Tuesday, September 16, 2014

Menjadi Guru Imajinatif

Dimuat dalam Mimbar, Mingguan Hidup Katolik (Minggu ke 3 juli 2014)

Kehidupan pendidikan, melibatkan pendidik (guru), peserta didik, sarana (sekolah) dan kurikulum pendidikan. Saling bersinergi untuk mencapai tujuan, berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Profesi guru sangat rawan di kritisi dan dipolitisir demi sebuah kepentingan. Apalagi ditahun 2014 sebagai tahun Politik guru SMA sederajat menjadi strategis berkat posisi pemilih pemula sebagai "amunisi" kantong perolehan suara.

Namun dalam hal "tahun politik" bukanlah masalah penting. Yang menjadi permasalahan masih banyaknya guru yang stagnan,belum profesional, tidak tanggap akan tugas dan tanggung jawabnya. Saat peserta didik “gagal” dalam mencapai tujuan, guru sering menjadi sasaran tembak, karena dianggap kurang kridibilitas. Padahal berbagai kesempatan untuk meningkatkan keprofesionalan sudah banyak difasilitasi Pemerintah. Bila dilihat dari 2,9 juta guru di Indonesia, tidak sampai 1 persen guru inspiratif, yang penuh imajinasi melakukan inovasi. Bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama. (Rhenald Kasali .2007)

Keberanian seorang guru keluar dari kebiasaan dengan melakukan kegiatan yang positif, membawa peserta didik lebih terbuka, berani dan kritis. Guru yang kreatif, inovatif dengan keluar dari mainstreem demi kemajuan pendidikan. Disinilah seorang guru akan menjadi “idola” bagi peserta didik karena keluar dari kebiasaan guru. Yang hanya datang, mengajar dan pulang tanpa mau melakukan terobosan.

Seperti yang penulis lihat dalam kehidupan sehari hari. Dalam satu unit kerja belum tentu ada guru yang cemerlang dengan mengoptimalkan kemampuannya. Sesuai kompetensi yang diharapkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) bahwa guru diharapkan memiliki kompetensi kepribadian, sosial, akademis dan pedagogis. Namun karena statis guru tidak mau mengembangkan dirinya, karena hanya menginginkan rasa aman semata.

Padahak kesempatan sangat terbuka di era digital. Guru dapat dengan mudah mempublikasi karya-karya briliannya. Bila seorang guru mampu menulis, membuat penelitian (PTK), menghasilkan karya seni, berprestasi dalam bidang olah raga bisa mengupload (mengunggah) di media jejaring sosial atau blog pribadi. Secara otomatis akan terpublikasi prestasi atau penemuan barunya dan dibaca, dilihat banyak orang beserta komentar positif maupun negatif.

Demikian halnya bila dalam kehidupan pendidikan (sekolah) sekitar terdapat ketimpangan, penyimpangan , guru harus berani mengeluarkan pendapat. Sekali lagi untuk mempublikasikan segala uneg-uneg, dapat segera terapresiasai karena cukup terbantu dengan media massa dan media sosial yang ada. Toh guru saat ini, sudah wajib dan mampu mengaplikasikan teknologi informasi komunikasi (TIK). Guru membawa komputer jinjing (laptop), mengakses internet sudah menjadi bagian hidupnya (habitus).

Guru harus berani berteriak saat situasi dan kondisinya tidak kondusif. Guru harus berani bersuara dalam upaya menuntut hak-haknya. Namun guru juga harus mampu membuktikan kualitas, jati diri dan kemampuannya dengan banyak prestasi. Guru harus imajinatif membuka peluang dan mampu meneladani apa yang sudah dicontohkan oleh Ki Hadjar Dewantoro yang mampu menyesuaikan situasi dan kondisi.

Seperti tulisan Ki Hadjar Dewantara “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik eens Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Daouwes Decker, tahun 1913. Artikel kritis , pedas dan imajinatif bagi kalangan pejabat Hindia Belanda (Penguasa).

Berani

Apa yang menjadi sikap Ki Hadjar Dewantara dapan menjadi inpsirasi Keberanian guru dalam melakukan inovasi. Praktek kreatif dan berani yang tidak boleh ngawur namun sesuai koridor aturan yang berlaku. Pasalnya guru merupakan insan akademis, tidak asal ngomong dalam melakukan perubahan tanpa sebuah landasan teoritis keilmuannya. Sehingga sebuah tuntutan harus disertai alasan, jalan keluar dan argumentasi yang dapat dipertanggung jawabkan

Seperti Filosofi pendidikan yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara pula untuk menempatkan kemerdekaan sebagai syarat dan juga tujuan membentuk kepribadian dan kemerdekaan batin bangsa Indonesia agar peserta didik selalu kokoh berdiri membela perjuangan bangsanya. Kemerdekaan menjadi tujuan pelaksanaan pendidikan, maka sistim pengajaran haruslah berfaedah bagi pembangunan jiwa dan raga bangsa.

Dan tidak bisa juga melepaskan salah satu konsep budaya Ki Hajar Dewantoro dikenal dengan ”Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa. Maksudnya, untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. Sehingga kolaborasi konsep menjadi ide, gagasan inspiratif menjadi lebih jernih bernilai dan mencapai sasaran.

Demikian juga seorang guru harus mengunakan dasar tertib dan damai, tata tentram dan kelangsungan kehidupan batin, kecintaan pada bangsa menjadi prioritas. Karena ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan menentukan kualitas seseorang guru dalam mengaplikasikan kehidupan. Guru yang berani keluar arus, tidak sekedar berani namun mampu melihat situasi dan kondisi kehidupan bangsa dan Negara. Guru lebih kreatif dan inspiratif sesuai tuntutan kurikulum 2013 yang mengoptimalkan peran peserta didik. Oleh karena itu setiap guru menyiapkan proses pembelajaran, selalu diingatkan untuk menjadi guru yang berani berinovasi (berinspirasi). Berani dalam menyuarakan kehidupan guru yang masih tertindas (guru honor, guru kontrak) yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) dalam peroleh gaji.

Berani menolak kebijakan Penguasa yang tidak sesuai dengah ruh pendidikan. Berani melawan kesewenang-wenangan dari sebuah arogansi yang birokrasi yang sering menimpa guru, peserta didik dan institusi pendidikan. Guru yang mengutamakan kemasahalatan dan menghindar dari segala kemudaratan demi pendidikan yang humanis dengan ide imajinatif.

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

No comments: