Monday, April 15, 2013

Ke-(tega)-san Penerapan Tatib di Sekolah

Koran Sindo (3 April 2013) oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro Sekolah sebagai institusi resmi harus tegas menerapkan aturan. Termasuk tega dalam memberikan sanksi kepada warga sekolah yang melanggar aturan. Karena ketidakmampuan dan ketidakberanian menetapkan aturan, sekolah akan selalu dilecehkan. Dua peristiwa terjadi di Solo Raya, seperti diberitakan oleh harian lokal (3/3). Kasus pertama siswa di salah satu MAN di Kota Solo melawan kepada gurunya (wakasek) saat diperingatkan dengan melawan bahkan memukul gurunya. Kasus kedua saat empat orang kakak kelas mengeroyok adik kelas (Ketua OSIS) yang memberikan peringatan tentang kedisiplinan di SMP Negeri di Baturerno Wonogiri. Kedua kasus pembangkangan siwa terhadap tata tertib di sekolah. Seolah sekolah tidak berani dan tidak tegas dalam menerapkan aturan yang berlaku. Sehingga dengan seenaknya siswa berani melakukan perlawanan. Lalu bagaimana integritas dan wibawa sekolah bila tida tega menerapkan aturan secara tegas? Bullying atau kekerasan di sekolah sudah jamak terjadi. Oknum pelaku biasanya dilakukan oleh pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) menjadi korban. Oleh karena itu pelaporan dilakukan korban (siswa) beserta orang tua biasanya setelah ada visum dari dokter yang berwenang. Melahirkan gugatan maupun delik aduan dan ditindak lanjuti aparat kepolisian sebelum di vonis di pengadilan. Menjadi ironis saat aturan di sekolah dilanggar secara terbuka oleh warga sekolah (khususnya siswa). Saat siswa tidak takut lagi terhadap aturan tata tertib yang berlaku di sekolah, bahkan melawan terhadap otoritas penguasa sekolah.Disini pasti sekolah kurang berani menerapkan aturan yang berlaku, karena bisa menjadi bumerang berkenaan pelanggaran hak asasi manusia. Guru dan OSIS merupakan personel resmi yang diatur dalam Undang-Undang untuk menegakkan kedisplinan. Siswa “melawan” dan tidak ada sanksi yang tegas, transparan merupakan bentuk pelemahan lembaga pendidikan (sekolah). Bisa juga sebagai bentuk pembenaran kriminilasisasi di sekolah. Memang pada dasarnya dalam kehidupan dalam lingkungan sekolah aturan (tata tertib) yang sudah disepakati bersama menjadi tanggung jawab semua. Di manapun komitmen penegakkan disiplin diatur dan diuraikan secara berjenjang termasuk hukuman yang diberlakukan bila melakukan pelanggaran atau kejahatan. Mulai dari teguran, peringatan sampai pada sanksi. Nila melihat dua kasus, di mana siswa mulai berani “melawan” merupakan degradasi pendidikan itu sendiri. Sebuah perlawanan secara terbuka, yang sudah tidak dapat ditolerir. Meskipun dalam mediasi antara sekolah dan orang tua (kasus pemukulan guru) disebabkan keduanya salah, tapi keberanian siswa “melawan” merupakan kejadian yang langka. Maka menurut penulis, apa yang salah dalam lembaga pendidikan sekarang bila sanksi tegas tidak diterapkan sesuai poin pelanggaran? Keprihatinan Oleh karena itu melihat, membaca dan mencermati dari kelemahan kurikulum 2006 dan dikembangkan dalam kur i k u l u m 2013. Beberapa kelemahan fenomena negatifyang mengemuka antara lain perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam Ujian (mencontek). Ternyata perkelahian (kekerasan) menjadi salah satu sorotan, dampak dari kurikulum 2006 yang menekankan aspek kognitif belaka, terlalu sarat akan konten dari materi pelajaran yang terlalu luas dengan mengesampingkan pendidikan nilai maupun karakter. Bila demikian memang kadang membentuk opini bahwa pendidik (guru) tidak sempat lagi memberikan dan menyisipkan pendidikan etika, moral, budi pekerti yang tergabung dalam pendidikan karakter. Pasalnya, beban berat dari tuntutan kurikulum yang menitik beratkan kepada materi pembelajaran sehingga kebutuhan siswa akan pendampingan, bimbingan, problem solving ( pemecahan masalah) terabaikan. Karena kenyataannya standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil). belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala. Sebab pusat pembelajaran masih kepada guru (teacher centered learning), sifat pembelajaran yang berorientasi pada buku teksa dan buku teks hanya memuat materi bahasan belaka. Sehingga riak-riak permasalahan pribadi, sosial terabaikan dan “meledak” saat kekerasan di sekolah terjadi. Kekerasan di sekolah dengan keberanian siswa “melawan” sebuah keprihatinan stakeholder pendidikan. Maka harapan kompetensi kurikulum 2013 yang menitik beratkan pada kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang efektif, kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda , kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas mengenai hidup, memiliki kesiapan untuk bekerja dan memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya dapat teraktualisasi. Dengan demikian adanya kurikulum 2013 dapat memberikan solusi dan pencerahan. Segala pikiran, sikap, perilaku dan perbuatan siswa, secara massif menyimpang dapat direduksi. Sebagai bentuk justifikasi dan aplikasi dari kurikulum baru. Yang mana secara aktif , partipatif mengaplikasikan nilai-nilai nyata sesuai perkembangan, kontekstual yang menjadi kebutuhan kekinian. Sebab bila tiap hari mendengar, melihat dan membaca berita kekerasan di sekolah sebagai bentuk keprihatinan mendalam. Karena tidak sejalan dengan tujuan Pendidikan yang termaktub dalam UU No 20 Tahun 2003, yaitu “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Oleh karena itu sebuah kolaborasi tujuan pendidikan dan harapan kurikulum 2013 demi memberikan pedoman, arahan dan menjaga agar siswa lebih humanis. Di mana proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered active learning), sifat pembelajaran kontekstual dan buku teks pelajaran hanya memuat materi dan proses pembelajaran, sistem penilaian serta kompetensi yang diharapkan dengan tidak mengabaikan perkembangan siswa sesuai karakter dan usia yang dimilikinya. Penekanan tematik integratif juga memampukan pendidik dan peserta didik untuk saling berkomunikasi, menghormati, menghargai dan toleran. Maka tidak lagi muncul keprihatinan, bahwa siswa sekarang mulai berani melawan aturan secara radikal, dengan secara fisik melakukan kekerasan kepada siswa bahkan kepada gurunya. Bila prevalensi (angka kejadian) ini semakin meningkat, layak dikaji ulang efektivitas kode etik guru (KEG) dan mulai berlaku tahun 2013. Begitu pula efektifkan, optimalkan lembaga advokasi guru guna memberikan bantuan perlindungan hukum. Sebab guru sebagai pendidik profesional kadang tidak paham akan hakhaknya bila dianggap melakukan pelanggaran hukum sebagai efek tanggung jawabnya sebagai pendidik. Namun bila kekerasan di sekolah tetap terjadi dan sampai pada ranah kejahatan, segala aturan (sanksi) diberlakukan secara tegas dan tega (tanpa belas kasihan) di terapkan sesuai hukum positif tanpa pandang bulu. Membuat angka pelanggaran dan kejahatan berkurang, karena rasa takut melakukan kesalahan dengan adanya sanksi yang tegas.  FX TRIYAS HADI PRIHANTORO Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

No comments: