OPINI, harian Joglosemar, Kamis 10 Desember 2015
RABU, 9 Desember 2015 sebanyak 269 daerah melaksanakan pilkada. Pilkada serentak merupakan budaya politik baru. Oleh karena itu pelaksanaannya diharapkan berjalan dengan baik dan sukses sebagai bagian ruh Negara demokrasi.
Perubahan sistem Pilkada mengingatkan pada harapan sosok pemimpin daerah bukanlah pemimpin yang “tengil”. Kata tengil ini penulis ambil dari ceramah Kiai Abdullah Gymnastiar (AA Gym) saat menjadi penceramah dalam program MQ (Manajemen Qolbu) yang disiarkan salah satu stasiun TV Swasta (10/5/2005).
Hal itu menggelitik penulis ikut menyosialisasikan kepada masyarakat. Harapannya Pilkada serentak berjalan dengan baik dan masyarakat tidak salah pilih pemimpinnya. Karena di dalamnya ada nilai-nilai positif dan patut menjadi literasi bagi calon kepala daerah dan proses Pilkada itu sendiri.
Seorang pemimpin yang dipilih rakyat pada hakikatnya akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan baik itu bidang ekonomi, kedamaian beragama, penegakan hukum, lingkungan hidup, pemerataan pendidikan, kemiskinan, pengangguran dan masalah lain. Karena sosok tersebut lahir langsung dari rakyat.
Seperti dilansir oleh harian Nasional bahwa sepanjang 2004-2011, Kementrian Dalam Negeri mencatat sebanyak 158 Kepala daerah yang terdiri dari Gubernur, Walikota dan Bupati tersangkut korupsi. (Kompas 20/6/11).
Berdasarkan penelitian ICW dalam semester I tahun 2015 ada 308 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun dan nilai suap sebesar Rp 475,3 miliar. Di samping itu, dari 308 kasus tersebut ICW juga mencatat tak kurang 590 orang dijerat aparat penegak hukum sebagai tersangka (14/9/2015).
Karena berdasar hasil jajak pendapat harian Kompas (9/5/015), bahwa kualitas calon pemimpin daerah meragukan. Di mana kepala daerah masih berjuang untuk kepentingan pribadi/kelompok (60.8%) serta belum mampu untuk segera menyelesaikan masalah hukum dan keadilan di daerahnya (49,1%) serta belum mampu memperbaiki perekonomian dan kesejahteraan rakyat (48,6%).
Kepemimpinan Tengil
Seperti yang penulis adopsi dari pernyataan AA Gym berkenaan dengan kepemimpinan tengil yang harus dijauhi dan jangan dipilih. Kata “TENGIL” dapat diuraikan sebagai berikut. T berarti pemimpin tidak boleh takabur baik itu meremehkan agama maupun merendahkan orang lain. Karena pemimpin yang takabur hanya baik di depan (saat mau pemilihan) namun sesudahnya akan lupa janjinya. Hal ini sudah banyak terbukti oleh anggota legislatif dak Kepala Daerah yang lupa akan janji pada konstituennya. Tahun 2008-2011 saja ada 42 anggota DPR terseret kasus korupsi (Kompas 20/6/11).
E diartikan egois yaitu pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri. Pemimpin yang hanya butuh dukungan namun tidak mau berkorban. Seperti laporan litbang harian Kompas, membuktikan bahwa 60.8% responden mengatakan bahwa para tokoh daerah saat ini lebih banyak berjuang untuk kepentingan pribadi/kelompok. Seperti yang sedang gonjang-ganjing menerpa Partai Demokrat dengan banyaknya kasus korupsi yang membelit anggotanya.
N, berarti norak, di mana pemimpin yang “brutal” semena-mena dalam menjalankan Pemerintahan. Tidak mempunyai tata krama, sopan santun dan etika dalam memimpin. Dalam hal ini, keteladanan dan contoh riil yang bijak/santun dalam berperilaku yang membuktikan bahwa calon pemimpin ini baik.
G, diartikan galak. Pemimpin yang emosional menjadikan proses kepemimpinannya menjadi tidak tenang. Karena pemimpin yang marah lebih banyak menyakiti daripada mengayomi. Situasi kerja yang tidak kondusif menjadikan suasana kerja tidak harmonis. Sering terjadi disharmonisasi antara pemimpin dengan anak buahnya.
I, berarti iri hati. Orang yang memiliki sifat iri hati tidak akan senang bila orang lain sukses. Yang selalu dipentingkan adalah kesuksesan diri. Anak buah yang berprestasi justru dianggap musuh dan dibenci. Akhirnya sering terjadi mutasi (perpindahan) jabatan yang sewenang-wenang tanpa melihat latar belakang keahlian masing-masing. Prinsipnya pemimpin yang mempunyai sifat iri hati tidak bisa memberi pujian orang yang sukses.
Sedangkan L diartikan Licik. Pemimpin yang licik adalah yang suka mencari korban untuk kepuasan dirinya. Sering apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. Dalam hal ini apa yang dijanjikan saat kampanye, bisa dipastikan dalam perjalanan waktu pemerintahannya akan mengingkari janji yang telah diucapkan dulu.
Maka harapan Pilkada serentak sebelum dan sesudahnya, adalah mendapatkan pemimpin yang jauh dari tengil. Bagaimanapun masyarakat akan setia, taat dan patuh dengan pemimpin yang tidak jauh dari semboyan ing ngarso sung tulodha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (Ki Hajar Dewantoro).
Kepemimpinan yang menyimpang dari cita-cita mulia pendiri bangsa masyarakat adil makmur dan sejahtera. Menurut Jakob Sumardjo merupakan sikap dan tingkah orang Indonesia paradoks, kontradiksi dalam dirinya dan sulit dipahami. Orang Indonesia sering mempromosikan dirinya akan segala kelebihannya namun tiba tiba bisa berbalik arah justru menjadi brutal dan ganas. Itu tercermin dari sikap pimpin yang arogan dan tengil.
Pilkada adalah pilihan politik. Namun politik dalam arti sesungguhnya bukanlah semata-mata demi kekuasaan/ penguasaan dan mempertahankan kekuasaan serta menjalankan kekuasaan. Namun juga merupakan suatu ikhtiar/niat demi kepentingan dan kesejahteraan orang banyak (YB. Magoenwijaya)
Pilkada serentak diharapkan menghasilkan pemimpin yang peduli terhadap kepentingan rakyatnya akan merangkul semua elemen masyarakat untuk diajak kerjasama demi membangun bersama daerahnya. Bagaimanapun demi kesejahteraan dan kemuliaan bersama menjadikan model pemimpin yang utuh, penuh kapabel, kredibel dan akuntabel.
Sebagai akhir kata, menyimak perkataan Presiden Amerika Serikan, John F. Kennedy, “jangan bertanya apa yang dapat diberikan Negara kepadamu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada Negara ini.” Gunakan hak pilih secara jernih karena masa depan kita tergantung pemimpin yang kita pilih. Semoga.
No comments:
Post a Comment