Tuesday, July 26, 2016

Implementasi Perlindungan Anak Sekolah Selamanya

OPINI, Tribun Jateng 26 Juli 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Beberapa catatan penulis kekerasan yang dilakukan dan dialami siswa di sekolah. Akibat di bully teman-temannya, seorang siswi membakar ruang kelas V dan VI oleh VR (11 tahun) siswi Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Ngombakan, Kecamatan Polakarto, Sukoharjo (24/5/16). Seorang siswi kelas 6 SD desa Banteng kecamatan Tersono Kabupaten Batang, Jawa tengah, disiksa 10 teman selama 3 hari di kamar mandi ( 14/4/16). Berita ironis maraknya bullying (kekerasan) di dalam sekolah semakin massif.

Maka tema Hari Anak Nasional (HAN) 2016 “Akhiri Kekerasan pada Anak,” butuh implementasi. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yimbise mengajak semua pihak bersama-sama mengakhiri kekerasan pada anak sekarang dan selamanya. Berarti sifatnya sudah tidak bisa ditunda, bagaimana stakeholder pendidikan menyikapinya?

Kekerasan di sekolah marak terjadi, baik di lakukan antar teman, kakak kelas, alumni dan guru/karyawan. Oleh karena iru berbagai kekerasan di sekolah sebagai keprihatinan bersama. Bahkan menjadi habitus (budaya) sekolah dan menjadi pembenaran.

Menjadi pertanyaan bersama, sudah beginikah perubahan perilaku yang terjadi warga sekolah. Habitus sekolah seharusnya menjadi tempat pendidikan, pengayomam, pembimbingan dan pembinaaan warga sekolah, terutama anak didik. Namun sayangnya habitus sekolah sering mengedepankan emosi melakukan tindakan yang tidak semestinya (kekerasan). Dengan melahirkan kekerasan demi kekerasan terhadap anak di sekolah.

Implementasi perlindungan anak di sekolah, Kemendikbud pernah memberi intruksi mewajibkan sekolah memasang papan informasi tindak kekerasan di serambi sekolah. Guru atau Kepala Sekolah wajib segera melaporkan kepada orang tua, menyusun prosedur untuk mencegah tindak kekerasan, membentuk tim pencegah kekerasan, dan bekerjasama dengan lembaga psikologi, pakar pendidikan dan organisasi keagamaan untuk kegiatan bersifat edukatif.

Seperti diatur dalam Permendikbud No. 82/2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan disekolah. Dengan mewajibkan memasang papan Informasi tindak kekerasan dalam upaya mencegah pelecehan, perundungan, penganiayaan, perkelahian, perpeloncoan, pemerasan, pencabulan, pemerkosaaan, kekerasan berbasis SARA dan lainnya.

Sanksi

Menyimak pendapat Seto Mulyadi (2006), jika kekerasan terhadap anak tidak dihentikan, cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Karena para pemimpin bangsa ini kelak akan terdiri orang-orang yang memiliki masa kanak-kanak penuh nuansa kekerasan.

Alibi guru bahwa kekerasan yang dilakukan kepada siswa tidak semata-mata karena bersifat instan (seketika). Meski segala cara bentuk peringatan baik secara verbal (cemooh, sindiran, umpatan, celaan) dan phisik (tamparan, jeweran, pukulan, tendakan dan sanksi (skors) serta hukuman yang paling keras (dikembalikan ke orang tua) seolah-olah dianggap angin lalu oleh siswa.

Pada dasarnya hukuman yang diberikan kepada siswa tidak boleh lepas dari koridor aturan hukum yang diberlakukan. Sebab peserta didik dalam kehidupannya di sekolah juga mendapat perlindungan hukum sesuai UU N0. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Bab III diatur tentang hak dan kewajiban Anak. Begitu juga saat antar siswa melakukan kekerasan kepada temannya.

Dalam pasal 54 secara tegas di atur bahwa Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya. Akibatnya bila kekerasan dilakukan dapat dipidana paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau denda Rp. 72.000.0000 (tujuh puluh dua juta rupiah) dan bila luka berat dapat di denda sampai seratus juta rupiah (Pasal 80 ayat 1 dan 2 UU 23 tahun 2002).

Bila terjadi kekerasan di sekolah, sanksi jelas dan tegas diberikan tanpa pandang bulu. Termasuk bila pihak sekolah (guru/Kepala Sekolah) yang terlibat dan melakukan pembiaraan kekerasan di sekolah. Prinsipnya sanksi kekerasan tidak tebang pilih, tinggal bagaimana sekolah maupun orang tua proaktif dalam menyikapinya.

Urgensi pemasangan papan informasi tindak kekerasan di sekolah. Upaya sosialisasi kepada warga sekolah (siswa, guru, karyawan dan orang tua) berkenaan dengan UU No. 23 tahun 2002 dan Permendikbud No. 82/2015 bentuk implementasi perlindungan anak sekolah. Begitu!

FX Triyas Hadi Prihantoro (Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)

No comments: