SUARA GURU, SUARA MERDEKA, 21 Nopember 2015
oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro
Budaya politik baru “pilkada serentak” menjadi prasasti di tahun 2015. Sebuah hajatan pemilihan kepala daerah serentak bersamaan dari 259 Daerah Tingkat I /II seluruh Indonesia. Dibutuhkan partisipasi seluruh elemen masyarakat tanpa kecuali.
Gagasan ini lebih menyoroti relevansi pilkada serentak dengan materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (KN) di SMA sederajat. Disamping itu merupakan arena pembelajaran bagi peserta didik juga untuk menyikapi, mencermati dan mengambil sebuah makna demokrasi yang harus berjalan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber) serta jujur dan adil (jurdil). Paling tidak siswa bisa belajar dari pengalaman guna menyiapkan diri sebagai pemilih pemula.
Dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2007 dan Kurikulum 13, mata pelajaran PKN banyak membahas tentang masyarakat politik, prinsip demokrasi dan sistem politik di kelas X (sepuluh). Budaya politik dan budaya demokrasi, serta Sistem Pemerintahan di Kelas XII. Pilkada serentak masih relevan untuk diimplementasikan.
Disinilah sarana yang tepat bagi siswa untuk mengaktualisasikan dalam praktek, apa yang di dapat dalam materi pembelajaran dengan fakta riil. Betul ada relevansi, atau sebatas teori saja?
Pendidikan pemilih (voter education) sangat tepat diberikan melalui sekolah. Karena pendidikan politik dan kewarganegraan (civic education) mempunyai relevansi yang baik guna pembelajaran demokrasi rakyat Indonesia.
Pelajar cerdas dalam berpolitik menjadikan masyarakatnya dewasa dalam bertindak mengambil sikap politik. Multiplier Effect pendewasaan berdemokrasi menuju civil society. Maka bukanlah hal yang “tabu” bila nantinya masyarakat kita akan melek politik di kemudian hari.
Pilkada merupakan salah satu arena demokrasi yang menuntut sikap kritis, rasional, terbuka, toleran serta menghargai kemajemukan dalam masyarakat. Hal itu sejalan dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat dan kedewasaan berpikir manusia secara umum.
Seperti halnya Pengawas Pemilu (Panwaslu) kota Surakarta mengundang pelajar SMA sederajat dan mahasiswa dalam sebuah acara sosialisasi pengawasan (17/11/15) pelaksanaan pilkada. Mengambil tema ”pemilih cerdas pemilih berkualitas” mengajak dan mengikut sertakan masyarakat secara aktif (parisipatif) melakukan pengawan proses pilkada. Pelibatan pelajar (siswa) SLTA dalam proses pilkada menjadi suatu metode preventif yang cukup efektif untuk mengeliminasi golput dan konflik massa akibat akumulasi polarisasi di tingkat grass-root. Perlu diingat generasi muda (pelajar) adalah mereka yang sangat mudah tersulut emosionalnya.
Keterlibatanya terhadap proses pilkada yang transparan, melalui pemberian tugas sekolah dan menjadi relawan menjadikan pelajar semakin mengenal lebih jauh segala kemungkinan (konflik) yang terjadi dalam sebuah pesta demokrasi. Oleh karena itu sebuah konsep pembelajaraan riil sebagai penggalian ranah afektif (sikap) guna mendukung ranah kognitif (pengetahuan) diperlukan penggalian optimalisasi diri dari siswa dalam melihat permasalahan riil yang terjadi dalam kehidupan bermansyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga dapat berperilaku (attitude) yang benar, terarah berkonsep dan beradab.
Belajar
Dengan demikian keterlibatan siswa secara langsung dalam pilkada merupakan sarana belajar potensial bagi demokrasi bangsa di masa depan. Meski kelompok ini cukup rentan terhadap ekploitasi politis dari berbagai kelompok (tim sukses) Kepala Daerah.
Ada beberapa hal yang dapat dipetik manfaatnya dengan melibatkan siswa SMA sederajat dalam pilkada. Pertama, melalui pendidikan politik dalam pelajaran Kewarganegaraan di sekolah menjadikan media pembelajaran politik yang dinamis. Dalam lembaga pendidikan merupakan wilayah ilmiah yang terbiasa dengan pemikiran rasional dan konsep berdasar argumen-argumen yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kedua, pelajar merupakan calon pemilih yang rasional dan kritis (bila belum berusia 17 tahun), karena memahami hak-hak politik dan dalam menentukan hak-hak politiknya. Ketiga, nantinya pelajar dapat menjadi pelopor di tengah masyarakat karena memiliki pengetahuan dan daya kritis yang tinggi. Dimana sepak terjangnya dalam kehidupannya dalam berpolitik akan menjadi panutan masyarakat luas.
Keempat, pelajar adalah calon generasi penerus bangsa. Melalui estafet kepemimpinan yang benar dan baik maka akan menjadikan proses pergantian pemimpin berjalan sesuai dengan mekanisme yang telah menjadi kesepakatan bersama. Perlu dipahami bahwa isu yang berkembang saat ini banyak tokoh politik menghendaki kaum muda perlu diberi kepercayaan untuk memimpin.
Relevansi
Banyak hal yang dapat menjadi obyek dari tugas pembelajaran PKN dalam pilkada. Sikap kritis siswa dapat dimulai dari penyelenggara, yaitu dari KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) beserta kebijakan-kebijakannya. Karena KPUD inipun mempunyai peluang untuk menyeleweng dan menyalahkgunakan wewenang. Begitu pula jargon ataupun sepak terjang calon Kepala Daerah yang obral janji kepada konstituen. Layak di catat dan ditagih apabila tidak sesuai saat berkuasa.
Sebagai relawan pengawas. Pada saat sosialisasi, banyak sekali pasangan calon dan tim sukses curi start namun Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) daerah dan KPUD toh tidak melakukan tindakan dan pemberian sanksi yang tegas. Maka pelajar bisa mencatat dan melakukan pelaporan.
Fakta riil berkaitan dengan pelanggaran curi start kampanye, banyaknya alat peraga kampanye yang sudah menyebar di berbagai pelosok daerah mulai dari pemasangan spanduk, baliho, stiker, pamflet, pembagian kaos sampai dengan program-program yang di kemas dalam ajang silaturahmi, turnamen olah raga, bantuan kemanusiaan, berbagai penyebaran proposal pembangunan dan lain lain.
Proses pilkada baik negatif maupun positif dapat menjadi catatan-catatan siswa dalam pembuatan tugas PKN dalam Standa Kompetensi, Sistem politik dan prinsip-prinsip demokrasi, budaya politik, budaya demokrasi serta sistem Pemerintahan. Tugas dari para siswa baik secara individual maupun kelompok merupakan bentuk jenis tagihan menurut KTSP, dan kurikulum 2013 (kurtilas) dalam Proses Belajar Mengajar (PBM).
Dalam sistem penilaian KTSP/kurtilas bentuk jenis tagihan selain tugas kelompok dan individu ada kuis, pertanyaan lisan, ulangan harian, ulangan blok, laporan kerja praktik dan response (ujian praktik). Tugas kelompok/individu itu sendiri dilakukan oleh siswa untuk mencari dan menggunakan data sebenarnya terhadap suatu gejala berdasar data di lapangan. Tugas kelompok/individu ini dapat terkait dengan ranah psikomotor. Maka relevansi pilkada dan pembelajaran PKN sangat nyata dan perlu diujikan demi kematangan siswa dalam berdemokrasi.
Gulthom berpendapat bahwa bahwa ada 4 sifat kualifikasi partisipasi yaitu positif, kreatif, kritis-kontruktif-korektif dan realistis. Presiden John F. Kennedy pernah mengatakan “ jangan bertanya apa yang dapat diberikan Negara kepadamu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada Negara ini”.
tugas
Sebagai guru pengampu mata PKN idealnya saat ini memberi tugas kelompok/individu kepada siswanya. Disini para siswa dapat melihat, mengamati, mencermati, menilai dan menganalisa bentuk-bentuk pelanggaran dalam pilkada. Bentuk-bentuk pelanggaran yang mungkin sekali terjadi dan sebagai bahan untuk tugas kelompok/individu dalam pendaftaran seperti: pendaftaran ganda, belum cukup umur, anggota TNI/Polri aktif dan tempat pendaftar tidak sesuai ketentuan.
Bentuk pelanggaran yang mungkin terjadi dalam kampanye bisa menjdi catatan. Seperti curi start kampanye, kampanye melampaui batas waktu, black campaign, melakukan kekerasan, pemaksaaan, penggunaan fasilitas umum (sekolah, tempat ibadah, rumah sakit), tidak sesuai dengan tempat yang diijinkan (white area), menggunakan atribut/fasilitas milik Pemerintah, money politic dan lain-lain.
Bagaimanapun pelajar memiliki peran besar dalam mewujudkan masyarakat demokratis. Meski sudah ada pemantau pemilu independen dari Perguruan Tinggi dan Panwaslu baik lokal maupun asing. Namun peran pelajar dalam sebuah penugasan sebagai aktualisasi KTSP/kutilas akan menjadikan lebih reliable dalam pelaksanaan pemilu berlangsung sehingga rakyat tidak merasa dibodohi.
No comments:
Post a Comment