Monday, August 08, 2016

Kembalinya Mapel Pancasila

WACANA Nasional, SUARA MERDEKA, 8 Agustus 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

MASUKNYA Pancasila sebagai bagian dari mata pelajaran (mapel) muncul sejak Kurikulum 1964. Dalam kurikulum ini istilah Pancasila masuk dalam lima hal pokok, yaitu manusia Indonesia berjiwa pancasila; man power; kepribadian kebudayaan nasional yang luhur; ilmu dan teknologi yang tinggi; pergerakan rakyat dan revolusi. Kurikulum ini menitikberatkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana.

Dalam Kurikulum 1968, Pancasila makin bermakna. Tujuan Kurikulum 1968 menekankan pendidikan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.

Pancasila telah menjadi fondasi dalam kehidupan berbangsa bernegara dan masuk dalam pembentukan karaktrer sebagai ruh pendidikan. Dalam Kurikulum 1975, penegasan Pancasila menjadi semakin konkret sejak Orde Baru berkuasa. Pendidikan Moral Bangsa (PMP) makin kuat dan sentralistik. Menjadi alat ampuh melanggengkan kekuasaan.

Dengan penerbitan Tap MPR II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan pengamalan Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa) semua lembaga pendidikan terkonstruksi dalam norma atau nilai yang terjabar dalam 36 butir yang harus dihayati dan diamalkan. Mata pelajaran PMP sangat sakti dan ampuh, karena tidak boleh tertulis angka merah.

Bila nilai berangka merah, maka peserta didik dijamin tidak naik atau tidak lulus. Mereka harus mengulangi di kelas yang sama tahun berikutnya. PMPsangat sakral dan menakutkan. Dalam melanjutkan ke sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, peserta didik juga wajib mengikuti dan lulus penataran P4. Pancasila menjadi agitasi dan propaganda Orde Baru.

Namun produk hukum Ketetapan MPR II/MPR/1978 setelah Reformasi 1998 tidak berlaku lagi. Setelah dicabut dengan Ketetapan MPR XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR I/MPR/2003.

Mulai reformasi inilah pro dan kontra Pancasila menjadi perbincangan dan tarik ulur dimasukkan ke dalam kurikulum, dihilangkan atau dikurangi. Awal reformasi seolah Pancasila dikambinghitamkan terjadi korupsi kolusi nepotisme (KKN) masif.

Seolah pelaku KKN tidak tersentuh dan kebal, masyarakat bawah selalu menjadi korban dengan salah satu alat dan argumen ìmenentangî Pancasila. Ketika pembahasan dalam menetapkan Kurikulum 2004, Kurikulum Berbasis Konstitusi (KBK) Puskur merencanakan menghilangkannya. Untung ada salah satu anggota Puskur, dengan latar belakang konsentrasi Pendidikan Pancasila ngotot dengan argumentasi kuat.

Perubahan hilangnya ìPancasilaî dalam mapel sejak kelahiran KBK dengan nama mapel baru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Begitu pula dua mapel sebelumnya sebagai penyangga hilang (Tata Negara dan PSPB) tidak masuk lagi dalam KBK. Dalam mapel PKn inilah nilai-nilai Pancasila berkurang.

PPKn

Melihat perkembangan moral dan etika anak bangsa makin kurang menggembirakan, Komisi X mulai gerah dan mengusulkan agar Pancasila masuk lagi dalam kurikulum.

Seperti diusulkan anggota Komisi X Deddy Gumelar yang menyayangkan keberadaan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sama sekali tidak menyinggung tentang Pancasila dan kewarganegaraan. Pancasila sampai tidak diindahkan hanya karena dosa-dosa Orde Baru (Orba). Padahal kita ketahui, Pancasila ini sebagai dasar dan filosofi awal bagi pembentukan negara menjelang kemerdekaan.

Kurikulum 2013 dan implementasinya menjadikan mapel Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) lahir kembali. Pancasila kembali sakti dengan menjadi mapel inti dan tidak boleh nilai sikap dan karakternya di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Dalam Kurikulum 2013 seolah Pancasila merekarnasi dengan nilai-nilai barunya demi menyelamatkan moral dan etika anak bangsa yang semrawut. Selamat kembali mapel ”Pancasila” dalam setiap jenjang pendidikan sekolah. Karena kewajiban kita bersama menyelamatkan bangsa dan negara dari degradasi moral dan disintegrasi.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi utuh dengan semangat yang didasari nilai nilai dalam dasar negara Pancasila. Karena itu, kita perlu mencintai dan menyelamatkan Pancasila dengan nilai-nilai yang telah teruji. (57)

— FX Triyas Hadi Prihantoro, guru PPKn SMA PL Santo Yosef Surakarta.

No comments: