Wednesday, October 29, 2014

Perjuangkan Guru Honorer

Opini Harian Joglosemar 29 Oktober 2014

Kabinet Kerja presiden Jokowi -JK sudah diumumkan dan sudah dilantik pada hari Senin (27/10/14). Tidak lama kemudian para Menteri segera bekerja setelah rapat perdana bersama Presiden dan melakukan serah terima jabatan.

Khusus Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dikembangkan menjadi dua, (kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi serta Kemendibud yang terbagi dalam Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah). Membuktikan perhatian dalam bidang pendidikan dalam kabinet baru ini sangat tinggi. Sebuah apresiasi untuk memajukan pendidikan secara holistik. lalu bagaimana dengan nasib guru honorer?

Karena sudah berkali kali aksi guru honorer melakukan demo di depan Istana Negara Jakarta. Para guru menuntut Pemerintah memperbaiki nasib dengan mengangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebuah aksi perjuangan hidup mati.

Guru honorer/ tidak tetap (GTT) melakukan aksi unjuk rasa dengan mogok mengajar demi sebuah perjuangan bukanlah berita baru. Namun bila mogoknya massal berarti menimbulkan masalah yang krusial. Selain peserta didik yang dirugikan, stabilitas sosial, ekonomi dan budaya pendidikan yang displin, tertib juga terganggu.

Sebuah penetrasi kepada pembuat kebijakan, dilakukan para guru honorer menuntut pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pengangkatannya menjadi PNS. Ditunda-tundanya pengesahan ini dianggap mengabaikan nasib guru honorer. Diskriminasi kebijakan sangat dirasakan, padahal menyangkut hidup layak.

Berdasarkan data Kemendikbud, dari 2.928.322 guru di negeri ini, ada 904.378 orang berstatus honorer. Perinciannya sebanyak 15.584 guru bantu, honor diambil dari APBN dan 57.631 guru honor daerah, honor diambil dari APBD. Serta sebanyak 831.163 GTT honor berdasar Surat Keputusan Kepala Sekolah dan honor diambil dari iuran siswa atau dana operasional sekolah.

Ironisnya gaji guru honorer masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) khususnya guru GTT. Berarti nasib mereka bagaikan hidup enggan matipun tidak mau. Kalkulasi pendapatan yang diperoleh jelas tidak memungkinkan untuk mampu memenuhi kewajaran hidup. Belum lagi dalam kegiatan persekolahan, seringkali masih dianggap sebagai ”ban serep” pelengkap pendertia. Seperti halnya ditugaskan mengganti mengajar, saat guru tetap baik PNS maupun guru Yayasan berhalangan. Kewajiban harus hadir tiap hari termasuk kegitan ekstra (sore hari). Meski beban dan tanggung jawabnya sama namun pendapatan guru honorer jauh dibawah upah minimum. Padahal guru PNS berpendidikan sarjana memperoleh gaji minimal Rp. 2 juta.

Bahkan lebih menyakitkan, dikorbankan dengan tidak diberikannya kewajiban 24 jam mengajar tiap mingg, demi guru senior atau yang sudah bersertifikasi. Pun pula kesempatan ikut sertifikasi tertutup karena hanya diperuntukan bagi guru PNS dan Guru tetap Yayasan (GTY), meski sudah mengajar puluhan tahun.

Bukan rahasia umum gaji utama guru honorer diperoleh hanya dari jumlah jam mengajar. Semakin sedikit jumlah jam maka jelas penghasilan akan berkurang. Parodi nyata dari nasib guru honorer dalam usaha mengabdikan diri demi ikut serta mencerdaskan anak bangsa. Akankah fenomena kehidupan guru honorer harus hanya diberi harapan atau janji yang tidak pasti dari Pemerintah?

Aksi unjuk guru honorer harus menjadi pembelajaran bersama. Aksi ini bukan semata demi kepentingan sendiri, pasti dipikirkan pula nasib dari peserta didik yang diampu. Pasalnya dari kalkulasi pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan tuntutan kinerja. Logikanya dalam kehidupan, kesejahteraan yang wajar akan memberikan semangat kinerja yang tinggi penuh tanggung jawab. Perjuangan demi nasib anak bangsa dan negara ini agar mampu berdaya saing dalam percaturan global. Guru honorer juga memiliki tanggung jawab moral dan sosial. Dedikasi dipertaruhkan demi ”memintarkan” anak bangsa, maka penghasilan (gaji) harus manisiawi.

Tuntutan

Pemerintah jangan hanya menutut guru honorer harus profesional dengan mengabaikan kesejahteraan. Karena selain mendidik, masih banyak tuntutan lain yang diembankan pada pundak guru. Sesuai dengan profesionalitas guru untuk mengajar, mendampingi, membimbing, mengevaluasi dan melatih peserta didik menjadi insan yang mandiri dan berakhlak mulia.

Tuntutan keprofesionalan kewajiban guru dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) selalu menjadi sorotan. Dari penilaian profesionalisme guru melalui uji sertifikasi, sikap, perilaku, mental dan keberhasilan lulusan (out put). Guru masih selalu dipersalahkan bila peserta didik melakukan kesalahan, penyimpangan apalagi bila menjurus tindakan kriminal. Masalah tanggung jawab yang sering terjadi ini tidak membedakan status guru termasuk dalam kewajiban dihadapan peserta didik dan orang tua/wali. Namun bila sudah menyangkut hak, kewajiban dan kesejahteraan jurang pemisah sangat nyata. Guru honorer selalu berstatus nomer dua. Jarang ada kesempatan (dikut sertakan) menduduki jabatan dan kepanitiaan dalam kegiatan di sekolah bila ada embel-embel mendapatkan tunjangan di dalamnya.

Layaklah “pemberontakan” guru honorer dengan aksi unjuk rasa sebagai bentuk penetrasi dalam bidang pendidikan. Negoisasi dengan fasilitator yang dipercaya menjadikan kepercayaan akan kepedulian dalam pendidikan tumbuh. Perlu diingat kesepakatan yang sudah menjadi deal dalam dunia pendidikan jangan diingkari. Sebab bila ini terjadi aksi pemogokkan akan terjadi dan mungkin lebih besar dan holistik.

Pemerintah jangan mengabaikan berbagai aksi yang bertumbuh terus menerus. Realisasi dari janji tuntutan guru honorer bentuk kepedulian dan tanggung jawab. Guru honorer yang sudah memenuhi syarat sesuai RPP mengenai pengangkatan menjadi PNS layak diprioritaskan.

Meski dalam aturan jatah pengangkatan maksimal 30 % dari GTT. Maka yang belum memenuhi syarat wajib dibantu dengan berbagai tunjangan kesejahteraan lain seperti tunjangan fungsional dari Pemerintah Daerah (tingkat I/II)

Toh anggaran pendidikan yang dikucurkan sudah memenuhi tuntutan konstitusi sebanyak 20 % dari APBN. Serta rasio guru dan jumlah peserta didik sudah ideal. Yakni 1 berbanding 15-23 sedangkan rasio maksimal 1 berbanding 15-32. Dengan demikian tidak seharusnya tidak ada lagi keluhan kekurangan guru, apabila sudah di kelola dan difasilitasi yang memadai.

Saatnya pembuat kebijakan tidak lagi main-main dengan guru honorer. Sebab di negara lain pendidikan menjadi prioritas utama pembangunan termasuk kesejahteraan guru tanpa pandang bulu. Keresahan guru honorer akan mempengaruhi proses pendidikan. Berefek pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau modal manusia (human caapital). Kualitasnya hanya dapat diperoleh dari out put sistem pendidikan dan kesejahteraan guru yang berkeadilan.

Human Caiptal merupakan investasi jangka panjang dalam negara. Karena melalui pendidikan akan menciptakan generasi tangguh, ulet, produktif, inovatif, berdaya saing,smart, berwawasan maju dan menjadi manusia berakhlak, bermoral dan beretika. Apabila guru honorer masih dipandang sebelah mata (anak tiri). Jangan kaget bila hasil pendidikan (SDM) masih selalu dianggap sebagai bangsa ”kuli” yang hanya mampu menjadi tenaga kasar (buruh) di negara lain. Karena dalam kawah ”candradimuka” pendidikan masih terjadi kecemburuan sosial dan masalah krusial.

Semoga kinerja kabinet baru yang mengutamakan kerja dan kerja, bukanlah sebuah fatamorgana. Selamat bekerja para Menteri Kabinet baru dan perjuangkan nasib guru honorer demi kesejahteraan.

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

No comments: