Opini, Harian Joglosemar, Senin 16/2/15
oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro
Sejak Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 tidak lama kemudian digulirkan pula Buku Sekolah Elektronik (BSE).Waktu itu, diharapkan dapat mengurangi terjadinya pemaksanaan penjualan buku di sekolah yang cenderung terjadinya mark-up(penggelembungan harga). Maka, BSE dapat di-download secara gratis.
Wajib beli buku pelajaran di sekolah ibarat memelihara dan melegalkan korupsi di sekolah. Guru dan sekolah seolah terlindungi oleh kebutuhan buku pelajaran yang harus dimiliki oleh peserta didik guna meningkatkan dan mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.
Maka, buku murah yang mudah diunduh karena sudah dibeli oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud). Secara gratis, dapat digunakan dan dipakai oleh peserta didik (masyarakat) yang membutuhkan.
Namun sayangnya sosialisasi, kemampuan dan ketersediaan sarana pendukung melalui minimnya jaringan internet secara massif. Begitu pula lemahnya sumber daya manusia (SDM) dari pendidik dan peserta didik yang malas dan lemah dalam penguasaan sistem teknologi informasi komunikasi.
Maka meski berlakunya KTSP dan adanya BSE tidak mengurangi kegiatan pembalajaran dengan pola lama. BSE hanya dimiliki oleh pendidik guna sebagai buku pegangan dan alat bantu proses pembelajran.
Sedangkan peserta didik lebih banyak berpola lama dalam aktifitasnya. Memiliki dan menggunakan buku pelajaran yang diwajibkan guru. Memilki buku catatan untuk menyimpan data buku latihan soal atau catatan.
Dengan mencatat beberapa hal yang dianggap penting, banyak latihan soal. Membiasakan peserta didik tetap mampu mengasah keterampilan dalam menulis. Kegiatan menulis secara manual dengan menggunakan alat tulis merupakan hasil dari budaya kehidupan manusia.
Berganti
Namun, sejalan dengan pergantian Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Pendidikan Menengah. Serta massifnya era digital dalam kehidupan manusia Indonesia. Mendikbud Kabinet Kerja, hendak mensosialisasikan dan mengganti BSE dan kegiatan belajar mengajar dengan fasilitas e-sabak.
Pemerintah akan mengganti buku pelajaran dengan sabak elektronik (e-sabak) berbentuk tablet. E-sabak dinilai mampu meningkatkan efisiensi dalam distribusi buku ke sekolah. Sebab, selama ini biaya pengiriman buku baik di wilayah Jawa maupun luar Jawa sangat besar. Demikian diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan.
Program sabak elektronik menjadi upaya pemanfaatan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK). Alat yang digunakan sebagai sarana untuk memasukkan buku teks pelajaran ke perangkat elektronik. Pada fase pertama e-sabak tidak terkoneksi dengan internet, namun sudah memuat semua materi pelajaran.
Lebih Lanjut Menteri Anies Baswedan menyampaikan, dengan e-sabak, peserta didik di wilayah Terdepan, Terluar dan Teringgal ( 3T) bisa mendapatkan pengetahuan dan informasi yang sama dengan mereka yang tinggal di kota besar.
Namun, yang menjadi perhatian penulis bukan masalah pemerataan dan keadilan dalam memperoleh materi pelajaran. Perubahan era analog (manual) menuju digitalisasi akan menggerus dan menghilangkan kebiasaan dalam menulis. Padahal menulis bagian dari budaya, karena akan menjadi sebuah prasasti (tertulis). Sehingga,sejarah peradaban bangsa dapat terbaca dan dilestarikan.
Saat ini saja sudah sangat dirasakan dengan kemajuan TIK dan sarana pendukungnya setiap manusia sudah mengalami dehumanisasi. Kemajuan TIK berefek transparansi segala informasi dan minimnya filter dalam transformasi budaya yang serba cepat, mudah dan setiap saat (real time).
Yang jauh menjadi dekat, sebaliknya yang dekat menjadi semakin jauh. Seperti contoh dalam kehiduan keluarga satu rumah. Orangtua maupun anak dalam satu atap mulai malas berkomunikasi secara langsung (tatap muka) namun dengan menggunakan piranti elektronik sebagai mediatornya (tab, Path, handphone).
Oleh karena itu, dalam era digitalisasi dan perubahan pembelajaran dan bergantinya buku pelajaran dengan mengandalkan e-sabak. Penulis yakin generasi mendatang tidak akan mampu untuk menulis secara manual di atas kertas ataupun sarana lainnya.
Penulis bisa merasakan saat anak-anak Balita sudah asyik dengan alat elektroniknya. Baik sebagai sarana bermain maupun belajar membaca. Piranti ektronik sudah menjadi teman dekat dan “kekasih.”
Ketika mereka sudah mampu dengan cepat membaca huruf, kalimat dan mengerti artinya. Para orangtua sudah gembira bukan kepalang dan merasa bangga secara berlebihan. Namun, saat anak anak yang sudah mampu mengeja huruf dan mengartikan sebuah kalimat. Saat dimintakan menulis abjad, namanya sendiri maupun menulis angka. Banyak yang kurang lancar bahkan tidak mampu. Ironis sekali.
Apakah generasi muda kita kedepan akan dikorbankan demi sebuah ambisi mengejar kemajuan teknologi dengan meninggalkan pola dasar membaca, menulis dan berhitung (Calistung)? Karena pada dasarnya menulis merupakan kemampuan dasar yang akan membangun karakter manusia itu sendiri.
Melalui tulisan, seorang anak atau peserta didik sudah bisa ditebak kemampuan intelegensianya. Sehingga orangtua maupun pendidik bisa mengarahkan tujuan hidupnya kelak. Ada kaitan antara tulisan tangan dan kepribadian dan ada hubungan antara tulisan tangan dan kerja otak.
Dua pertanyaan tersebut ada di grafologi. Yaitu, ilmu yang mempelajari karakter seseorang dengan cara menganalisis tulisan tangannya. Sebuah penelitian di Amerika menyebutkan bahwa tulisan tangan sangat efektif mendeteksi kepribadian dan kesehatan.
Dalam penelitian tersebut, peneliti menemukan lebih dari 5.000 kepribadian terkait dengan tulisan tangan. Peneliti mencontohkan beberapa hal seperti orang yang menulis dengan jarak berdekatan biasanya sering mengganggu tapi senang bergaul.Tulisan tangan juga dapat mengidentifikasi kemampuan dan karakter seseorang.
Penggantian buku pelajaran dan buku tulis dengan e-sabak, jelas akan menumpulkan peserta didik dalam menulis. E-sabak yang multiguna menjadikan ketidakmampuan peserta didik dalam menulis. Karena dampak kemajuan TIK sudah sangat nampak mulai sekarang.
Seyogyanya, Kemdikbud melalui peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan tidak menghilangkan buku dan alat tulis. Sebab, menulis dan hasil tulisan sangat bermanfaat dan mulltiguna bagi masa depan anak bangsa.
Memanfaatkan dan mengotimalkan teknologi bukan berarti menghilangkan pola lama yang sudah jelas manfaat dan kegunaannya. Agar nantinya kita tidak kecewa saat anak didik tidak mau dan menolak untuk menulis, karena tidak terbiasa dan bukan bagian dari budayanya. Semoga.
No comments:
Post a Comment