Suara Merdeka (13/10/11), Suara Guru
WACANA pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara untuk menambah jam mengajar menjadi 27 jam per minggu dari 24 jam per minggu mulai Januari 2013 layak dikritisi. Awal mula dari masalah ini, karena keresahan pegawai negeri sipil (PNS) non-guru yang merasa bahwa beban kerja mereka lebih berat dibandingkan dengan guru. Mereka sering melihat guru PNS pada saat jam kerja, keluyuran di tempat perbelanjaan seperti pasar dan mall.
Kebijakan itu bagaikan pepatah ìnilai setitik rusak susu sebelanga. Ibaratnya, semua guru dianggap melakukan tindakan serupa. Yaitu kurang peduli dan mengabaikan tanggung jawab sebagai pengajar, pendidik, dan pendamping.
Sudah Berat
Jumlah guru di Indonesia saat ini sekitar 2,7 juta jiwa, dan tidak ada lima persennya dari mereka yang keluyuran saat jam mengajar. Sebab di era kompetetif saat ini, beban keprofesionalan guru sangat berat, antara lain harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Guru memiliki multiperan, dari tugas di sekolah sampai menyelesaikan berbagai persoalan peserta didik, baik akademis, psikis maupun sosial.
Selain kewajiban mengajar, masih ada kewajiban lain seperti menyiapkan materi, melakukan evaluasi, analisa, dan kadang memberikan konseling pada siswa bermasalah. Jadi, alokasi waktu masuk kerja dari Senin hingga Sabtu mulai pukul 07.00-13.30 bahkan lebih, selalu dijalani dengan tanggung jawab. Apakah ini belum dianggap berat dan masih perlu ditambah beban lagi dengan kewajiban tatap muka menjadi 27 jam per minggu? Selayaknya peraturan ini harus dikaji ulang kembali, mengingat beban pekerjaan guru sudah begitu padat.(75)
FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta.
No comments:
Post a Comment