Tuesday, April 15, 2014
UN dan Kesiapan Mental
Opini harian Joglosemar 14-4-14
oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro
Tujuan Ujian Nasional (UN) antara lain mengukur pencapaian belajar peserta didik dan mengetahui mutu pendidikan pada satuan, jenis atau jenjang pendidikan tertentu. Namun dalam implementasi kadang berubah seiring penyimpangan yang mengiringi.
Padahal evaluasi, dalam dunia kependidikan merupakan sebuah hal yang penting. Namun, kita tampaknya memang masih belum satu kata menyikapi (UN) yang kontroversial, terutama ketika menjadikannya sebagai tolok ukur kelulusan siswa.
Masih terlalu banyak yang harus kita benahi untuk menjadikan UN sebagai patok duga (benchmark) pencapaian rangkaian proses pembelajaran di negeri ini. Mulai dari disparitas kualitas proses pembelajaran, perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, hingga soal kurikulum dan kebijakan pendidikan yang terlalu sering berganti (Achmad. M. Akung 2010)
Berdasar prosedur operasi standar (POS) No: 0022/P/BSNP/XI/2013 yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP). Aturan pelaksanaan UN 2014 tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Sedikit perubahan dari bobot nilai Ujian Sekolah (40%) sebelum dipakai dalam penghitungan kelulusan yang dihitung 70 % nilai raport dan 30 % nilai Ujian Sekolah (US)..
Saat ini yang dibutuhkan tinggal bagaimana mengukur kesiapan mental spiritual calon peserta UN. Pelaksanaan UN untuk SMA/MA/ SMK tanggal 14-16 April , SMP/MTs tanggal 5 – 8 Mei 2014.. Oleh karena itu kondisi kesehatan menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam mengerjakan soal yang diujikan.
UN sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan tidak lepas dari upaya sistematis dan strategi dari Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud). Melalui BSNP segala bentuk evaluasi melalui UN dilaksanakan secara konsisten dalam mengukur pemetaan pendidikan Nasional.
Bukan rahasia umum sebenarnya instrumen utama sebuah penilaian tidak hanya dari hasil UN. Maka masih tetapnya akomodir Nilai Ujian Sekolah (US) 40 % merupakan keberuntungan atau malapetaka. Pasalnya sering di dengar dan ditemukan nilai US penuh kecurangan dengan markup nilai.
Dari beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UN SMA dan SMP sederajat masih debatebel. Mampukah hasil UN selalu dapat menjadi tolok ukur peningkatan mutu pendidikan di tanah air? Pasalnya kecurangan melalui kebocoran soal, penyebaran kunci jawaban, soal, penggantian lembar jawab dan penggelembungan nilai masih banyak ditemukan.
Hal itu sering terjadi dan sengaja dilakukan karena kesiapan mental, spiritual tiap sekolah berbeda. Baik kesiapan peserta, guru itu sendiri termasuk program sekolah yang sebagai persiapan seperti program karantina, try out ,latihan soal dan pelajaran tambahan.
Memang masih banyak kelompok masyarakat yang skeptis (khawatir) terhadap tingkat keberhasilan dalam pelaksanaan UN. Namun penulis yakin sebuah kekhawatiran akan memompa semangat peserta untuk bersiap menghadapi UN.
modus
Namun perlu di antisipasi modus kecurangan baru. Senyatanya masih ada celah terjadinya kecurangan secara sistemik. Bisa di lihat dari sistem penentuan kelulusan yang didasarkan pada rumus nilai akhir (NA) = 60 % (UN) + 40 % (US). Nilai sekolah yang berasal dari rata-rata nilai semester 1,2, 3,4 dan 5 dan US, memungkinkan terjadinya manipulasi data dengan markup (penggelembungan) nilai.
Seperti dikatakan Menteri Pendidikan kebudayaan (Mendikbud), jika sekolah berlaku curang dengan mendongkrak nilai US, sekolah tersebut akan dikenai sanksi. Nilai ujian sekolah bisa dihapus (nol) dan sekolah yang bersangkutan masuk daftar hitam.
Konsekuensi lain UN sangat tergantung kesiapan mental spritual peserta didik. Meski dengan penambahan mata pelajaran, intensitas latihan (tryout) dan tetapnya sistem penilaian. Tetapi bila mental juang siswa tidak dalam kondisi prima, maka ibaratnya peserta UN serasa tidak siap tempur. Oleh karena itu motivasi, semangat dan keyakinan akan mampu mengerjakan materi UN selalu digelorakan sejak dini.
Peran guru mata pelajaran UN, guru Bimbingan Penyuluhan (BP) dan Kepala Sekolah sebagai motivator menjadikan prakondisi menjelang UN semakin kondusif. Kesiapan diri siswa semakin kuat dan mantap. Apalagi pembekalan latihan ujian, driling soal, tryout yang sistematis menjadikan peserta semakin percaya diri. Hakekat sekolah sebagai tempat siswa berproses, berinteraksi, belajar dan berkompetisi secara sehat .
Hakekat guru
Hakekatnya guru berfungsi sebagai agen pembelajaran (Transfer of knowledge). Guru bertanggung jawab “mengolah” siswa menjadi manusia yang berbudi pekerti, berkarakter, berkualitas, bermoral dan memiliki jiwa sosial (transfer of attitude).
Bila kinerja dan tanggung jawab guru dalam melakukan pendampingan sesuai porsinya, maka siswa akan merasa diperhatikan, mental spiritualnya akan mengalami keseimbangan. Akhirnya menjadikan siap dalam menghadapi segala kondisi dan resiko, seperti halnya dalam menyongsong UN.
Dilihat dari kesiapan mental dan semangat siswa diharapkan UN tidak hanya menjadikan sasaran peningkatan mutu pendidikan semu. Dimana apa yang dihasilkan hanya sebatas “karbitan” meski penentuan kelulusan diukur dengan UN dan prestasi belajar. Harapannya Pemerintah tetap memberi evaluasi konkrit dan holistik dalam UN. Masukan dari bawah (bottom up) secara acak dan menyeluruh dari berbagai daerah menjadi sangat penting.
Seperti di impikan oleh Achmad M. Akung dengan adanya sekolah positif (positive schooling) untuk memetamorfosis negeri ini khususnya dalam menyiapkan UN. Sekolah positif (Snyder dan Lopez, 2007) adalah sebuah pendekatan dalam dunia pendidikan yang menekankan pada pentingnya peran seluruh komunitas dalam melakukan pembelajaran bagi siswa.
Kesempurnaan menuju pendidikan bermutu karena peran warga sekolah sehingga menjadi dambaan bersama. Janganlah kita tenggelam dalam eforia dengan keberhasilan menekan prosentase kelulusan di daerah masing-masing tanpa mengkritisi kebijakan UN. Menurut Doni Koesoema (2008) UN yang cacat secara mendasar dan kontraproduktif bagi pendidikan serta membiarkan korban UN berjatuhan tiap tahun merupakan perilaku kebijakan pendidikan yang tidak bertanggung jawab.
Tanpa ada keberanian untuk mengevaluasi diri, momentum pembelajaran pasca-UN akan lewat begitu saja. Meski kesiapan peserta Ujian sudah teruji. Intinya kita harus saling belajar dari kesalahan dan saling intopeksi merupakan bagian pula untuk kemajuan. Sangat risi rasanya bila UN hanya menjadikan sebuah proyek semata tanpa melihat mental spritual pesertanya.
FX Triyas Hadi Prihantoro
Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment