opini harian Joglosemar 17 Juli 2014
oleh FX Triyas Hadi Prihantoro
Dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online 2014-2015 lahir idola baru “MIA.” Merupakan akronim dari Matematika Ilmu Pengetahuan Alam. Sebagai salah satu peminatan yang menarik, eksotik sehingga banyak yang memilih. Namun menjadikan kebingungan bagi pengelola SMA atau bisa menjadi daya tawar baru dalam penyalahgunaan kekuasaan.
Berbagai perubahan kebijakan tingkat bawah yang terjadi terkait dari pameo pergantian kurikulum tidak lepas dari pergantian menteri. Namun demikian, pergantian kurikulum juga bergantinya kebijakan maupun alur dari Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dan tujuan yang diharapkan. PPDB online menjadi persoalan baru saat semua calon peserta didik baru memilih MIA namun juga bisa menjadi ajang korupsi baru.
MIA menjadi bagian dari kebijakan Kurikulum 2013 bahwa peserta didik diberi kesempatan sejak dini memilih potensi dirinya. Meski sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuan akademisnya. Padahal, dalam ketentuan peminatan bagi peserta didik baru tidak boleh ditolak atau dialihkan. Sebab, dalam penjabaran kurikulum dialokasikan lintas minat atau pendalaman minat meski siswa memilih peminatan Ilmu-ilmu Sosial (IIS) ataupun Bahasa (BHS).
Seharusnya, setiap kebijakan yang bergulir untuk menjadi aturan baru, sudah berdasar kajian dari penelitian dan pengembangan (Litbang) yang mendalam. Meski, sebenarnya masih banyak yang kontra baik dari tingkat elite maupun tingkat grassroot (akar rumput). Sebagai efek domino dari kebijakan tidak boleh menolak peminatan, maka IIS dan BHS sepi akan peminat.
Efek domino lain bila semua diakomodasi berakibat kesulitan pemenuhan kebutuhan guru-guru bidang MIA dan kelebihan guru di bidang IIS. Dampak yang paling tragis menimpa pada guru bersertifikasi. Guru IIS kesulitan memenenuhi kewajiban mengajar 24 jam perminggu. Guru-guru MIA “kekenyangan” akan jumlah jam mengajar. Padahal, waktu terus bergulir, dan peminaatan peserta didik baru secara online sudah terbaca oleh jutaan orang.
Sebagai guru SMA, penulis mengajak diskusi berkenaan dengan peminatan sejak dini bagi calon peserta didik baru. MIA menjadi Idola dan IIS disingkiri, solusi apa yang harus di berlakukan? Secara substansi tidak perbeda namun proses dan cara yang sedikit berganti berefek kepada membeludaknya pilihan pada MIA.
Sekolah menjadi kewalahan dalam melayani tuntutan peserta didik dan orangtua dalam peminatan.Upaya menjaring dengan placement test (test akademis) namun juga rawan untuk ditolak bahkan dituntut. Karena dianggap melanggar hak untuk memperoleh pendidikan layak sesuai minatnya.
Berubah
Peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minatnya saat duduk di kelas X (sepuluh) awal. Kelihatan hanya sekadar berubah nama, sebab sangat dianjurkan setiap SMA memiliki tiga kelompok peminatan. Namun, saat salah satu peminatan menjadi “bintang” masalah baru muncul dalam rangka pemerataan daya tampung dari SMA.
Prosedur yang harus dilewati dari kriteria peminatan didasarkan ; nilai raport SMP/MTs, Nilai UN SMP/MTs, Rekomendasi guru Bimbingan Konseling (BK) SMP/MTs, hasil tes penempatan peminatan dan tes minat dan bakat oleh psikolog. Namun, toh tidak serta-merta saat peserta didik memilih bisa dengan mudah dipindahkan atau dialihkan. Sebab, hal itu akan menjadi “pemberontakan” dari peserta didik dan orangtua, bahkan bisa melakukan somasi kepada sekolah.Karena ada ketentuan peserta didik bisa dipindah setelah berlangsung pembelajaran satu semester. Peserta didik yang tidak betah bisa pindah peminatan.Hal itu berdasarkan nilai belajar semester pertama dan rekomendasi dari guru BK SMA. Namun, pemindahan tidaklah mudah, karena berkonsekuensi pada perubahan kelas, jadwal dan pendistribusian atau pembagian jam mengajar.
Menentukan minat, bakat dan kemampuan sebenarnya yang dimiliki peserta didik tidak semudah membalik telapak tangan. Sebuah kesadaran holistik dari orangtua akan kemampuan anak dan solusi bijak dari sekolah dalam sosialisasi dan memberikan pemahaman yang benar menjadi salah satu kunci win-win solution.
Logika
Maka, saat semua calon peserta didik memenuhi kriteria MIA, tidak mudah ditolak karena nilai raport SMP berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan nilai UN umumnya melebihi standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Penentuan antarsekolah tidak sama tergantung kemampuan dan keberanian dari sekolah. Bisa jadi, sekolah non favorit (unggulan) justru KKM lebih tinggi sehingga kriteria peminatan semakin absurd. Secara logika nilai (angka) antar SMP bukan satu-satunya parameter valid.
MIA menjadi idola tidak salah, berdasarkan pengalaman, favorit jurusan/ peminatan di SMA adalah jurusan IPA (sains). Sebab menimbulkan rasa bangga, prestise, bonafide dan anggapan bisa kuliah di perguruan tinggijurusan apa saja (lebih luas). Kerancuan ini menimbulkan problematik bagi tenaga pendidik (guru) di SMA saat peserta didik MIA ternyata tidak sesuai dengan kompetensinya.
Menjadi persoalan yang substantif bahwa peminatan sejak kelas X sampai kelas XII. Yakni, selain mata pelajaran wajib dalam kelompok A (Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Sejarah, dan Bahasa Inggris). Kelompok B yang terdiri atas Seni Budaya, Prakarya serta Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Olahraga.
Juga dalam peminatan mata pelajaran akademik yang terdiri dari tiga kelompok. Kelompok Matematika dan Sains (Biologi, Fisika dan Kimia), Sosial (Geografi, sejarah, Sosiologi dan Antropologi serta Ekonomi) dan Bahasa ( Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris serta Bahasa Arab).
Ditambah kesempatan bagi semua program untuk memilih lintas minat sesuai kemampuan. Sayang, hal ini menjadi masalah baru saat peserta didik program IIS dalam lintas minat mendapatkan pelajaran Fisika, Kimia atau Biologi. Ironisnya, harus tuntas dalam pembelajarannya.
Dibutuhkan solusi dalam rotasi dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar dan mengevaluasi . Permasalahan muncul saat orangtua dan peserta didik, ngeyel (memaksa) di kelompok sains dan menolak untuk lintas minat program BHS maupun IIS.
Oleh karena itu, apabila kurikulum sebelumnya di beri kesempatan dalam berproses sebelum penjurusan, Kurikulum 1976 dan Kurikulum 1984 (satu semester) dan Kurikulum 1994, 2004 (selama dua semester). Berarti, sebelum dilakukan penjurusan sudah mengalami proses pembelajaran dan penyesuaian aturan yang berlaku di SMA. Maka, guru bisa bertindak tegas dan memiliki dasar nilai yang jelas. Sementara,Kurikulum 2013 membuat guru seolah “dipasung” dalam menentukan kemampuan atau potensi peserta didiknya untuk menempatkan pada peminatan yang tepat.
Segala antisipasi permasalahan yang mungkin terjadi dalam perubahan kurikulum di SMA dengan peminatan harus dibuat jelas dan tegas kriterianya. Sebab, masih banyak terlihat ketidak konsistenan dan ketersambungan antara kompetensi isi dan dasar dari jenjang SD, SMP dan SMA. Maka, bisa didiskusikan lebih lanjut proses peminatan di SMA, dimana MIA menjadi pemenang “semu.”
(FX Triyas Hadi Prihantoro-guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)
No comments:
Post a Comment