenggaran kegiatan budaya dibutuhkan tindak lanjut yang konkrit, terencana dan terarah. Oleh karena itu kebijakan Pemkot dalam melindungi, melestarikan, memperdayakannya dengan mensinergikan cagar budaya dan warisan seni sangat dibutuhkan, dikembangkan secara komprehensif.

Dukungan pelaku seni dan budaya menjadi kunci keberhasilan kota Solo dalam mengatualisasikan budaya. Pemerintah Kota wajib nguri-uri dan mendorong tumbuhnya kreatifitas warganya. Dengan memberikan ruang gerak, menumbuhkan wadah-wadah seni yang bereka ragam dan memberikan alokasi dana untuk menumbuhkan kreasi, seni yang semakin kreatif dan inovatif. Membuat masyarakat melek budaya dan teraktualisasinya estafet kepada budaya, sehingga tidak punah. Semoga

FX Triyas Hadi Prihantoro (Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)

No comments: