Thursday, March 13, 2014
Pembelajaran Kritis Memaknai Supersemar
Gagasan SOLOPOS 11 Maret 2014
oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) bila dimaknai sebagai sebuah baran bersejarah kini telah berumur 48 tahun. Rangkaian perjalanan sejarah yang cukup lama, walau sampai kini sulit untuk menguak kebenarannya.
Sejarah yang tak berhenti pasti mencatat berbagai peristiwa yang terjadi guna mengungkap kebenaran Supersemar. Kebenaran peristiwa sejarah seyogianya diungkap sebagai pembelajaran bagi anak bangsa.
Ironis dan sakit bila kebenaran sejarah dalam pembelajaran di sekolah dipelintir demi tujuan penguasa. Siswa wajib mendapatlkan pendidikan yang benar di bangku sekolah. Sebuah praktik pemendaman masalah bila generasi penerus selalu mendapatkan informasi (pendidikan) yang diragukan.
Kontroversi peristiwa sejarah tanpa didukung data yang akurat menajadi kontroversi dan polemik berkepanjangan. Kepastian materi sejarah tentang Supersemar dalam pelajaran Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan hingga kini masih absurd.
Surat yang menjadi pangkal lahirnya Orde Baru itu hinggi kini masih “abu-abu”, tanpa kejelasan. Sisi abu-abu itu berkenaan siapa tokoh yang melahirkan Supersemar pada 11 Maret 1966 itu, apa substansi aslinya, yang kemudian menjadi pangkal ”perubahan” sejarah di negeri ini.
Kebingungan, ketidakpastian, dan ketidakberanian seorang guru mata pelajaran Sejarah atau Pendidikan Kewarganegaraan untuk menjelaskan (kebenaran) Supersemar sering menjadi pertanyaan siswa yang kritis. Tranparansi Informasi menggugah siswa memilah kebenaran dan kebatilan.
Fakta menunjukkan banyak proses sejarah bangsa ”dipelintir” demi kepentingan politik dan kekuasaan belaka. Sejalan dan era keterbukaan, transparansi dan pembukaan segala akses menuju kebenaran semakin terbuka lebar, termasuk tentang Supersemar.
Kini makin banyak buku yang diterbitkan dan mengupas tentang Supersemar dan keterkaitan Soekarno dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Begitu pula secara terbuka sanggahan dan adu gagasan serta argumentasi dengan mudah diikuti, didengar, dilihat, dan dimengerti.
Berkaitan buku pelajaran Sejarah berdasar Kurikulum 2004, dalam buku paket ada yang tertulis Gerakan 30 September/PKI namun di buku yang lain kata ”PKI” tidak ada. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 lalu mengemuka perdebatan tentang bekas tahanan politik yang diperbolehkan menjadi calon anggota legislatif. Manakah yang seharusnya diikuti dan disampaikan kepada siswa?
Bahkan secara yuridis beberapa buku paket pelajaran Sejarah berdasar Kurikulum 2004 dilarang beredar oleh Kejaksaaan Agung. Buku-buku tersebut dinilai tidak sepenuhnya mencatat fakta kebenaran sejarah berkaitan peritiwa pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 dan ”pemberontakan” PKI pada 1965.
Ketidakpastian pengungkapan fakta sejarah Supersemar menjadikan pelajaran Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan sarat dengan politik kepentingan. Padahal, mempelajari kebenaran masa lalu menjadi bahan refleksi demi pembelajaran kehidupan pada masa mendatang.
Fakta sejarah selain sebagai bahan mata pelajaran resmi di setiap jenjang pendidikan sangat penting pula bagi keselamatan masa depan bangsa. Pesan Presiden I Republik Indoensia, Soekarno, jangan melupakan sejarah atau jasmerah, sebenarnya bukan sekadar kata-kata mutiara.
Sejarah merupakan bukti “kehidupan” dengan tidak mengadakan pengulangan kesalahan namun upaya menuju perbaikan masa depan yang signifikan. Sebuah kata pepatah lain, Historia docet, sejarah banyak memberi banyak pelajaran berharga bagi umat manusia.
Kepastian.
Pembelajaran mengenai Supersemar di sekolah kini menuntut transparansi, keterbukaan, dan kepastian. Pengajaran dengan metode problem solving (pemecahan masalah) menjadi salah satu pilihan dengan cara guru Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan menyiapkan materi ajar (Supersemar) dari berbagai artikel/pemikiran dari berbagai sudut pandang.
”Membenturkan” berbagai wacana dengan melibatkan siswa dalam kelompok diskusi menjadikan siswa mampu berpikir kritis. Metode ini berdampak pencerahan dan memahami sisi baik dan buruk dari peristiwa Supersemar. Sampai saat ini ”kejelasan” Supersemar memang belum terungkap.
Para pelaku yang terkait langsung dengan terbitnya Supersemar yang berjumlah sembilan orang terbagi dalam dua kubu. Kubu Soekarno mencakup Soebandrio, Chairul Saleh, Leimena, dan Sabur yang semuanya sudah meninggal. Para pelaku kubu Soekarno tidak pernah memberi kesaksian secara terang sebab mulut mereka ”dibungkam”.
Sedang kubu Soeharto mencakup M. Yusuf, Basuki Rahmat, dan Amir Machmud. Sekarang sudah tidak ada saksi hidup peristiwa Supersemar. Ketiga saksi kunci di kubu Soeharto ini semasa masih hidup sering melontarkan kesaksian yang bertentangan.
Lalu, yang mana yang merupakan sosok “pemangku” kekuasaan dan pengemban amanat Supersemar? Siapa pula yang menjadi penggagas Supersemar? Bagaimanakah seorang guru pelajaran Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan dapat memberikan penjelasan mengenai Supersemar secara ”benar”? Di mana Supersemar asli berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang merupakan salah satu sumber tertib hukum di Indonesia?
Menguti pandangan Tjipta Lesmana (2006), saat memperingati lima tahun Supersemar di Jakarta pada 1971, Soeharto mengaku dialah yang sebenarnya menjadi penggagas Supersemar. Namun, menurut Amir Machmud dalam bukunya Supersemar: Tonggak Sejarah Perjoangan Orde Baru (1985), inisiator Supersemar adalah M. Yusuf. Sedangkan Basuki Rahmat mengklaim dirinya sebagai inisiator (Basoeki Rahmat dan Supersemar. 1998).
Menurut M. Yusuf, dari Bogor dia dan kawan-kawannya ke rumah Soeharto di Jl. H. Agus Salim. Namun, menurut Amir Machmud mereka langsung ke Markas Kostrad. Dari berbagai rentetan pengakuan dan peristiwa itu menjadikan informasi dari materi ajar Supersemar di pelajaran Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan menjadi lebih ”komplet”.
Bagaimana sekarang nasib ”kebenaran” Supersemar yang pada Maret ini berumur 48 tahun? Benarkah naskah Supersemar asli telah hilang? Atau, naskah asli itu sengaja dihilangkan atau dikaburkan? Kini saatnya pihak-pihak yang berkompeten menelusuri Supersemar hingga terkuat yang asli.
Secara faktual kini sudah tidak ada sekat yang membuat pekewuh (=takut) ahli sejarah setelah wafatnya pemangku amanat Supersemar, yaitu Soeharto. Pelajaran Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013 menuntut siswa berpikir kritis analitis.
Meski sampai saat ini keberadaan Supersemar asli masih samar, guru harus kreatif mencari dari berbagai sumber, studi pustaka, dan mengimplementasikannya dalam pembelajaran di kelas.
Roeslan Abdulgani mengatakan Supersemar yang sesungguhnya berisi delegation of authority sedangkan yang palsu yang beredar kini merupakan transfer of authority. Oleh karena itu, tugas guru mata pelajaran Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan untuk bersama-sama dengan siswa mencermati dan meluruskan sejarah Supersemar.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment