Thursday, May 13, 2004

------------------------------------------

(11)PEMILU DIULANG TIDAK MANUSIAWI
Dimuat di kolom Redaksi Yth, Harian Kompas (Edisi Jateng/DIY), 24/4/2004



TAHAPAN pemilu ke﷓4, proses pemungutan suara tanggal 5 April 2004 telah usai. Sekarang menginjak tahapan berikutnya yaitu penetapan calon anggota legislatif DPRD II, DPRD I, DPR Pusat dan DPD.

Yang menarik untuk dikritisi adalah wacana penolakan 19 partai politik di tingkat nasional terhadap hasil pemilu serta aksi walk out 21 calon anggota DPD Jawa Tengah ketika proses penghitungan suara di KPU Jawa Tengah, karena banyak ditemui banyak kecurangan. Bahkan, banyak yang menghendaki pemilu ulang.

Rakyat yang sudah bersusah payah mendukung demi berjalannya pemilu. dengan aman, damai, dan transparan dengan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran ternyata dipandang sebelah mata oleh beberapa parpol dan peserta pemilu, dari unsur DPD dengan menghendaki penghitungan suara dan pemilu ulang.

Menurut saya "mereka" kurang berpikir jernih. Karena pemilu yang menghabiskan dana triliunan rupiah seakan-akan tidak berguna.

Mungkin pengalaman kecil ini dapat berguna untuk membuka mata dan hati mereka yang menolak hasil pemilu. Di mana untuk pelaksanaan pemilu di Indonesia tentu dibutuhkan puluhan ribu tempat pemungutan suara (TPS) dan di tiap﷓tiap TPS ada beberapa orang (7) sebagai Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS).

Selain tentunya ada yang menjadi anggota KPUD, Panwas pemilu, dan Pemantau Independen lainnya.

Dalam proses penghitungan suara tidak semudah yang dibayangkan, sehingga rata﷓rata di tiap TPS baru dapat merampungkan proses penghitungan dan pembuatan administrasi berita acara antara pukul 24.00 ﷓ 02.00 dini hari.

Padahal, ketika proses persiapan TPS, para anggota KPPS sudah lembur sampai dini hari pula dan juga harus hadir pada saat pencoblosan di TPS tempat bertugas paling lambat pukul 06.00 pagi.

Seperti yang dialami orang tua saya sebagai anggota KPPS. Sebagai seorang pensiunan yang usianya sudah di atas 60 tahun, tentu stamina dan tenaganya sangat terbatas. Karena dipercaya dengan penugasan untuk menyukseskan pernilu, sebagai anggota KPPS, sudah semestinya segala aturan main yang ada dijalani.

Karena dua hari dua malam tanpa istirahat yang cukup demi "hajatan" nasional serta kondisi yang sudah tidak prima lagi, maka hari berikutnya beliau mengeluh sakit. Akhirnya diperiksakan ke doktercdan harus istirahat total untuk sementara waktu.

Lalu, resep obat dari dokter dibelanjakan dengan total biaya mendekati angka Rp 100 ribu. Ironisnya, tanda kasih sebagai anggota KPPS selama dua hari menclapat Rp 80 ribu (per hari Rp 40 ribu), jadi harus tombok. Sudah tenaga, pikiran, waktu tersita, ujung﷓ujungnya menderita sakit dan biayanya besar lagi.

Ini baru. satu kasus yang menimpa rakyat kecil guna menyukseskan pemilu. Maka dari itu, apabila ada pihak﷓pihak yang menolak (partai politik poserta pemilu, calon anggota DPD yang umumnya tidak memperoleh suara yang signifikan, dan LSM, serta segelintir mahasiswa yang idealis) berarti tidak manusiawi.

Karena ada juga kasus di TPS tertentu di mana salah satu anggota KPPS meninggal dunia saat bertugas. Belum yang kemudian sakit seperti orangtua saya. Dalam hal ini bila "mereka" yang lolos menjadi anggota Dewan apakah juga peduli terhadap segala jerih payah, usaha, tenaga, dan daya para orang﷓orang yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu ini?

Banyak tokoh berpendapat, penolakan pemilu merupakan sikap yang tidak menghargai rakyat yang telah secara ikhlas menyukseskan pesta demokrasi tersebut. Bahkan, bukan hanya tidak menghargai, tapi tuntutan agar KPU menggelar pemilu ulang merupakan penghinaan terhadap rakyat.

Oleh karenanya, apa yang telah kita laksanakan bersama "Pemilu. Damai", mari kita evaluasi bersama dengan mengkritisi secara bijak. Memang, tidak mudah untuk melaksanakan Pemilu 2004 yang rumit ini (khususnya untuk pengisian caIon anggota legislatif).

Kita harus menghargai kinerja kita, dan permintaan pernilu. ulang berarti tidak manusiawi.

Fx Triyas Hadi Prihantoro
Pengajar SMA Pangudi Luhur St. Yosef
Jalan Adisutjipto, Solo

Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004


--------------------

(10)SATRIO PININGIT JILID 2
Dimuat di kolom Redaksi Yth, Harian Kompas (Edisi Jateng/DIY) 13/4/2004


Fenomena saat menjelang Pemilu 2004 lalu muncul wacana politisi busuk, politisi berijazah palsu, sakit ingatan, umur palsu, beraroma KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), tidak menjalankan amanat UUD 1945 dan peraturan﷓peraturan yang ada di bawahnya, semua itu sangat gencar.

Sampai akhirnya muncul daftar orang﷓orang yang dianggap sebagai politisi busuk dan harus dihindari untuk didukung dalam Pemilu 2004.

Meski parameter yang dibuat LSM untuk menvonis politisi busuk banyak disanggah oleh mereka yang masuk daftar, namun wacana tersebut dapat sebagai pembelajaran politik bagi rakyat untuk mencermatinya.

Hal tersebut berbeda, dengan fenomena menjelang Pemilu 1999, di mana isu satrio piningit yang akan mengentaskan bangsa Indonesia dari krisis multidimensional begitu. membahana.

Waktu itu tokoh-tokoh yang masuk daftar satrio piningit antara lain Nurcholish Madjid, Sultan Hamengku Buwono X, Amien Rais, KH Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono sampai Megawati.

Banyak harapan dan rakyat setelah lahir satrio piningit bangsa Indonesia segera terbebas. Namun, kenyataan memang tidak bisa. sesuai harapan. Dari sini lahirlah frustrasi dari anggota partai mau pun rakyat atas kebijakan pemerintah yang dianggap lamban muncul, sehingga lahir partai sempalan baru.

Mengapa sekarang tidak muncul fenomena satrio piningit ? Apa rakyat sudah bosan dengan janji﷓janji ? Atau karena realitas politik, berbicara lain?

Saat masa kampanye lalu, wong cilik dapat dengan mudah mendapatkan uang, kaus, sembako, pengobatan gratis, karena para kontestan Pemilu berlomba﷓lomba menarik simpati rakyat. Tetapi lima tahun dalam perjalanan waktu mendatang apa kemudahan-kemudahan itu juga dapat dirasakan ?

Tentunya, itu semua tidak dapat lepas dari datangnya satrio piningit yang dengan bijaksana membuat aturan-aturan yang berpihak pada rakyat kecil.

Mari kita tunggu satrio piningit jilid 2 yang langsung kita pilih sendiri. Jadi jangan sampai keliru. Pemilu 5 April 2004 telah usai dengan aman dan damai. Sekarang kita menunggu sambil berharap partai mana yang sekiranya dapat mengusulkan calon pasangan presiden dan wakil.

Karena pemilu kali ini pun penuh dengan kejutan-kejutan, di mana banyaknya massa dalam kampanye belum tentu menentukan banyaknya perolehan suara.

Bagaimanapun kita masih menunggu kedatangan satrio piningit. Semoga bukan hanya sekedar harapan.


Fx Tryas Hadi Prihantono
Guru SMA PL St. Yosef, Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

---------------------

(9)SEANDAINYA. WARTAWAN JADI CALEG..
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian Solopos (Solo), 29/3/2004


Membaca, menyimak, mencermati fenomena perpolitikan di negeri ini sangatlah dinamis. Banyak muncul pro kontra, kadang terjadi persinggungan hingga muncul korban, namun tak jarang pula kelihatan sayuk rukun dengan sendau gurau sambil melemparkan jargon-jargon yang menghidupkan suasana.

Media massa yang sudah bonafid biasanya memasang rambu﷓rambu dalam tiap terbitannya, antara. lain bahwa wartawannya yang bertugas disertai tanda pengenal serta. surat tugas dan tak menerima tanda. mata. berupa arnplop maupun barang dari narasumber.

Maka, ketika ada. salah satu organisasi, kelompok maupun perorangan memberikan tali asih kepada wartawan sebagai ucapan terima kasih karena peliputannya yang dimuat di media massa (koran) itu maka melalui pimpinan redaksi akan segera mengembalikan ke pihak pemberi. Kadang tidak tanggung-tanggung bentuk barang maupun uang yang diberikan, namun karena kode etik profesi dan mental serta moral, banyak wartawan yang tidak tergiur iming﷓iming itu.

Ketika seorang Jayasuprana mengatakan bahwa mantan Presiden Abdurrahman Wabid (Gus Dur) "jatuh" karena lupa memberi amplop kepada wartawan (kolom Nama dan Peristiwa, KOMPAS, 10/2), itu langsung diklarifikasi Rosiana Silalahi, seorang jurnalis SCTV bahwa pernyataan itu mencerminkan pelecehan dan penghinaan luar biasa berdasarkan generalisasi serampangan pada profesi jurnalis.

Maka, seandainya para wartawan menjadi anggota legislatif untuk Pemilu 2004, mungkin untuk lima tahun mendatang kebijakan﷓kebijakan yang muncul akan sedikit terbebas aroma KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Mengapa demikian ?

Dijajaran redaksi dari pimpinan sampai reporter, di situ jarang tertulis gelar akademik. Padahal kita tahu, mereka bisa menjadi wartawan tentu berpendidikan tinggi. Sehingga kecil kemungkinan mereka berijazah palsu, dan kalau terjadi berarti berita yang ditulisnya juga palsu. Yang paling mendasar, para wartawan banyak menolak amplop dari narasumber demi akurasi pemberitaannya serta independensi profesi.

Dari dua hal itu saja berarti mentalitas untuk menjadi koruptor akan kecil, karena namanya mental akan terbentuk dari kebiasaan dari rutinitas kehidupan sehad﷓hari. Bahkan para wartawan akan tersinggung apabila dikatakan menerima amplop. Sampai﷓sampai demi sebuah berita yang benar, nyawa pun berani dikorbankan (kasus Udin, dsb).

Maka, saya berandai﷓andai .... seandainya wartawan banyak yang mau jadi Caleg, maka fenomena "politisi busuk" tidak akan menjadi sebuah wacana yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan sengit antara mereka yang pro dan kontra.


FX Triyas Hadi Prihantoro
Banjarsari, Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004
----------------------


(8) KETELADANAN PEMIMPIN
Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Bengawan Pos (Solo) 25/3/2004


Masa menjelang Pemiju merupakan masa yang rawan, karena berbagai pihak yang berkepentingan akan berusaha menanamkan pengaruh kepada masyarakat pemilih. Putaran kampanye sudah dimulai, banyak parpol maupun caleg dari DPD (Dewan Perwakilan Daerah) menyampaikan janji﷓janji. Hampir semua yang dijanjikan balk, indah, menarik, karena itu untuk kepentingan rakyat.

Namun benarkah itu? Kita sebagai pemilih harus jeli, jangan sampai kita tertipu untuk kesekian kali. Pengalaman adalah guru yang paling bijaksana.

Kita lihat para pejabat publik maupun petinggi Parpol sering terlibat konflik kepentingan. Lihat kasus slogan "SOLO ROYO﷓ROYO". Karena hanya waktu yang tidak tepatlah maka muncul masalah, namun apabila kebijakan tersebut digulirkan sesudah Pemilu atau menjelang kampanye pasti tidak akan terjadi masalah. Oleh karena itu apa yang diharapkan beberapa tokoh kota Solo untuk bersama-sama menjaga suasana yang kondusif memang harus dimulai oleh "mereka" yang menjadi Pejabat Pemerintah maupun Petinggi Partai Politik.
Harapan pemilu damai, bersahabat dan beradab memang harus diwujudkan. Lalu dimulai dari siapa ?

Orang lndonesia biasanya akan mengikuti keteladanan para pemimpinnya. Maka apabila pemimpin memberikan contoh yang terpuji niscaya mereka yang berada di bawahnya akan mengikuti apa yang dilakukan atasannya. Semboyan Ing Ngarso Sung Tulodho memang sarat makna.

Harapan masyarakat Solo dan Indonesia pada umumnya, agar nanti para penentu kebijakan yang baru (calon anggota badan legislatif) dapat dijadikan teladan demi terciptanya. suasana. yang aman, rukun dan damai. Serta yang lebih penting, kedepankan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi/kelompok/partai.seperti motto yang "mereka" tulis dan sampaikan dalam kampanyenya, bilk melalui media massa, pamflet maupun orasi politik. Semoga.


FX Triyas Hadi Prihantaro
Pengajar SMA PL. St. Yosef Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

----------------------

(7) POLITISI ASLI LAWAN POLITISI PALSU
Dimuat di kolom Bebas Bicara, Harian Bernas (Yogyakarta), 17/3/2004


MASYARAKAT Indonesia memang plural, termasuk juga permasalahan yang te~adi. Salah satu isu yang menarik saat ini tentang kepalsuan yang sudah menyangkut berbagai bidang. Sering terjadi pro dan kontra demi pembenaran masing﷓masing.

Bila dilhat dari segi kualitas tentu banyak memilih yang asli, tapi dari kemudahan dan harga sesuai kebutuhan tentu ' akan pilih yang paIsu. Kedua mempunyai dampak yang cukup signifikan.

Fenomena "politisi busuk/bermasalah" karena berijazah palsu, sakit ingatan, umur yang dikatrol, beraroma KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) menunjukkan "mereka" berkemampuan pribadi maupun akademiknya rendah, namun memiliki mateii/finansial/pengaruh yang berlimpah, sehingga bisa melakukan apa saja yang dimau demi untuk satu tujuan pribadi, meski nanti cepat berubah karakter/wajah aslinya.

Pemalsuan yang sudah menggeneralisir di negara ini memang sudah menjadi penyakit akut, tidak hanya barang, merek dagang, produk makanan, cipta lagu/film sampai calon pemimpin (caleg/bupati) dengan gagah beraninya maju mencalonkan diri, meski hanya berbekal ijasah palsu.

Belum lama ini banyak pencipta lagu, musisi, produser, sutradara atau siapaun pekerja seni berlomba﷓lomba mengkampanyekan anti pembajakan baik kaset, CD maupun VCD.

Aparat memang cukup tanggap dengan mengadakan razia, meski hanya sementara. Buktinya, sekarang marak lagi beredarnya barang﷓barang palsu tersebut. Karena terus terang harganya murah, mudah di dapat dan hasilnya juga tidak mengecewakan.

Contoh aksi pembajakan/pemalsuan kaset dan ijasah palsu bagi para calon anggota legislatif sudah merupakan isu nasional, namun penanganannya ternyata sulit. Mengapa? Karena sudah banyak pihak telah terjebak dalam permainan palsu﷓memalsu yang sangat menguntungkan kedua belah pihak. Tidak hanya masyarakat namun termasuk para penentu kebijakan lintas departemen. Ada pembeli tentu ada penjual.

Sekarang kita kembalikan pada diri kita masing﷓masing untuk menyikapi. Apalagi dalam pemilu yang sudah semakin dekat ini, mau pilih politisi asli atau politisi palsu. Gambar partai politik beserta foto caleg sudah banyak terpampang di setiap sudut kota, demikian juga calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) beserta dengan janji﷓janjinya. Lalu kalau tidak mengenal bagaimana?

Biasanya yang asli tidak banyak mengumbar janji, ibaratnya seperti "padi". Sebaliknya mereka yang selalu menjanjikan bisa dipastikan bagai tong kosong nyaring bunyinya. Maukah kita diberi janji﷓janji yang muluk (cepat keluar dari krisis, pendidikan gratis, dibukanya banyak lapangan pekerjaan gaji, naik, BBM turun, pengobatan gratis ... dsb), karena realita bangsa kita memang baru terpuruk. Narnun tidak semudah membalik telapak tangan untuk cepat memperbaiki.

Jangan mudah kita terbawa janji politisi palsu. Kita wajib mengkritisi bersama dan jangan lengah. Sesuatu yang palsu memang mudah dicari dan didapat karena banyak di pasaran, namun yang asli bagaikan mencari jarum dalam pasir. Bagaimanapun juga Pemilu tinggal hitungan hari.

Genderang pertandingan politisi asli melawan palsu sudah dimulai. Marilah kita support yang asli jangan sampai bangsa kita tetap terjebak dalam angan﷓angan palsu.


FX Triyas Hadi Prihantoro
SMA PL St Yosef, Jl. Adisucipto Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

----------------------

(6) PARKIR ANTARA HARAPAN DAN REALITA
Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Bengawan Pos (Solo), 17/3/2004


Sebagai warga yang baik tentu akan patuh dan taat pada peraturan yang telah menjadi suatu keputusan. Namun keputusan dan hasil musyawarah yang cukup panjang dan melelahkan serta biaya yang tidak sedikit jangan hanya sebatas eforia di muka.

Yang penting adalah pengawasan dan kekonsistenan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Demikian juga dengan perparkiran di Kota Solo yang antara tempat/kepentingan sering tidak sama. Apakah memang begitu kebijakannya ? Atau tergantung situasi dan kondisi ? Atau juga hak masing﷓masing pengelola ?

Keefektivan kebijakan antara harapan dan realita idealnya sejalan. Harapan sebagai warga bahwa nantinya dalarn pelaksanaannya betul﷓betul sejalan di tempat mana pun, situasi dan kondisi apapun, dan yang paling penting bahwa. Keamanan dari kenadaraan yang dititipkan terjaga sesuai kondisi aslinya. Karena sering dijumpai dalam karcis sebuah pemyataan bahwa segala. kerusakan dan kehilangan menjadi tanggungan sendir. Ini kan menjadi ironis dari bentuk tanggungjawabnya.

Memang perlu penataran khusus serta kartu anggota yang jelas bagi para juru parkir. Dan hal yang mustahil bila parkir hanya ditangani oleh satu orang seperti yang sering kita lihat di beberapa pertokoan. Kalau di ma/tempat pembelanjaan umum yang besar umumnya sudah terbentuk tim parkir yang baik, ketika masuk nomor kendaraan dicatat termasuk jumlah helm yang dibawa.

Jadi resiko kehilangannya cukup kecil. Namun menjadi dilema ketika di depan sebuah toko kecil, warung makan "HIK", fotocopy maupun wartel kecil di situ berdiri seorang juru parkir. Dan ketika terjadi kehilangan mereka tidak ada yang mau bertanggung jawab. Ada suatu contoh kecil ketika mau fotocopy yang hanya dua lembar di situ ada petugas parkir maka sering terjadi ketidakseimbangan antara keperluan dan ongkos untuk parkir.

Semoga rencana hasil dari rancangan perparkiran di Kota Solo melalui Perda yang baru dapat memuaskan semua pihak sehingga antara harapan dan realitas memang semestinya.

FX Triyas Hadi Prihantoro
Pengajar SMA PL. SL Yosef Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

------------------------

(5) MAKNA KEJUJURAN UNTUK PEMIMPIN
Dimuat di kolom Bebas Bicara Harian Bernas(Yogyakarta), 9/3/2004


KETIKA data ditemukan, ketika fakta berbicara dan ketika angka membuktikan, ternyata masih juga terus maju tanpa perasaan. Itulah kira﷓kira gambaran yang terjadi dalam era perpolitikan di negeri ini.

Banyak kasus/aib terkuak ternyata masih berusaha mengalihkan pembicaraan/suasana, bahkan cenderung "ngotot” untuk mengadakan pembelaan. Itulah fenomena yang terjadi di negeri ini dengan melibatkan semua elemen masyarakat tanpa kecuali.

Kejujuran ! Itulah sesuatu kata kunci yang syarat makna. Pengemis, pemulung, pengamen, pekerja seks, siswa, guru, dokter, hakim polisi, PNS, pejabat sipil/militer, artis, caleg sampai pemimpin negara serta siapa saja orangnya bila data, fakta, angka dan ditemukan penyimpangan, serta sudah diletakkan di depan mata ternyata masih juga berusaha untuk mengingkarinya.

Baru saja kita menyaksikan sandiwara politik yang sangat menakjubkan, tentang proses kasasi dari Akbar Tandjung yang akhirnya dikabulkan oleh MA (Mahkamah Agung), sehingga harus mengorbankan banyak anak bangsa, yaitu para mahasiswa yang menentang keputusan itu.

Sering juga kita mendengar adanya dokter palsu, dosen palsu, wartawan palsu dan lain lain. Dan yang paling sering bahan berita di media massa tentang caleg yang berijasah palsu, dan tentu masih banyak berita lain dimana pembaca diminta untuk mencari kesimpulan suatu makna "kejujuran”.

Masihkah bangsa kita akan sulit mencari figur yang jujur ? Kalau jawabannya ya, maka siapapun permimpinnya, keturunannya, profesinya, pendidikannya, dan apa saja syaratnya maka tidak mudah membawa segera terbebas dari krisis multidimensional.

Para tetua pernah bercerita ketika jamannya mereka muda bahwa masyarakat Bali terkenal akan kejujurannya sehingga apapun yang terjadi (pencurian, perampokan, pembunuhan, penculikan dll.) maka mereka yakin yang berbuat bukan orang Bali. Maka waktu itu suasana aman, nyaman dan damai di Bali begitu terasa. Karena orang Bali terkenal jujur.

Dalam sebuah tayangan TV swasta belum lama ini menampilkan profil negara kerajaan Monaco yang kecil namun kaya karena banyak wisatawan asing khususnya kalangan jetset internasional yang datang kesana untuk berlibur. Tentunya dengan membawa uang yang banyak. Mengapa begitu laris negara itu? Karena rakyat dan pejabatnya terkenal kejujurannya.

Lalu bagaimana dengan Indonesia saat ini ? Di mana fenomena palsu dan ketidakjujuran sudah menjadi salah satu penyakit dari orang yang hendak menginginkan suatu tujuan, baik jabatan maupun kekuasaan.

Bila semua pihak secara sadar baik sikap maupun tindakannya dengan dilandasi kejujuran maka negara adil makmur mustahil tidak tercapai. Marilah kita bersama﷓sama berdoa kepada Tuhan agar makna kejujuran dapat menjadikan landasan semua orang, sebelum mereka menjadi permmpin bangsa ini.



FX Triyas Hadi Prihantoro
SMA PL St Yosef, Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

------------------------------

(4) SUKSESKAN PEMILU DENGAN BUDAYA SANTUN
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian Solopos (Solo), 8/3/2004



Ketika menyimak opini salah satu media elektronik di Solo yang juga ditulis di harian ini, antara lain ulasannya sebagai hasil pertemuan Parpol dengan media massa "bisakah Parpol membeli halaman koran untuk kampanye politik ?" Ini cukup menarik karena ada upaya segala cara untuk mencapai suatu tujuan demi kepentingan pribadi/kelompok/ golongan.

Kalau Parpol peserta Pemilu berlomba﷓lomba mempengaruhi media massa dengan janji atau iming﷓iming tertentu, lalu bagaimana janji yang diberikan kepada rakyat pemilih? Rakyat banyak berharap bahwa penyelenggaraan Pemilu 2004 nanti berjalan dengan damai tanpa adanya kekerasan.

Tahapan untuk terciptanya suatu kondisi yang kondusif dan demokratif sudah diawali dengan UU Pemilu yang baru (UU No 12/2003) yang cukup maju dan akomodatif. KPU yang mandiri, kemudian Panwaslu yang cukup bersemangat dalam bekerja (meski kadang bagai macan ompong) ?

Banyak harapan terhadap suksesnya Pemilu 2004 mendatang demi segera terbebasnya bangsa. dari belenggu krisis multidimensi ini.

Marilah kita bersama﷓sama saling membantu. Media massa. tetaplah sebagai institusi independen, tingkatkan keprofesionalan dengan laporan investigasi yang akurat, tolak amplop, jaga image sportif.

KPU, Panwaslu dan ISM bekerjalah sejalan dengan kebenaran, kejujuran dan hati nurani. Parpol peserta Pemilu, para calon anggota legislatif, tunjukkan sikap ksatria dengan dedikasi moral yang tinggi. jangan asal mengumbar janji. Dan kepada masyarakat, marilali kita bersama﷓sama mendukung dan mensukseskan Pemilu dengan budaya santun.


FX Triyas Hadi Prihantoro
Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

--------------------------

(3) JURUS AJI MUMPUNG
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian Solopos (Solo), 1/3/2004


Dalam dunia persilatan dikenal banyak jurus untuk menaklukkan lawan﷓lawannya. Jurus dewa mabuk, angin beliung, telapak matahari, kunyuk melempar buah, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin saya sebutkan satu﷓persatu.

Dunia perpolitikan Indonesia pun akhir﷓akhir ini dihebohkan berita tentang program yang dibahas dan anggota DPRD di akhir masa tugasnya. Program itu antara lain berkaitan dengan besarnya dana purnabakti dan yang lebih fantastis lagi di akhir jabatannya masih memikirkan kunjungan studi banding yang dibungkus istilah Kunker (kunjungan kerja).

Kalau pembahasan masalah untuk kepentingan pribadi mereka sangat antusias mengadakan rapatprapat bahkan segera mengambil keputusan, tapi ketika disuruh memikirkan banyak gedung sekolah yang rusak, jalan﷓jalan yang berlubang, parkir yang terlalu mahal, untuk kepentingan masyarakat banyak dan lain﷓lain, buru﷓buru mereka mengatakan bahwa itu tanggung jawab anggota Dewan mendatang.

Memang jurus aji mumpung dalam hal ini paling pas diberikan kepada mereka karena berpikir sempit, hanya demi kepentingan pribadi. Mumpung masih menjadi anggota Dewan, mumpung masih punya power, mumpung masih punya suara, mumpung masih..., dan bagaimana caranya agar mendapatkan keuntungan melalui suatu kebijakan bersama yang legitimated, tanpa melihat persoalan lain yang lebih penting.

Dan, memang ironis anggota Dewan kita umumnya, bagaimana tanggungjawab mereka terhadap para pemilih?

Seperti baru﷓baru ini di DPRD Jateng, untuk rapat paripurna yang telah diagendakan sendiri saja mereka mbolos, tidak hadir dan alasan mereka mempersiapkan Pemilu. Banyak yang mengatakan mereka tidak mau rapat disebabkan kemungkinan terpilih untuk Pemilu mendatang sangat, kecil karena berada di nomor sepatu.

Melihat hal tersebut apa dapat menjadi teladan ?

Semoga anggota Dewan kita mendatang tidak lagi, menggunakan jurus aji mumpung dalam setiap' kebijakannya.


FX Tryas Hadi Prihantoro
Manahan, Banjarsari Solo
Pengajar SMA PL St. Josef Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

-----------------------------

(2) BUKAN GELAR TAPI KINERJA
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian Solopos (Solo), 15/2/2004


Menyimak Pos Pembaca yang ditulis Muhammad Asngari (SOLOPOS, 6/2), saya sangat setuju apabila ada pihak﷓pihak yang merasa mendapat gelar dari instansi/lembaga asing segera mengumumkan kepada publik. Tapi maukah mereka melakukan? Karena budaya malu dan mundur di Indonesia belum membudaya,

Umumnya mereka memperoleh gelar itu akan bangga dengan embel﷓embel di belakang namanya, padahal memperolehnya hanya beli tanpa adanya usaha.

Dalam fenomena di masyarakat kita sering menetnui kasus "gelar tipu-tipu" agar dapat isteri dan dipercaya calon mertua mengaku anggota TNI/Polri, agar dapat naik pangkat mengaku sudah master dan lain﷓lain.

Memang ironis sekali karena belum genap satu tahun kuliah talhu﷓tahu sudah diwisuda. Kita jadi tahu karena menclapat unclangan syukuran.

Justru sering kebalikan dengan mereka yang memperoleh gelar akademi dengan penuh perjuangan untuk lulus, sering enggan mencantumkan gelar akademiknya. Sering mereka berujar "gelar tidak terIalu penting, kinerjalah yang perlu dibuktikan. Kiita pun tahu banyak orang yang mumpuni dalam bidangnya tanpa mempunyai gelar.

Akhirnya saya berpikir bahwa salah satu pepatah "air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan" memang benar. Kelihatan "mentereng" dengan gelar yang banyak tapi ternyata palsu dan kinerja tak terbukti. Dan ironisnya hal ini ditemukan pada calon anggota badan legislatif kita yang notabene akan menentukan masa depan bangsa lima tahun mendatang.

Maukah kita dipermainkan sandiwara kelas tinggi ini? Marilah kita warga bersama-sama mengkritisi hal ini, dengan memberi masukan kepada lembaga yang berwenang (KPU, Panwaslu, LSM, PoIri) apabila menemukan kejanggalan-kejanggalan dari para calon wakil kita di badan legislatif baik tingkat I, II maupun pusat.

Jangan kita terbohongi untuk yang kali kesekian. Semoga.


FX Tryas Hadi Prihantoro
Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

--------------------------------

(1) BUDAYA KAMBING HITAM
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian Solopos (Solo), 6/2/2004


Kontroversi kambing hitam dalain negeri ini sudah begitu 'ngeri" Dari yang skupnya kecil, sampai yang besar (negara). Lihat saja di Kota Solo. Masalah rel bengkong di Purwosari, banyak pendapat yang minta rel itu ditutup karena telah banyak meminta korban. Padahal tidak hanya rel bengkong saja, tapi rel KA yang melintas untuk menghubungkan transportasi dari Solo ke Jakarta, juga di Purwosari sering meminta korban.

Sebelum rel bengkong, sudah ada rambu﷓rambu cara melewati, juga sudah ada garis kejut agar para pengguna jalan berhati-hati. Lagi﷓lagi kalau ada korban jatuh, yang menjadi kambing hitam adalah rel yang melintas (benda mati kok disalahkan !).

Begitu juga menielang Pemilu 2004 H, banyak pihak yang mencari kambing hitam guna dapat melanggengkan kekuasaannya. Kontroversi perebutan untuk menjadi Caleg nomor kecil (jadi), Caleg yang berijazah palsu, Caleg gila dan sebagainya. Semuanya ujung﷓ujungnya untuk kepentingan pribadi, karena selagi masih ada yang dikambinghitamkan maka serasa ada pembenaran.

Masihkah nurani kita terpakai untuk membenahi negara ini supaya lekas lepas dani kondisi yang masili compang﷓camping ? Maka bila salah satu budaya yang sering dilakukan oleh mereka yang punya kebijakan niscaya negeri ini segera terbebas. Budaya kambing hitam harus ditinggalkan, budaya ksatria mari kita tumbuhkan ? Semoga.


Tryas Hadi Prihantoro
Nusukan, Banjarsari, Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004


--------------------------

No comments: