Opini, Joglosemar Senin 2 Maret 2015
oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro
Pemerintah melaksanakan wajib belajar (wajar) 12 tahun bukan lagi sekedar wacana. Hendak diberlakukan dengan asumsi program wajar 9 tahunsudah berjalan dengan baik dan sukses. Namun bagaimana dengan kesiapannya?
Untuk wajar 12 tahun, sudah disiapkan dana sekurang-kurangnya Rp. 46 triliun dari Pemerintah Pusat. Indikasi upaya penyiapan generasi muda terdidik dengan harapan mampu berintegrasi dan memiliki daya saing. Dana yang sedemikian besar diharapkan memampukan warganya menjadi bangsa yang berkualitas.
Menjadikan buah pemikiran kita bila, tingkat pendidikan yang tinggi (SMA sederajat) bisakah menjadi bangsa yang tetap rendah hati dan mau melakukan kebiasaan (kerja) sesuai kemampuan. Sebab menjadi permasalahan bersama, ketika banyak anak muda yang tidak mau lagi menekuni menjadi petani, buruh, nelayan, entreprenur, pedagang dan wiraswasta.
Petani dengan asumsi Indonesia negara agraris dengan hamparan pertanian subur. Nelayan karena wilayah Indonesia mayoritas air (laut), sehingga membutuhkan tenaga kerja yang kompeten. Seperti halnya sebuah ironi dari sebuah tulisan di kompasiana (17/5)“ Sarjana Pertanian tidak bisa “hidup” dengan memanfaatkan keahliannya di negara agraris.”
Maka layak menjadi intropeksi bersama atas sebuah, target dari kebijaksanaan yang komprehensif dan holistik. Dengan sebuah kesiapan dalam dunia kerja belum sesuai harapan, karena semua masih serta utopis dalam mencapai sasaran sesuai target. Kadang perencanaan yang muluk tidak sejalan dari konsistensi pembuat keputusan , pelaku dan subyek dari wajar itu sendiri.
Oleh karena itu, kesiapan wajar 12 tahun kadang tidak sesuai dengan harapan. Lulusan SMA sederajat sering gengsi bekerja “kasar”. Maksud Pemerintah untuk meningkatkan harkat derajat bangsa menjadi bangsa terdidik. Kenyataanya rasa sombong , individualis, egois , merasa lebih terhormat (pandai) dari tingkat pendidikan lebih mengemuka. Dibandingkan rasa rendah diri dan kekuatan batin untuk semangat maju dengan usaha, perjuangan dan kerja keras.
Banyak kasus terjadi lebih baik kerja di pabrik sebagai buruh dan menganggur di kota besar. Daripada mengolah tanah pertanian, menjadi nelayan, tukang kebun, pegiat seni dan pekerjaan lain sejalan dengan potensi yang dimiliki. Dengan demikian jadilah pengangguran intelektual yang sangat membebani
.
Realitas
Kehendak wajar 12 tahun harus melihat realitas ditengah kondisi kehidupan masyarakat kita yang sesungguhnya. Upaya peningkatan kualitas pendidikan ditengah segala bentuk kemunafikan peningkatan mutu itu sendiri. Anomali pendidikan menjadikan paradok kehendak visi misi dan tujuan pendidikan ideal.
Seperti dalam kebijakan Pemerintah saat wajar 9 tahun dalam evaluasi dalam bentuk Ujian Nasional (UN). Untuk tingkat SMP diintruksikan adanya kelonggaran dalam pengawasan dan kemudahan dalam penilaian sehingga diharapkan tingkat kelulusan tinggi.
Besarnya prosentase kelulusan yang mendekati angka seratus prosen, dinyatakan keberhasilan wajar 9 tahun. Lalu apa jadinya bila realisasi wajar 12 tahun, apakah ada jaminan mutu kualitas pendidikan. Sebab kemampuan lulus tidak sebanding dengan kualitas kesiapan dalam melanjutkan studi dan bekerja.
Ketidakmampuan mutu lulusan dilihat dari kesiapan kerja. Wajar 12 tahun membutuhkan kesiapan arah dan pedoman. Bila sekarang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sedang menjadi idola, maka wajar 12 tahun tentu lebih dispesifikasikan/ mengarah pada pendidikan SMK.
Dengan demikian alokasi dana yang dianggarkan akan tidak sia-sia. Biarkan mereka (siswa) yang memiliki kemampuan financial lebih (kaya) diarahkan masuk SMA dan bukan bagian dari wajar 12 tahun. Karena lulusan SMA sendiri, sebagai langkah dasar untuk menuju pendidikan profesional di Perguruan Tinggi.
Bila melihat realitas fakta tingkat pertumbuhan ekonomi stagnan. Bahkan ada yang mengatakan terjadinya penurunan tingkat pendapatan dan angka pengangguran semakin meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pengangguran per Februari 214. Tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 5,7% atau 7,15 juta jiwa. Angka tersebut turun dibandingkan Februari 2013 yang sebesar 5,82% (7,2 juta jiwa) maupun Agustus 2013 yang 6,17% (7,41 juta jiwa)
Maka memang perlu sebuah kesiapan dalam program wajar 12 tahun. Sehingga tidak lagi mencetak penggangguran namun menciptakan tenaga kerja profesional yang siap ditempatkan dimana saja dan level apa saja sesuai dengan keahlian dasar.
Siap
Wajar 12 tahun butuh kesiapan mental, material dan spiritual. Berarti tingkat kemampuan dan penghargaan bila bekerja sejajar dengan Pegawai Negeri SIpil (PNS) golongan IIA. Padahal Pegawai Golongan II A dengan masa kerja 0 tahun mendapatkan gaji pokok sebesar Rp 1.320.300.
Ironisnya tuntutan umah minimum regional (UMR) sebesar Rp. 1 jutapun sulit direalisasikan. Rata-rata penghargaan untuk buruh hanya sekelas lulusan pendidikan dasar. Meski jaman sekarang kebanyakan lulusan SMA sederajat . Sebab untuk lulusan SMP hanya mampu menembus menjadi pembantu rumah tangga.
Dengan demikian perlu dipikirkan, benarkah wajar 12 tahun Pemerintah sudah siap untuk menyetandarkan pendapatan yang harus diperoleh bila lulusannya hendak bekerja. Langkah yang sangat berani ditengah ketidak mampuan memberikan kesejahteraan hakiki kepada warganya.
Sebab menjadi kerprihatinan bersama, angka kemiskinan masih tinggi, Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang, atau bertambah 110 ribu orang jika dibandingkan dengan periode Maret 2013 sebesar 28,17 orang. Di Solo raya sendiri rata rata 25 persen rakyat miskin di kabupaten kecuali kota Solo.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini, ada dua hal yang dapat dilakukan untuk menekan angka kemiskinan. Pertama, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang tidak produktif secara ekonomi. Kedua, masyarakat miskin yang berada pada usia produktif harus bekerja.
Atau sudahkah kemampuan wajar 12 tahun sesuai dengan kualitas yang diharapkan demi menekan angka kemiskinan? Sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar memperoleh pendidikan layak.
Hal itu dipikirkan, saat pengelolaan pendidikan masih corat marut dengan amburadulnya pelaksanaan UN 2014 dan kekurang jelasan pelaksanaan kurikulum 2013 sampai akhirnya dibatalkan. Serta masih terjadinya penyunatan bantuan pendidikan (korupsi), kasus kekerasan di sekolah, plagiatisme intelktual, serta gedung sekolah masih banyak yang kurang layak (rusak) termasuk kekurangan kelengkapan sarana prasarana.
Maka wajar 12 tahun bisa dikatakan harus disiapkan secara holistik dan matang. Uji kelayakan dan kepatutan dengan penelitian dan pengembangan (litbang) sebelum menjadi kebijakan komprehensif. Yang nantinya menghasilkan generasi “emas,” dengan adanya kelebihan demografi. Sudah siapkah?
FX Triyas Hadi Prihantoro (pendidik SMA di Surakarta)
No comments:
Post a Comment