Wednesday, January 29, 2014
Akulturasi Budaya di Tahun Baru Imlek
dimuat di GAGASAN SOLOPOS (30/1/2014)
oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro
Perayaan Tahun Baru China (Imlek) sudah menjadi bentuk budaya baru bagi bangsa Indonesia. Sejak ada legitimasi dari pemerintah, peringatan Tahun Baru Imlek dipastikan selalu menjadi pusat perhatian banyak orang termasuk liputan dari media massa.
Sebenarnya perayaan Tahun Baru Imlek belumlah tua. Pasalnya apabila menilik sejarah perayaan Tahun Baru Imlek (secara terbuka) baru dimulai sejak tahun 2000 atau saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Namun demikian proses pembaruan sudah terjadi lebih lama.
Ditilik dari definisinya, akulturasi sendiri merupakan sebuah percampuran dua kebudayan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi (KBBI, 2003 edisi 3 halaman 24). Nah apabila dihubungkan dengan Tahun Baru Imlek, bisa disimak betapa berbagai atraksi budaya menjelang Tahun Baru Imlek, tidak lepas dari percampuran budaya lokal yang ada. Meski secara kultural tradisi China juga masih terlihat kental. Secara formal, perayaan Tahun Baru Imlek bahkan sudah dijadikan hari besar keagamaan dan sebagai hari libur nasional.
Demikian halnya perayaan Tahun Baru Imlek menyongsong tahun kuda yang akan jatuh pada 31 Januari nanti. Berbagai persiapan untuk penyambutan sudah menghiasi berbagai media luar ruang sebagai bentuk penyambung informasi kepada masyarakat. Isi informasi itu adalah Tahun Baru Imlek (Zheng Yue) ke-2565 merupakan peristiwa istimewa dan sakral bagi warga Tionghoa.
Dengan pengakuan dari negara, Tahun Baru Imlek sebagai hari besar agama bisa dilakukan secara bebas. Tak lagi sembunyi-sembunyi. Bukan hanya itu, warga Tionghoa sebagai pemeluk Kong Hu Cu pun kini diakui keberadaanya. Mereka tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam beribadah dan meluapkan kegembiraan saat merayakan hari besar agama termasuk upacara perkawinan. Bagi masyarakat, Tahun Baru Imlek juga sebagai bentuk representasi pengakuan pemerintah terhadap keberadaan identitas masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Sebagai mana diketahui, UUD 1945 telah mengatur kebebasan warga untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayannya masing-masing (Pasal 29 ayat 2). Dengan demikian seharusnya tidak terjadi diskriminasi mengenai status warga negara apalagi agama yang diyakini.
Semua masyarakat Indonesia termasuk Tionghoa mempunyai hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang sama sebagai warga Negara Indonesia.
Tanda Alam
Saat menyongsong perayan Tahun Baru Imlek biasanya berupa iklim dan cuaca yang kurang bersahabat langsung menyapa. Itu adalah tanda-tanda alam. Bertiupnya angin yang begitu kencang sehingga sering menimbulkan angin puting beliung (lesus), curah hujan yang cukup intens biasanya selalu terjadi.
Sebaliknya penanda di tempat-tempat ibadah masyarakat Tionghoa (klenteng) dan berbagai tempat belanja (mal) adalah dominasi warna merah dan pernik-pernik yang bernuansa China (lampion, gambar/ patung naga, petasan). Tidak hanya itu, berbagai perayaan dan pertunjukkan yang berasal dari budaya China yang beralkulturasi dengan budaya lokal juga mulai dipertontonkan (Barongsay, Liong, Wayang Potehi) dal lainnya. Untuk kuliner, berbagai makanan khas Tahun Baru Imlek seperti kue keranjang, buah klengkeng, dan jeruk sudah pasti akan meramaikan pasar dan menjadi menu spesial.
Seperti halnya yang dilakukan warga Tionghoa kota Solo dalam acara Grebeg Sudiro. Acara tersebut merupakan peristiwa alkuturasi warga Sudiroprajan dalam menandai akan datangnya Tahun Baru Imlek. Sebuah perayaan dengan memperebutkan gunungan dari kue keranjang guna menyambut Perayaan Imlek 2565/2014.
Peristiwa budaya Grebeg Sudiro ala warga Sudiroprajan, Kecamatan Jebres merupakan tanda bahwa kampung tersebut meski sebagai kantong warga keturunan Tionghoa di kota Solo namun sudah berbaur dengan warga Jawa. Ribuan orang dalam rombongan kirab dan puluhan kelompok kesenian mampu menyatu dalam nadi kehidupan warga di berbagai bidang.
Gunungan kue keranjang diperebutkan sebagai bentuk perjuangan hidup manusia. Kegiatan ini membuktikan bahwa Tahun Baru Imlek sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat dan berkolaborasi dengan budaya lokal Jawa. Gunungan yang biasa dihiasi hasil bumi kini diganti dengan aneka rupa kue keranjang yang diperebutkan warga pribumi dan nonpribumi. Ini membuktikan bahwa budaya Jawa sudah masuk dalam sendi-sendi kehidupan budaya warga Tionghoa.
Gunungan sendiri sebenarnya merupakan tradisi masyarakat Jawa (Keraton Solo dan Yogyakarta) dalam upaya peringatan Grebeg Mulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar. Ritual gunungan berupa persembahan bersama merupakan bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Dengan berbagai makanan (apem) dan hasil bumi (sayur-sayuran), gunungan garebeg diarak dari dalam Masjid Agung menuju halaman keraton yang sudah penuh sesak dengan massa. Selanjutnya gunungan yang diusung abdi dalem akan diperebutkan warga setelah acara selamatan.
Menilik peristiwa itu, makna Tahun Baru Imlek bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi penting dan hakiki. Pengakuan dari berbagai pihak terkait perayaan hari besar agama secara pasti melahirkan keberagaman budaya. Sebuah akulturasi budaya dengan mengolaborasikan kearifan budaya lokal menjadikan bentuk legitimasi kebinekaan bangsa. Bukankah keragaman suku, agama, ras, kelompok, golongan, dan budaya merupakan bentuk kekayaan yang dapat dioptimalisasi keberadaanya? Oleh karena itu harus menjadi kehendak bersama bahwa kebinekaan menjadi harga mati yang wajib dipertahankan. Sebab keanekaragaman yang ada dapat dijual sebagai bentuk kemampuan dalam mengelola, mengembangkan, dan mempersatukan aneka budaya. Selamat Tahun Baru Imlek. Gong Xi Fat Chai saudaraku.
FX Triyas Hadi Prihantoro
Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment