Thursday, May 13, 2004

Selamat datang di situs blog saya
sebagai warga Epistoholik Indonesia,



Nama saya, FX Triyas Hadi Prihantoro. Tempat dan tanggal lahir : Ungaran 3 November 1966. Pendidikan akhir di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1991. Kini berdomisili di Solo dan mengajar di SMA Pangudi Luhur St. Yosef Surakarta. Keluarga : 1 istri dan 2 anak

Saya aktif menulis sejak bekerja namun untuk kalangan sendiri dan mengirimkannya ke media massa baru pada akhir tahun 2003. Debut saya sebagai epistoholik setelah tulisan kolom saya dimuat di harian SOLOPOS, 23 Oktober 2003.

Sejak itu mengamuk menulis di media massa, baik untuk surat kabar terbitan Solo seperti Bengawan Pos dan Solopos, mau pun surat kabar Yogyakarta seperti Bernas dan KOMPAS (edisi Jawa Tengah dan Yogyakarta) Koran Sore WAWASAN, Koran Tempo, SUARA MERDEKA, Majalah Hidup, Educare, Matabaca, BISMA. Kini tiap minggu hampir minimal ada satu media yang memuat tulisan saya. Kepuasan batin bila dimuat memang tak ternilai harganya. Hobi saya selain menulis adalah melakukan perjalanan wisata (travelling)

Untuk Anda pembaca yang budiman, dan sesama kaum epistoholik, saya haturkan selamat menjelajahi album surat-surat pembaca yang saya tulis dalam situs ini.
Dan pula dapat melihat dalam aktifitas saya sebagai admin sekolah tempat mengajar: http://styosef.pangudiluhur.org

Silakan memberi komentar, masukan dan saran, dengan mengklik nama saya di bawah ini. Atau mengirimkannya ke email : http://www.blogger.com/triyas@telkom.net. atau triyas@yosef-slo.sch.id Saya akan selalu menyambutnya dengan terbuka dan penuh kegembiraan. Terima kasih.

Hormat dan salam saya,


Solo, 9 Mei 2004



FX Triyas Hadi Prihantoro

---------------

(17)ATRAKSI "TOPENG MONYET"
Dimuat di kolom Bebas bicara Harian Bernas, tanpa data tanggal.


Dung..cik..cik..dung…cik, seorang pengendara sepeda dengan seekor monyet didepan beserta barang-barang yang menjadi boncengannya, melewati sebuah perkampungan. Banyak anak-anak kecil berlari-lari mengikuti kemana dia berkeliling kampung, selagi bisa diikuti dan tidak jauh dari tempat tinggal mereka.

Ketika ada seseorang menanggap, maka anak-anak kecil dan beberapa orang dewasa serta keluarga penanggap mengelilingi cara atraksi dadakan tersebut. Dung..dung..cik..dung..cik, begitu suara musik pengiring dan kemudia si pemilik monyet menyuruh monyetnya mengenakan topeng dan lalu berkata " Si Bejo sedang belanja kepasar", kemudian " Si Bejo… naik sepeda mau ke kantor", dan pada saat si monyet yang bernama Bejo tersebut melakukan atraksi maka penonton yang terdiri dari anak-anak pun bersorak-sorak kegirangan memberi aplaus. Dan begitu seterusnya sampai atraksi yang dilakukan si Bejo selesai.

Atraksi si Bejo adalah atraksi sesaat yang dinikmati oleh masyarakat Kampung. Namun apakah atraksi kampanye calon presiden juga demikian? Tentu harapannya tidak, karena akan berimplikasi 5 tahun kedepan.
Tulisan ini terinspirasi oleh tayangan sebuah stasiun TV Swasta ketika 2 capres saling berdebat yang di fasilitasi oleh sebuah organisasi kepemudaan terbesar (KNPI) baru- baru ini. Dimana saat panelis bertanya kepada masing-masing capres daan saat capres menjawab, serta belum selesai menjawab sudah terdengar gemuruh para penonton memberi aplalus dengan tepuk tangan dan sorakan.(padahal mereka yang hadir rata-rata berpendidikan) Sampai-sampai caapres yang ditanya menghentikan sesaat argumentasinya demi menunggu ketenangan suasana.
Sebegitukah sebuah acara debat capres yang menjadi acara unggulan beberapa stasiun TV saat ini, yang bagaikan sebuah tontonan/hiburan sesaat. Tentu tidak?!

Pemilu Presiden dan wakil bukanlah sebuah atraksi "topeng monyet", setelah selesai pentas, kemudian pergi mencari rejeki di tempat lain, kemudian selesai. Bukan juga seperti si Bejo yang memakai topeng yang menjadikan dia tampan, baik hati, dermawan, peduli kepada orang lain, namun juga hanya sesaat, karena toh kemudian topeng akan di lepas dan kelihatan aslinya si Bejo "monyet".

Mari kita kritisi setiap tindakan, kata-kata, janji, harapan, yang tidak sejalan dengan realita. Jangan sampa janji yang di ucapkan oleh para capres bersama tim suksesnya hanya sebuah fatamorgana di padang pasir.

FX Triyas Hadi Prihantoro
Warga EI (Epistoholik Indonesia)
http://epsia.blogspot.com

---------------

(16) PEMBELAJARAN SEKS BAGI PELAJAR
Dimuat di kolom Redaksi Yth, Harian Kompas (Edisi Jateng-Jogia), 24/5/2004


Berkembangnya media informasi menambah semakin banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pelajar, orangtua dan guru. Pembagian usia bagi pelajar, yang merupakan kaum remaja akan mengalami banyak perubahan, baik fisik, psikis, maupun sosial. Salah satu perkembangan/hasrat yang cukup sulit dikendalikan adalah hasrat dorongan seksual.

Banyaknya kasus pelecehan seksual sampai perkosaan yang menimpa pelajar membuktikan bahwa di Indonesia pendidikan seks dianggap masih tabu.

Dalam era globalisasi dan didukung pesatnya kemajuan teknologi, khususnya bidang informasi dan komunikasi; berimplikasi kepada perubahan budaya perilaku manusia, khususnya kaum remaja. Salah satu budaya yang paling mudah untuk mempengaruhi kaum remaja adalah pergaulan bebas, seks bebas, selain pengaruh budaya lain yang tidak kalah dahsyatnya, misalnya penyalahgunaan narkoba.

Untuk mengantisipasi minimnya pengetahuan seksualitas bagi kaun remaja yang umumnya kaum pelajar, perlu format pendidikan seks yang baik dan benar Paradigma lama bahwa pendidikan seks itu tabu harus diubah dengan paradigma baru bahwa pendidikan seks itu penting diberikan sejak dini.

Dengan materi, silabus, serta kerangka pembelajaran yang dimasukkan dalam proses belajar mengajar, baik untuk selcolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA), bahkan untuk anak SD, sebenarnya sudah layak untuk mengetahui apa itu seks, meski dengan kedalaman materi yang disesuaikan dengan tingkat kedewasaan siswa.


FX TRIYAS HADI PRIHANTORO
Pengajar SMA Pangudi Luhur St. Yosef
Jalan Adisutjipto, Surakarta

Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 31/5/2004

--------------------


(15) SAMA SAMA SALAH.........
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian SOLOPOS (Solo), 24/5/2004


Jeritan hati dari pengalaman. Saudara Moh Kusnan Hidayat (SOLOPOS 11/5) pada. bulan Mei 1998 silam ketika. masih kuliah di Malang tidak salah. Hampir semua elemen mahasiswa waktu itu turun ke jalan dan mengalami tindakan represif aparat keamanan (polisi/tentara). Dan memang sakit hati dan raga ini. Namun, kejadian. itu ternyata berulang?ulang sampai saat ini. . Peristiwa berdarah?darah di negeri ini seolah?olah tiada hentinya. Masalah timbul silih?berganti bagaikan air mengalir.

Mau dibawa kemanakah negeri ini? Budaya mencati kebenaran dan saling menyaahkan seolah nierupakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Virus maupun bakteri provokator seakan-akan menggerogoti ide persatuan dan kesatuan para founding fathers kita. Bila. mereka. masih bisa merasakan. dan melihat tentu akan menangis tiada henti. Mengapa ini bisa. terjadi?

Untuk itu marilah kita introspeksi diri karena hakikatnya kita sama?sama salah. Di satu pihak tidak bisa mengendalikan diri, baik jiwa maupun sikap, dan di lain pihak juga. terlalu arogan serta tidak mau disalahkan. Janganlah kita mudah untuk dimasuki virus provokator, karena virus itu bisa masuk kemana saia lewat apa saia (masyarakat mahasiswa, aparat) melalui penyusupan yang kita sendiri kadang tidak bisa merasakan.

Marilah kita bersama-sama melakukan vaksinasi kekebalan dengan menumbuhkan semangat kebangsaan, rasa cinta Tanah Air yang tinggi serta mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi/kelompok. Masak lidi saja bisa. bersatu, kita malah bercerai?berai ?

Para tokoh masyarakat, agama, Ormas, mahasiswa, politik, pendidikan dan siapa saja berilah keteladanan agar dapat dijadikan contoh panutan mereka yang mengagurnimu.

Kalau masing?masing pihak bisa melihat pengalaman sejarah dengan mengakui kesalahan, maka tindakan kekerasan yang akhir?akliir ini terjadi lagi akan berkurang bahkan hilang.

Mari kita eliminasi kekerasan dan kita dukung kedamaian. Semoga !


FX Tryas Hadi Prihantoro
Guru SMA PL St.Josef Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 31/5/2004

---------------------------


(14) YANG DIKUYO-KUYO YANG DIPERCAYA
Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Bengawan Pos (Solo), 21/5/2004


Fenomena "dikuyo?kuyo" di Indonesia bukan hal yang baru. Dikuyo?kuyo dapat diartikan tidakdisenangi atau mau disingkirkan, dipercaya, dibenci, tidak diakui keberadaannya serta masih banyak lagi arti dan maksudnya tergantung konotasi bahasanya.

Dalam sejarah perpolitikan, sebelum Megawati menjadi presiden RL dia pernah di kuyo?kuyo oleh rezim Orde Baru. Dari fenomena tersebut akhirnya mendapat simpati rakyat Indonesia, sehingga Pemilu 1999 PDI Perjuangan mendapatkan suara terbanyak dari48 partai politik peserta pemilu waktu itu. Sudah sewajarnya bilapartai pemenang pemilu pemimpinnyar menjadi presiden.Namun karena adanya fenoniena PorosTengah akhirnya Mega gagal untuk menjadi Presiden. Maklum waktu itu yang berhak memilih Presiden dan wakilnya adalahMPR.

Awal tahun 2003 muncul fenomena kuyo?kuyo baru dalam bidang entertainment Indonesia. Inul sebagai Sang fenomena tidak diterima oleh para seniornya karena goyang ngebory ang dianggap erotis. Namun karena kuyo?kuyo dari para penyanyi senior dangdut.malah justru mendapat simpati dari seniman lain, misalnya dari ketua PARSI (Persatuan Artis Sinetron Indonesia), Anwar Fuady bahkan juga tokoh?tokoh politik banyak yang membela Inul, termasuk juga masyarakat Indonesia pada umumnya.

Menjelang Pemilu 2004 inipun terjadi juga sebuah fenomena, dimana seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dianggap sebagai anak kecil ketika mengkampanyekan pemilu damai (dalam jabatannya sebagai Menko POLKAM waktu itu) oleh suami Presiden Megawati.

Akhirnya SBY mengundurkan diri sebagai Menko POLKAM. Dan kemunduran ini banyak menyita perhatian para kuli tinta, sehingga hampir semua media massa Indonesia baik cetak mau pun elektronik memberitakan fenomena ini sebagai berita utama maupun opini.

Kasus kuyo?kuyo SBY justru menjadikan partainya sebagai peserta pemilu 2004 yang baru (Partai Demokrat), dalam penghitungan suara banyak mendapat simpati/kepercayaan rakyat (5 besar perolehan suara Nasional). Hal ini juga Partai Demokrat salah satu partai yang lolos electoral threshold, untuk menggolkan calon presidennya yaitu SBY sendiri.

Demikian juga ketika konvensi Partai GOLKAR untuk memilih calon presidennya, fenomena terpilihnya Wiranto sebagai calonnya karena perolehan suaranya yang banyak, menunjukkan bahwa banyak sekali terjadi kejutan. Banyak orang "kecele", karena prediksinya meleset.

Fenomena semacam ini menjadi menarik, karena para tokoh tersebut tidak melihat sejarah perpolitikan Indonesia. Semakin disingkiri semakin mendapat simpati/kepercayaan rakyat. Apalagi Pemilihan Presiden dan wakilnya sekarang langsung dipilih rakyat, maka usaha koalisi akan sia?sia. Rakyat sekarang sudah cerdas dan tidak bisa dibodohi lagi. Maka saemakin sering melakukan tindakan/usaha untuk memojokkan seseorang, semakin sering menjadi pemberitaan media massa, semakin pula dicintai rakyat.

Oleh karena itu pemilihan pasangan presiden dan wakil tanggal 5 Juli 2004 nanti menjadikan alat bukti bahwa seorang tokoh yang semakin dikuyo?kuyo oleh Pemerintah/tokoh/organisasi/kelompok lain akan "mungkin" semakin mendapat kepercayaan rakyat. Biarkan para calon presiden yang berminat diberi kesempatan, karena alam (rakyat)lah yang menyeleksi.

Namun yang tetap menjadi harapan kita semua agar pembelajaran politik bangsa Indonesia saat ini dapat berjalan dengan semestinya. Mari sukseskan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.


FX Tryas Hadi Prihantoro
Pengajar SMA Pangudi Luhur Santo Josef
Surakarta

Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 31/5/2004


----------------------------


(13) BUDAYA "ASBUN"
Dimuat di kolom Bebas Bicara Harian BERNAS (Yogyakarta), 14/5/2004

DALAM suatu perbincangan di warung makan/tempat publik/dalam bus/halte (skup kecil) sambil istirahat untuk menunggu disajikan makanan/bus datang ataupun aktivitas yang lain sering terjadi perbincangan antara beberapa orang yang duduk bersebelahan mengenai suatu hal yang aktual, bisa politik, ekonomi/sosial/ budaya maupun hankam.

Perbincangan yang terjadi sering bisa "gayeng", karena akan muncul "kesombongan diri", yang pada akhirnya lahir kritikan?kritikan baik kepada pemimpin maupun sesama. Akhirnya di suatu perbincangan muncul tanggapan atau usul dari "mereka", yang suka mengkritik bila diberi kesempatan untuk melaksanakan tugas bagaimana sikap yang diambil ? Biasanya akan mengelak bila diberi tanggungjawab, dengan berbagai alasan.

Dalam skup yang lebih mapan, misal dalam rapat?rapat di tingkat RT/RW kantor maupun organisasi?organisasi yang lain, sering muncul usulan?usulan dari orang yang idealis.

Usulan yang disampaikan umumnya sangat bagus dan mereka yang hadir dalam rapat maupun pemimpin rapat banyak yang memuji usulan itu. Lagi?lagi ketika "mereka" yang usul diberi kesempatan untuk mentackle rencana kegiatan yang dirapatkan, bisa sebagai penanggungjawab atau pelaksana, biasanya juga akan menolak. Alasannya pasti macam?macam juga (sibuk, repot, masih ada yang lebih mampu dll).

Banyak bicara dalam suatu pertemuan itu sering menjadi ciri orang?orang yang punya keinginan/ambisi. Namun kadang?kadang apa yang diusulkan/dibicarakan isinya tidak ada, bagaikan tong kosong berbunyi nyaring atau air beriak tanda tak dalam karena tidak berdasar fakta dan realita. Budaya "Asbun", itulah yang pantas diberikan kepada "mereka".

Demikian juga skup yang lebih besar (negara) pelaksanaan tahap ke 4 pemilu, yaitu masa kampanye di mana jurkam parpol maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah) pasti menyampaikan program?program yang baik dan bermutu. Hampir di setiap sudut desa/ kelurahan di kota maupun tempat strategis lainnya banyak pamflet/ spanduk yang memprogandakan idealis parpol baik berupa visi maupun misi masing?masing.

Pada saat kampanye para jurkam "tidak ada" yang berbicara mengenai hambatan/kedlala yang terjadi bila mereka terpilih, yang ada harapan-harapan/janji?janji yang kelihatan "indah" didengar. Janji/pidato politik hanyalah sebuah "janji semu", karena janji tersebut sering berulangkali didengar minimal setiap 5 tahun sekali di Republik ini.

Toh akhirnya ketika "mereka" sudah duduk di kursi empuk "legislatif”, lupa akan janjinya saat kampanye. Yang diharapkan dari pemilih adalah kesediaan berbuat bermanfaat yang lebih banyak (willingness to do more). Aktivitas kongkrit dengan bukti aktuallah yang menjadi harapan, khususnya setelah terpilih.

Budaya "Asbun" memang seringkali jadi suguhan yang menarik pada masa kampanye lalu. Kalau itu masih terus melekat pada para caleg, maka sangat layaklah banyak pihak menyebut "politisi busuk". Namun kita hanya bisa berharap agar, budaya asbun jangan dijadikan legitimasi bagi calon pemimpin/ penentu kebijakan kita 5 tahun mendatang.

Sekarang, setelah penetapan calon anggota legislatif, dan mereka yang duduk di kursi empuk kita tunggu janji-janjinya yang telah diobralkan kemarin saat kampanye.

Masyarakat sudah kritis, banyak catatan?catatan yang menjadi PR anggota baru dewan kita yang terhormat. Mari kita tunggu bukti kata-kata mereka. Jangan sampai ada bantahan memang lidah tak bertulang.


FX Triyas Hadi Prihantoro
Pengajar SMA PL ST Yosef
Jl. Adisucipto Surakarta

Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 31/5/2004


---------------------------


(12) PENGANGGURAN, PR TAK PERNAH SELESAI
Dimuat di kolom Redaksi Yth, Harian Kompas (Edisi Jateng-Jogia), 14/5/2004

Bila membaca dan mencermati indikator penduduk miskin berkurang di Jawa Tengah, yang merupakan perbandingan antara tahun 1996,1999, 2002 dari Kompas edisi Jateng dan Jogja 5 Mei 2004, ternyata cukup melegakan. Meski dalam perjalananan angka penurunan itu tak terlalu drastis, yang jelas tiap daerah mengalami penurunan meski ada juga yang meningkat.

Dari keseluruhan wilayah Jawa Tengah, jelas ada penururan yang cukup signifikan. Sebagai contoh tahun 1996 sebesar 21,6 persen, tahun 1999 sebesar 28,5 persen, dan tahun 2002 sebcsar 23,1 persen. Jadi, antara tahun 1999?2002 persentase penduduk miskin di Jawa Tengah turun 5,4 persen.

Penduduk miskin berkurang dapat pula diartikan angka pengangguran yang berkurang, namun betulkah realita di lapangan menjawab semua itu ? Hal ini saya pertanyakan karena ada sedikit pengalaman yang mengusik pikiran berdasrkan suatu perjalanan sehari.

Pada 3 Mei yang lalu, saya mengadakan perjalanan dari Kota Solo ke Ambarawa dengan menggunakan bus ekonomi. Yang mengusik pikiran saya adalah ketika bus berhenti di setiap sub terminal. Ketika bus berhenti, naik pula beberapa. orang minimal tiga orang, masing?masing menawarkan jasa maupun barang. Untuk jasa biasanya para pengamen dan barang adalah penjual makanan dan minuman.

Saya mencoba menghitung para pengasong dan penjual jasa lainnya dari satu terminal besar yang satu dengan terminal besar yang lain melewati tiga sub terminal. Setiap berhenti, minimal ada tiga orang selain penumpang yang menawarkan jasa atau dagangan, maka perjalanan antara Solo ?Bawen ada sekitar 68 orang yang berprofesi sebagai pengasong jasa dan dagangan. Ini untuk satu bus yang satu arah ke Semarang, belum bus yang di depan dan belakang yang menuju Solo, mungkin dapat dihitung sendiri.

Dari gambaran itu jelas sekali bah'wa betapa masyarakat masih sulit mencari pekerjaan tetap dan berpenghasilan pasti. Mereka mau bekerja apa saja demi menyambung hidup. Apakah untuk kelompok ini dapat dikategorikan orang yang bekerja, kaum miskin, atau sebagai pengangguran aktif. Yang jelas, mereka tidak mendapatkan berbagai tunjangan layaknya pekerja tetap.

Di satu sisi, masih banyak orang muda yang berstatus tidak bekerja atau penganggur yang hanya melamar kerja ke sana ke mari, sekolah terus menerus tanpa dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat.

Itulah fenomena perjalanan saya melewati lima wilayah kota dan kabupaten, yaitu Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Salatiga, dan Semarang. Dan, kalau kita lihat indikator penduduk miskin di lima kota tersebut kurun waktu 1999?2002, Kota Surakarta (turun 3 persen), Kabupaten Sukoharjo (naik 3,5 persen), Kabupaten Boyolali (turun 6,1 persen), Salatiga (naik 4,7 persen), dan Semarang (turun 5,5 persen).

Ada dua daerah yang mengalami kenaikan dan tiga daerah yang mengalami penurunan. Angka?angka yang bersumber dari BPS Jawa Tengah itu dapat dijadikan PR (pekerjaan rumah) para kepala daerah, khususnya kota dan kabupaten.

Pengangguran merupakan PR dari pemerintah kota dan kabupaten sekaligus juga provinsi yang tak kunjung selesai.


FX TRIYAS HADI P
Pengajar SMA Pangudi Luhur St Yosef
Jalan Adi Sucipto Surakarta


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 31/5/2004


---------------------

No comments: